17. CARA MELARIKAN DIRI 🔥

24 13 9
                                    

APA CARA TERBAIK MELARIKAN DIRI? Tolong sebutkan langkah-langkahnya dan selamatkan Langit dari situasi terburuk ini. Pemuda itu berusaha mengempas jemari Bulan tetapi kekuatan gadis itu terlalu kuat. Gadis itu menguatkan cengkaramannya bahkan hingga kuku panjangnya menusuk pipi Langit. Perih. Luka goresan mulai terbentuk. Semakin Langit berusaha memberontak, semakin dalam kuku itu menusuknya. Berakhir dengan sang pemuda yang pasrah dengan apa pun yang dilakukan gadis ini. “Bisa jawab nggak, lo mau ke mana?”

“Saya ... m ... mau ke toilet,” jawab Langit susah payah karena menahan rasa ngilu yang menjalar di sepanjang luka goresan yang diakibatkan Bulan. Gadis itu melepas cengkeramannya lalu mengenadahkan tangan itu. Meminta sesuatu. Kode yang paling Langit pahami, bulu kuduk Langit berdiri. Bergidik ketakutan. Bagaimana dia akan menjelaskannya sekarang?

“Lo bisu, ya?” Lima detik melihat Langit hanya terpaku, membuat Bulan tidak bisa menahan bibir untuk bertanya langsung. “Gue minta buku tugas gue yang udah lo kerjain kemaren. Mana?”

“I ... itu .... “

“Ita itu ita itu! Sumpah, sih, lo ya! Bisa nggak sih ngomong yang jelas?” Bulan gondok kuadrat. Urat-urat di lehernya tampak jelas. Langit benar-benar membuat tekanan darahnya meninggi.

“Maafin saya!” seru Langit sambil menunduk. Mengharapkan rasa iba lalu berusaha menjelaskannya dengan cepat. “Kemaren ... buku tugas kamu, ketumpahan kopi.”

Rongga perut Bulan mengembang dan mengempis dengan cepat setelah mendengar penuturan Langit yang sederhana itu. Darah dalam kepala Bulan seakan dibuat mendidih, gadis itu berusaha mencari respons yang paling pantas. Iblis seakan berbisik di sampingnya untuk melakukan hal-hal gila. Biar Bulan ingat-ingat, buku tugas yang diberikannya pada Langit kemarin adalah barang limited edition yang sudah tidak diproduksi lagi. Bagaimana bisa pemuda itu mengatakan dengan mudah bahwa bukunya tertumpah air kopi?

Dengan geram dan menyetujui bisikan iblis itu, Bulan segera mengerahkan emosinya dengan menarik kencang rambut Langit. Menjambak terang-terangan rambut acak-acakan itu di depan teman-temannya yang membuat mereka tidak percaya. Kalau sudah begini siapa yang bisa menduga bahwa Bulan berada di pihak Langit?
     
Langit meringis dan meronta-ronta. “Sa ... sakit, Bulan, ampun!”

“Berani-beraninya, ya, lo! Numpahin buku itu!” teriak Bulan murka. “Asal lo tau aja, itu buku limited edition yang bahkan bikin gue desek-desekan dapetinnya! Bisa-bisanya, lo!”

Bulan mengencangkan jambakannya. Bahkan tidak hanya sekadar menarik saja, jemari gadis yang berkuku tajam itu ikut menari-nari serta menggores permukaan kulit kepala Langit dan menimbulkan bercak-bercak luka di sana. “Sakit, Bulan! Ampun!”

Semakin Langit berbicara, Bulan makin menguatkan jambakannya.

“Bisa diem, nggak?”

Rintihan dan buliran panas di ujung pelupuk tampaknya sama sekali tidak bisa membangkitkan rasa kasihan sama sekali. Pemuda itu menggigit bibir berusaha menahan kedua pupilnya yang semakin panas. Tidak tahan membendung buliran-buliran bening.

“Bu ... lan ... lepas!”

“Nggak!” Kedua netra Bulan mengilatkan emosi yang begitu kuat. “Lo tuh bisa apa, sih? Babu nggak guna!”

Celia yang merasa kejadian di hadapannya sudah tidak kondusif memilih maju. Meski dirinya bisa saja menjadi sasaran berikutnya, tetapi tidak ada rasa takut. Menghadapi Bulan sudah biasa bagi dirinya, serta Celia sudah mempersiapkan tekad untuk semua itu.

Gadis itu memegangi kedua tangan Bulan yang masih menjambak sementara Langit memejam berusaha menahan perih. Bulan menoleh lalu memberikan tatapan tak suka. Iblis masih mengontrolnya. “Ngapain, lo? Awas!”

LGBT : Langit Gulita, Bulan TemaramTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang