5. BURUK 🔥

24 15 13
                                    

BURUK. Pandangannya berkunang-kunang, kepala pusing, serta seragam lusuhnya sama lepeknya seperti rambut karena keringat yang bercucuran dan membekas adalah deskripsi yang paling menggambarkan penampilan Langit hari ini. Bahkan, kantung matanya membesar membuatnya mirip zombie. Tak terhitung berapa kali dirinya hampir limbung karena gaya berjalannya seperti orang mabuk yang kehilangan keseimbangan.

12-IPS-D.

Akhirnya sampe, batinnya bersuara. Jemarinya segera membuka handle pintu kelas. Baru saja kedua kaki kurusnya melangkah tetapi aura kebencian dari seisi kelas langsung terasa melingkupi sekelilingnya. Langit berusaha tak menghiraukan hal itu dan terus berfokus menuju meja Bulan. Bulan mendesah dan memandangnya tak peduli.

“Mana tugas gue?”

“I ... ini .... ” Jemari Langit tremor dan perlahan mengarahkannya pada Bulan, berharap gadis itu mau menerimanya secara langsung dari tangan ke tangan. Namun gadis itu tentu saja tak mau menerimanya karena benar-benar jijik melihat kondisi fisik pemuda itu yang kelihatan sangat parah dan sekarat.

“Taro aja di atas meja gue, terus buruan deh lo ke meja lo. Rambut lo bau banget, tau nggak!” erang Bulan sambil menutupi hidungnya. Tak tahan dengan aroma tak sedap yang setiap hari ditimbulkan Langit seraya membayangkan apa-apa saja makhluk yang sudah mengisi kepala jorok itu? Bisa saja ada ketombe atau kutu, kan? Sumpah, menggelikan sekali!

Pemuda berwajah lusuh itu tersenyum lemah lalu dengan susah payah menaruh keenam buku tugas yang sudah dikerjakannya dengan rapih. Setelah itu, hening sedetik.

“Udah, sana! Ngapain lagi! Hush hush!” Bulan mengusir keji sambil mengibas-ngibaskan kedua tangan.  Hati Langit berdenyut, terluka dengan perlakuan gadis yang disukainya.

Hari ini masih gagal deketin Bulan.
Nggak apa Langit, mungkin karena rambut kamu bau. Besok kamu harus keramas! Harus! Hanya batinnya yang menyemangati. Tidak ada orang yang dapat Langit percayai di dunia ini selain neneknya di rumah. Setiap dia melangkah, orang-orang di kelas memberikan tatapan tak mengenakkan dan bahkan sesekali menyelengkat kakinya lalu menertawakannya karena terjatuh dengan tidak elit. Mengapa orang-orang hanya memandang dari penampilan buruknya belaka? Apakah tidak ada yang bangga dengan prestasi yang dimilikinya? Hidup, kenapa kau sekejam ini?

Napas Langit sayup-sayup melemah. Pandangannya yang sedari tadi sudah buram semakin menggelap. Langkah kakinya dipaksakan untuk sampai ke meja di baris paling ujung, tidak ada orang yang mau sebangku dengannya. Langit tidak mau berkomentar banyak saat melihat coretan di atas meja; Mending lo mati aja!

Pemuda itu berusaha tak acuh lalu meletakkan kedua tangan di atas meja, aktivitas rutinnya akan segera dilakukan seperti biasa. Kedua bola matanya kian terpejam, pergi menuju alam mimpi yang jauh lebih baik daripada kenyataan pahit yang terus menekannya ini.

Seorang guru berjalan membuat keriuhan di kelas berhenti. Hari ini mata pelajaran Bahasa Indonesia, Pak Edo. Guru yang senang bercetoleh mengenai pengalaman hidup daripada materi pelajaran. “Jadi tiga minggu yang lalu saya bertemu dengan seorang murid yang kelihatan biasa-biasa saja sewaktu masa sekolah. Namun, saat bertemu lagi sama dia, eh dia langsung ngajak saya pergi ke kafe miliknya untuk nyobain semua menu di sana. Saya sendiri bingung kenapa dia sebegitunya baik sama saya, terus alasannya gini ‘Bapak yang udah ajarin saya kalo proses itu lebih penting daripada hasil. Meski saya dulu nggak pinter kayak temen-temen, tapi Bapak selalu suruh saya berusaha dan nggak boleh capek, makanya sekarang saya jadi seperti ini.’ Saya terharu banget dengernya, saya bahkan lupa pernah kasih nasihat kayak gitu ke dia. Maklum ya Bapak, kan, sudah berumur. Hehehe.”

Seorang murid mengangkat tangan. Dia adalah seorang sekretaris kelas, Tiara. Sontak Pak Edo memegangi ujung kumis tebalnya yang selalu bergemetar setiap beliau tertawa.

“Ada apa, Tiara? Mau nanya?” tanya Pak Edo santai. Tiara menggeleng sopan lalu memasang wajah ketus seraya menyampaikan hal yang menganggunya.

“Ada murid yang tidur di kelas, Pak. Kan, nggak sopan. Apalagi pemegang beasiswa, harusnya tuh dicabut!”

Pak Edo paham bahwa ‘murid’ yang dimaksud Tiara pastilah Langit. Siapa lagi memangnya murid berprestasi di kelas ini? Namun, mau dikatakan mengganggu sebenarnya juga tidak karena Langit sama sekali tidak mendengkur. Meski Langit selalu tertidur juga, nilainya selalu aman dan bahkan menjadi tertinggi di kelas. Pak Edo memainkan kumisnya lagi. Berusaha mencari solusi yang terbaik untuk seluruh murid didiknya.

Suasana kelas menjadi tegang, tentu saja mereka penasaran apa yang akan Bapak Edo lakukan pada murid seperti Langit?

Satu detik.

Dua detik.

Di luar dugaan, Pak Edo langsung tertawa keras-keras. Tawaan beliau memang renyah tetapi jelas membingungkan. Apa yang ditertawakan dalam pertanyaan super serius ini? Kini kumis beliau tidak lagi hanya bergemetar, kumis itu bergoyang naik turun mirip rumput yang tertiup angin!

“Hahahaha!”

“Kenapa Bapak ketawa?” tanya Tiara bingung. Pak Edo mengganti tawanya dengan tersenyum.

“Kamu tau alasan Langit selalu tertidur di kelas?” Bukannya menjawab, guru Bahasa Indonesia yang mungkin enam tahun lagi pensiun itu memberikan pertanyaan balik.

Tiara menggeleng cepat. Tentu saja tidak! Memangnya itu hal penting yang harus diketahui?

“Coba, deh, kamu berpikir positif. Langit, kan, kerjaannya tidur terus di kelas tapi kok bisa nilainya paling bagus? Pernah kepikiran nggak, jangan-jangan alasan Langit tidur di kelas karena setiap malamnya dia selalu begadang mati-matian untuk belajar pahamin materi sekolah? Bisa jadi, kan?” jelas Pak Edo panjang lebar karena menyebutkan hipotesis miliknya. Tentu saja hal itu tidak bisa dibuktikan karena yang mengetahui aktivitas 24 jam seseorang ya hanya orang itu sendiri. Tidak mungkin juga, kan, beliau memantau Langit terus menerus? Namun hal itu bisa jadi benar kemungkinannya, apalagi alasan Langit bisa memertahankan peringkatnya coba? Kenapa mereka tidak pernah memikirkan itu? Apa masalahnya?

Tiara tampak tidak terima. Air mukanya sewot kuadrat. “Kok, Bapak belain Langit, sih? Terus berarti Bapak nggak masalahin murid tidur di kelas, gitu?”

“Nggak.” Pak Edo kembali pada mode seriusnya. Tidak ada senyum mau pun tawaan yang tersisa. “Asal di setiap ujian nilai kalian setara sama Langit, kalian boleh tidur sepuasnya di pelajaran saya. Namun tetep harus jujur! Saya bisa bedain mana jawaban sendiri sama jawaban nyontek temen sebelah. Hehehe.”

Jawaban Pak Edo sama sekali tidak membuat teman sekelas mereda. Mereka semakin iri karena guru-guru selalu memperlakukan Langit spesial sejak dulu. Tidak pernah mempermasalahkan pemuda yang selalu tertidur di kursi barisan ujung itu seakan dunia hanyalah miliknya.

Tanpa mereka sadari, semakin mereka berfokus pada Langit, semakin sulit bagi mereka untuk bangkit dan mengejar cita-cita mereka sendiri. Bencilah seseorang terus menerus dan kebencianmu itu yang akan menggerogoti hatimu sendiri sehingga tidak akan bisa berpikir jernih dan menemukan cara tepat mengatasi peliknya kehidupan. Orang yang kau benci? Hebatnya, mereka tidak merasakan efek apa pun dari kebencianmu jika mereka bersedia menutup telinga rapat-rapat. Begitukah rahasia kehidupan yang sesungguhnya?


A/N :
Hai, sudah chapter lima nih Langit Gulita, Bulan Temaram diterbitkan di Wattpad.
Menurut kalian karakter Langit itu seperti apa?
Menurut kalian Bulan itu bagaimana?
Jawab, ya!
Next chapter aku bakal kasih suprise!

Posted on Dec 10th, 2020

LGBT : Langit Gulita, Bulan TemaramTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang