Bab 15. Dukungan Ummi

12.1K 1.8K 406
                                    

Cerai.

Satu kata itu sudah menjadi keputusan bulatku. Dengan segala bukti yang sudah kukumpulkan, aku yakin, pengadilan agama akan meloloskan gugatan ceraiku dengan sangat mudah.

Seluruh akal sehatku berpikiran demikian. Tapi ... sisi rapuh hatiku berkata lain.

Sebelas tahun bukan waktu yang singkat untuk dilupakan. Tidak mudah menghapus semua kenangan indahku bersama mas Rava. Mulai dari awal perjumpaan kami sampai sekarang.

Aku masih ingat. Awal bertemu mas Rava dulu waktu aku pulang sekolah bersama Hasyim naik mobil jemputan.

Sebagai sesama anak tunggal, kami tidak diperkenankan naik kendaraan umum. Om Hasan dan Tante Sofiya menyediakan mobil untuk antar jemput sekolah kami.

Suatu sore, mobil yang menjemput kami mogok di tengah jalan. Waktu Hasyim sedang menelepon Papanya di telepon umum, mas Rava datang mengendarai sepeda motor Kawasaki Ninja hitam.

Dia menawariku tumpangan, tapi kutolak. Dibonceng dengan memakai rok panjang itu terlalu ribet. Lagipula Hasyim juga melarangku menerima tawarannya. Saudara sepupuku itu sudah tidak suka pada mas Rava sejak dulu.

Tapi kemudian, mas Rava turun untuk membantuku naik. Ragu-ragu dan canggung aku menerima bantuannya. Aku bahkan hampir jatuh terjengkang saat mas Rava melajukan sepeda motornya. Tapi seperti sudah memprediksi sebelumnya, mas Rava menarik tanganku agar memeluk pinggangnya.

Aku yang waktu itu tidak pernah menyentuh laki-laki selain Hasyim --itupun sentuhan umum tidak ada perasaan khusus, seketika langsung panas dingin saat memeluk erat perut padat mas Rava. Aku juga harus melengkungkan punggung agar dadaku tidak menempel di punggungnya.

Sampai di rumah, dia tidak langsung pulang tapi menungguku masuk rumah dengan selamat. Aku tersentuh dengan sifat gentle man-nya.

Bukan Ummi yang marah waktu aku diantar pulang oleh laki-laki, melainkan Hasyim. Dia mengomel bahkan melarangku untuk mendekati Mas Rava lagi. Karena dia tahu, mas Rava punya reputasi buruk. Di seantero kota Batu Mas Rava memang terkenal sebagai play boy yang suka gonta-ganti pacar.

Sayangnya, aku sudah dibutakan oleh cinta. Aku benci mengakui ini. Tapi, sama seperti Rana, aku dulu sudah tergila-gila pada play boy tampan berkedok insyaf ini. Mas Rava gencar melakukan pendekatan hingga berhasil meyakinkanku bahwa dia mau berubah hanya demi aku. Hatiku jatuh dan luluh dengan sangat mudah. Aku yang sejak kecil dididik tunduk pada kafa'ah, bahkan jadi berani menolak perjodohanku dengan seorang Syarif bernama Hanif hanya demi mas Rava.

Abah sangat marah pada penolakanku. Ummi hanya sanggup menangis. Tapi jiddah membelaku. Kata beliau, biar saja aku menentukan pilihan jodohku sendiri. Nanti Allah yang akan membuka tabir untukku. Selama Allah belum membukanya, aku tidak akan pernah sadar.

Sekarang ucapan Jiddah sedang terjadi padaku. Tabir itu telah dibuka. Keburukan mas Rava ditampakkan satu-satu padaku. Aku dulu menolak Hanif hanya karena tidak mau dipoligami. Tapi mas Rava justru berselingkuh di belakangku dengan banyak wanita. Mengetahui bahwa pilihan jodohku ternyata tidak lebih baik dari pilihan orangtuaku rasanya sangat menyebalkan.

Kini yang kurasakan hanyalah penyesalan. Seandainya dulu aku menuruti orangtuaku untuk menikahi Hanif, mungkin nasibku tidak seburuk ini.

Tapi, nasi sudah menjadi bubur. Pengandaian itu tidak pernah bisa terwujud.

Yang bisa kulakukan sekarang hanya menerima nasib buruk ini dengan ikhlas, lalu berjuang untuk memperbaiki kesalahanku.

Ya, hanya itu yang bisa kulakukan.

"Yasmin."

Aku terlonjak dari duduk bersimpuhku. Suara sapaan itu mengagetkanku. Aku menoleh untuk melihat siapa yang memanggilku.

Silent FeelingsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang