Bab 19. Cara Memblokir Seorang Bajingan

16.8K 1.8K 216
                                    

Sesampainya di Bandara, aku langsung menuju kantor HRD untuk menemui pak Waluyo. Aku kenal beliau, bahkan berteman baik dengan istrinya, Mbak Yasinta.

Itu sebabnya, melihat kedatanganku, dia seketika berdiri dari kursi kerja untuk menyambutku. "Bu Rava." Dia menjulurkan tangan kanannya ke depan.

Aku menjabat tangannya sambil tersenyum. "Tolong panggil saya Yasmin saja, Pak. Saya sudah bukan istri Rava lagi."

Pak Waluyo memejamkan mata seperti menyesali kekhilafannya. Lalu melepas jabat tangan kami setelah kembali membuka mata. "Maafkan saya, Bu. Saya masih sulit menghilangkan kebiasaan lama."

Aku hanya tersenyum getir menanggapi ucapan canggungnya.

"Silakan duduk." Pak Waluyo mengarahkan tangan kanannya pada kursi di belakangku.

"Terimakasih." Aku menuruti perintahnya.

Setelah kami duduk, dia bertanya padaku, "Ada perlu apa Bu Yasmin datang kemari?"

Aku membuka postingan akun lambe lalu meletakkan Hpku di hadapan pak Waluyo. "Saya yakin Bapak pasti sudah tahu video viral ini."

Pak Waluyo mengambil Hpku dari atas meja. Dengan lirih dia mengucap kalimat istighfar, lalu kembali mendongak, memberiku tatapan sedih. "Saya ikut prihatin menerima berita ini."

Aku tersenyum basa-basi. "Tidak perlu prihatin untuk saya, Pak. Saya hanya ingin Bapak membantu Saya memecat Rava dari maskapai penerbangan ini." Aku menyampaikan maksud secara langsung, tidak mau bertele-tele dengan membuang waktuku percuma.

Pak Waluyo terkejut mendengar ucapanku, tapi kemudian wajahnya berubah tenang kembali. "Saya mengerti." Kedua tangannya saling bertaut di atas meja. "Sebenarnya, tanpa Bu Yasmin minta pun, maskapai ini sudah akan memberhentikan Rava secara tidak hormat."

Giliranku yang membelalakkan mata. "Karena video viral itu?"

Pak Waluyo mengangguk. "Salah satunya, iya. Tapi ada alasan lain lagi."

"Apa itu?" Aku bertanya sangat penasaran.

Pak Waluyo menarik selembar kertas dari tumpukan di mejanya, lalu menyorongkannya padaku. "Pak Rava sudah terbukti menggelapkan dana pengadaan."

Aku menerima kertas itu dan membaca total dana yang sudah dia gelapkan. "200 juta?!" Aku memekik, lalu memberi tatapan tak percaya pada pak Waluyo.

Pria berkemeja batik dan bercelana hitam rapi itu mengangguk lagi. "Ya. Dana yang dia korupsi sebesar itu. Sebenarnya, desas-desus Pak Rava sering menggelapkan dana pengadaan sudah terdengar sejak dulu, tapi belum ada bukti. Baru terbukti sekarang." Telunjuk Pak Waluyo mengarah pada kertas yang masih kupegang.

"Ya, Allah." Aku membekap mulut tak percaya. Nominal ini seharga cincin berlian Rana. Jangan-jangan, uang itu dipakai untuk membeli cincin itu? Mengapa Rava bisa nekat menggelapkan uang hanya untuk memberi kemewahan pada Rana?

"Pak, maafkan saya. Demi Allah, saya malu sekali pada kelakuan buruk mantan suami saya." Aku mengucap kalimat itu dengan mata yang sudah basah. Wallahi, aku malu.

"Tidak, Bu. Jangan minta maaf. Bukan Ibu yang salah, tapi Pak Rava. Itu sebabnya kami sedang memberinya konsekuensi dengan pemecatan tidak hormat. Kami juga sedang mencari Pak Rava untuk dimintai pertanggung jawaban." Pak Waluyo memberiku tatapan tidak enak. "Apa mungkin ... Bu Yasmin mengetahui keberadaan pak Rava sekarang?"

Aku menggeleng menanggapi pertanyaan itu. "Saya juga tidak tahu, Pak. Sejak kami bertengkar sampai sidang cerai selesai, dia tidak pernah muncul di hadapan saya lagi."

Pak Waluyo menghela napas panjang. Wajahnya berubah kalut. "Kami pun sedang mencarinya ke mana-mana untuk minta ganti rugi dana yang sudah digelapkan."

Aku ikut menghela napas untuk menghalau rasa sesak yang mendadak muncul di dada. "Apa Bapak sudah mencarinya ke Malang? Rumah orangtuanya di Kota Batu Malang. Mungkin saja dia pulang ke sana untuk melarikan diri."

Silent FeelingsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang