Bab 18. Viral

16.4K 1.8K 373
                                    

Aku tidak bertemu lagi dengan Rava sejak pertengkaran kami. Bahkan di persidangan dia juga tidak hadir.

Sudah tiga kali Pengadilan Agama memberinya panggilan lewat surat undangan resmi yang dikirimkan ke alamat rumah kami. Tapi dia tetap tidak hadir.

Kata Bibi, rumah kami kosong. Tidak ada penghuninya. Lampu teras menyala terus sepanjang hari. Waktu Bibi mengetuk pintu, tidak ada yang membukakan. Apa mungkin Rava dan Mamanya kembali ke Malang?

Atas saranku, Pengadilan Agama mengirim surat undangan sidang perceraian ke alamat rumah Rava di Malang. Tapi laki-laki pengecut itu juga tidak mau datang.

Sudah hampir satu bulan ini sidang perceraianku digelar tanpa kehadiran Rava. Pengadilan Agama menyarankan agar aku menggelar sidang cerai di Malang. Tapi pengacaraku menolak. Percuma saja, Rava tetap tidak akan mau hadir.

Itu sebabnya Pengadilan Agama meloloskan gugatan ceraiku secara ghaib --sebab Rava menghilang dan dianggap ghaib-- dengan hak asuh anak jatuh padaku, dan harta gono-gini diputuskan sesuai permintaanku. Semua hasil persidangan dikirim ke alamat rumah Rava di Malang, juga dikirim ke alamat bekas rumah kami di Jakarta.

Tidak kusangka Rava sepengecut ini menghadapi perceraian kami. Dia bahkan tidak peduli dengan hak asuh anak-anak. Mungkin dia juga terpaksa pasrah menerima keputusan pembagian harta gono-gini sebab semua sertifikat tanah dan BPKB mobil sudah kubawa dan kubalik nama atas namaku. Coba kalau tidak, dia pasti akan serakah, tidak mau membagi harta kami meskipun semua hak asuh jatuh padaku.

Aku baru tahu kalau ternyata Rava itu manusia berakhlak buruk yang jauh lebih rendah dari binatang.

*****

Sudah satu bulan ini kami tinggal di rumah Tante Sofiya, begitu pula Jihan. Setiap kali gadis itu izin pulang ke rumah Tantenya di Bintaro, selalu saja ditolak oleh Tante Sofiya.

"Aku tuh sungkan, Mbak. Hasyim kan bukan mahramku. Kalau aku berkeliaran dalam rumah ini nggak pakai jilbab bisa bahaya. Tapi kalau pakai jilbab terus juga nggak nyaman. Ayolah, Mbak. Ijinin aku ke Tante Sofiya biar beliau mau melepasku pulang ke rumah Tanteku di Bintaro. Atau aku akan nyari kamar kos sendiri." Dia mengeluh waktu kami sedang duduk di teras belakang sambil mengawasi anak-anak yang sedang bermain di halaman belakang.

Aku tersenyum menanggapi keluhan Jihan. Tanganku mengayun-ayun stroller Emmir. "Udah berkali-kali aku bilang ke Tante Sofiya buat ngijinin kamu pulang. Aku juga udah bilang kalau aku nggak apa-apa, nggak perlu ditemani banyak orang lagi. Tapi Tante Sofiya nggak mau. Dia pengen kamu nginep di sini dulu sampai lama. Kayaknya dia suka sama kamu deh, Han. Mungkin dia pengen ngejodohin kamu sama Hasyim, soalnya sampai sekarang bujang lapuk itu belum nikah juga."

Jihan menggaruk-garuk kepalanya yang dibalut kerudung merah marun "Duh. Gimana ya, Mbak? Aku nggak nyaman dijodoh-jodohin gini."

Aku membelalakkan mata mendengar pengakuannya. "Jangan-jangan kamu udah punya pacar? Kalau udah, biar aku ngomong sama Tante Sofiya biar nggak jodohin kamu sama anaknya lagi."

Jihan menggeleng. "Nggak. Bukan gitu. Tapi ... aku agak trauma sama perjodohan."

"Trauma gimana?" Aku mengernyitkan dahi.

Jihan memandang lurus pada anak-anakku yang sedang bermain daun, lalu mendesah. "Sama Rana kemarin kan dia juga dijodohkan, tapi gagal. Dia juga kata Rana kayak yang nggak tertarik dijodohin. Itu Rana, apalagi aku yang wajahnya nggak secantik Rana."

Aku menganalisa sesaat ucapan Jihan. Yang dojodohkan Rana, tapi mengapa dia merasa trauma dan tidak percaya diri? Sedetik kemudian aku terperangah mengetahui satu fakta baru. "Astaga, Han. Jangan-jangan ... kamu suka sama Hasyim?"

Silent FeelingsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang