IKHLASKAN SESUATU dan rasakan manfaatnya. Apa kalian percaya dengan kalimat barusan? Kenyataannya berbicara tidak semudah merasakan, kenyataan berbicara jauh lebih mudah daripada mengalami itu nyata. Hidup Langit sepenuhnya berada dalam tumpukan masalah yang membingungkan dan cukup rumit. Masalah mengejar mimpi, Langit terus berusaha mempertahankan peringkatnya di sekolah. Masalah ekonomi, Langit tidak tahu lagi bagaimana cara mendapatkan uang dengan cepat agar dapat membayar beban uang kasnya dalam sebulan ini. Masalah percintaan, sangat buruk. Dirinya terjebak dalam hubungan babu-majikan-zone yang entah kapan akan berubah, karena Bulan sendiri sudah menjalin hubungan yang sepertinya ‘akrab’ dengan cowok lain. Masalah sekolah, tahu sendiri jumlah orang yang membencinya sebanyak buih lautan. Seandainya bunuh diri tidak dosa, mungkin Langit sudah menenggelamkan diri dan tidak mau pusing atas semua perkara yang mendesaknya ini. Mengapa kebahagiaan seolah enggan hadir dalam hidupnya? Satu-satunya keberuntungan yang Langit miliki adalah otaknya yang bisa dikatakan cukup cerdas dan encer sehingga guru-guru tidak ada yang mempermasalahkan dirinya tertidur di kelas, kecuali saat ujian tentunya.
Langit sendiri tidak pernah menduga akan masuk ke dalam kelas D yang bisa dibilang sebagai ‘kelas neraka’, karena hampir seluruh penghuninya mempunyai rasa iri yang tak tertampung pada orang-orang yang dianggap pintar. Kapan waktunya untuk merasakan bahagia? Sekarang ... Langit sudah bahagia. Dalam mimpinya.
Sampai suatu ketika, wajahnya terkena percikan air yang membuatnya harus mengikhlaskan kepergian ‘mimpi indah’-nya yang sedang seru-serunya. Buyarlah semua itu mengakibatkan Langit terduduk dengan wajah penuh keterkejutan. Memandang gadis berponi rata di hadapannya, sama persis dengan sosok yang tadi dalam mimpi.
“Bangun! Tidur aja kerjaan lo,” hardik Bulan penuh sarkastik. Langit membeo tidak percaya. Mengapa Bulan membangunkannya di jam istirahat begini? Padahal Langit, kan, sudah mengerjakan tugasnya. Pemuda itu memasang ekspresi bingung.
“Ada apa? Kenapa saya dibangunin?”
Bulan tidak menjawab. “Lo ... ikut gue ke kantin!”
Langit menelan salivanya susah payah. Kantin? Apa Bulan ingin membuat Langit menderita lagi seperti beberapa hari yang lalu? Apa Bulan memang bersekongkol dengan teman-teman sekelas untuk melakukan adegan perundungan tepat di hadapan murid-murid SMA Sini? Apa Bulan suka bila Langit kesusahan?
Hebatnya, Bulan membunuh semua pikiran negatif Langit hanya dengan satu kalimat utuh.
“Nggak usah liatin kayak gitu, tenang aja. Gue jamin, temen-temen nggak bakal berani kayak kemaren lagi sama lo!”
Entah mengapa, bibir Langit otomatis tersungging mendengarnya. Ada sedikit rasa hangat menjalar dan dada berdebar. Jarang sekali, Bulan mengatakan hal-hal seperti itu. Biasanya, kata-kata Bulan, kan, selalu pedas seperti menelan ribuan cabai! Tumben sekali, hari ini tidak. Perkataan Bulan malah terdengar seperti bahwa Langit akan aman karena bersamanya. Apa ini pertanda baik? Kebahagiaan mulai berporos padanya? Iya, kan? Iya, kan? Tolong, iyakan saja!
“Tapi ... kenapa saya harus ke kantin?” Senyuman Langit seketika luntur menyadari kondisinya yang sedang kesulitan ekonomi. Bagaimana pun, Langit tidak ingin membebani gadis yang dicintai. Bulan sepertinya menyadari itu dan mendesah hebat.
“Udah, santai aja! Buat makan di kantin ini, gue yang bayarin!”
Langit yang tadinya sempat muram seketika kembali tersenyum. Pemuda itu mengangguk, lalu berjalan beriringan dengan Bulan, Celia, dan Nana. Ini adalah kali kedua Langit akan mengunjungi kantin selama masa bersekolahnya. Hebatnya lagi, mungkin ini adalah adegan pertama dia mencicipi makanan di kantin nanti. Semoga saja lancar dan tidak dirusuhi teman-temannya, ya!
***
Begitu sampai di kantin, Langit memerhatikan banyak sekali murid-murid memandang dirinya. Ada juga Toriko yang sepat menyapanya beberapa hari yang lalu melambaikan tangan ramah. Langit tersenyum kecil membalas hal itu. Sejujurnya, Langit tidak tahu lagi bagaimana persepsi orang-orang ke pada dirinya. Apakah Langit salah? Ataukah Langit benar?
Bulan mendorong tubuh Langit dan berkata, “beli bakso lima, di Bang Dodo. Noh! Yang paling ujung! Punya gue sambelnya dikit aja!”
Dada Langit seketika berdenyut. Entah kenapa dirinya merasa de javu. Benarkah Bulan tidak bekerja sama dengan teman-temannya untuk menjerumuskan Langit dalam penderitaan? Rasanya tidak mungkin.
Bulan berlalu mencari tempat duduk untuk menunggu Langit. Meninggalkan pemuda itu dalam kebingungan. Namun ... karena tidak tahu harus melakukan apa, Langit memilih menurut saja.
Pemuda itu berjalan lurus sambil menunduk, takut memandang siapa pun, sedikit sangsi juga lalu tanpa disadari bahwa Celia berdiri di belakangnya karena mendengar langkahnya. Langit memutar tubuh dan memandang Celia heran, mengapa ketua kelas mau berjalan mengikutinya. Langit lalu menggeser tubuhnya mempersilahkan agar Celia berjalan duluan di depannya. Namun Celia bergeming dan melipat tangan. “Lo disuruh beli bakso, kan? Kenapa diem aja?”
“Kamu mau jalan duluan?” tanya Langit, tidak nyambung dengan apa yang dibicarakan. “Silahkan, gih!”
Celia menggeleng. “Gue awasin lo.”
Langit kembali membeo heran. Apakah Celia ini diutus Bulan untuk menjadi pengawas kalau-kalau nantinya Langit dijahilin teman sekelas? Benar-benar, deh, Bulan! Langit bingung dengan sikap dan perilaku Bulan, sebenarnya Bulan peduli atau tidak?
Pemuda itu menghilangkan pemikiran-pemikiran yang selalu muncul dalam kepalanya lalu berjalan diikuti Celia dari belakang. Karena Bulan sudah memberitahu di mana letak penjual bakso, Langit dengan segera menemukannya sehingga tidak tersesat dan nyasar ke arah markas kelas 12-IPS-D yang sudah memandangnya penuh kebencian. Syukurlah, Langit berhasil menghindari mereka.
Pemuda itu berdiri dan memanggil Bang Dodo. “Bang, saya beli bakso 5 mangkuk. Yang 1 sambelnya dikit aja.”
Bang Dodo menoleh sekilas. “Iya, bentar ya.” Lalu kembali masuk ke dalam dan mengurus beberapa bakso yang masih dalam panci rebusan. Langit belum pernah mencicipi bakso di sekolah, di luar saja dia jarang sekali memakan olahan daging tersebut. Langit terbiasa hanya memakan singkong buatan nenek atau membawa bekal, namun belakangan tidak karena nenek baru saja pulih dari sakit.
Kata orang, menunggu itu melelahkan. Namun, apakah menunggu bakso juga termasuk?
Bang Dodo kembali muncul dan mengangkat sendok besar berisikan bakso-bakso serta dituang ke dalam mangkuk satu per satu dan menatap Langit. “Totalnya Rp. 50.000, Dek.”
Langit terkesiap. Tidak punya uang, refleks menoleh Celia. Celia menghela napas. “Bilang aja buat Bulan.”
Mendengarnya, Langit menggangguk lalu kembali menoleh Bang Dodo. “Ini buat Bulan, Bang!”
Bang Dodo terkejut mendengarnya, gugup kuadrat. “Serius, buat Neng Bulan?” Langit mengangguk lagi, mengonfirmasi. Dengan sekejap, Bang Dodo segera mengambil nampan. Sepertinya nama Bulan merupakan sebuah superior yang mempunyai kekuatan besar, tidak hanya di kalangan murid melainkan abang-abang kantin sekali pun. “Bilang, kek, Dek! Daritadi, duh!”
Bang Dodo mendengkus dan segera bangkit. Ingin membawakan kelima mangkuk bakso itu dengan meminta arahan dari Langit. Meninggalkan murid-murid yang masih mengantre di sana tanpa peduli.
Bulan ... ternyata, kamu memang gadis hebat. Saya semakin merasa nggak pantas sama kamu, batin Langit mengeluh.
—
A/N :
Masih ada yang nungguin cerita ini? :'Posted on March 9th, 2021.
KAMU SEDANG MEMBACA
LGBT : Langit Gulita, Bulan Temaram
Teen Fiction⚠️ DONT JUDGE BOOK BY IT'S TITLE! TIDAK ADA KONTEN LGBT, MURNI HANYA SINGKATAN! ⚠️ Jauh dari kata tampan mau pun kaya raya. Dialah Langit. Pemuda yang menyimpan banyak rahasia. Sehari-hari kerjaannya hanya tidur saja membuat teman sekelas iri karena...