2. NERAKA DUNIA 🔥

40 18 11
                                    

12-IPS-D. Itulah kelas yang cukup fenomenal di SMA Sini.

Baru saja melangkah memasuki kelas, teman-teman sudah melemparkan tatapan kebencian bahkan menutup hidung karena bau busuk menusuk yang berasal dari rambut lepek milik Langit yang sudah empat hari tidak dikeramasi. Bagaimana bisa seorang miskin yang menjijikkan sepertinya itu bersekolah di SMA Sini? Walau pun memegang beasiswa, setidaknya menjaga penampilan sebagai murid yang normal. Apakah itu sulit?

Mereka semua mencemooh Langit karena terlalu menunjukkan sisi ‘kemiskinan’. Memangnya Langit itu semiskin apa? Pastilah dia tipikal anak yang suka berbohong demi mencari perhatian belaka.

Pemuda itu segera melangkah menuju tempat duduk Bulan dan menaruh tasnya dengan rapih di sana, dirinya bahkan berani tersenyum kecil pada Nana yang menjadi teman sebangku Bulan sementara gadis itu membuang muka. Jijik melihat wajah lusuh milik pemuda yang tadi pagi diludahinya.

“Uang kas saya udah lunas, ya?” tanya Langit berusaha berbasa-basi untuk mencairkan suasana. Nana memutar bola mata, tentu saja iya karena Bulan sudah melakukan aksi melempar lembar demi lembar kertas uang. Mana mungkin, Nana korupsi! Bisa-bisa dia akan berakhir di tangan Ratu Bulan! Karena bendahara bersurai keriting itu tidak memberi respons sama sekali, Langit berjalan kembali ke bangku miliknya.

Mata pelajaran matematika akan dimulai namun Langit kembali tertidur dengan nyaman di atas meja. Pemuda itu benar-benar nekat! Bu Yura, guru matematika berhijab pastel dan senang mengenakan sepatu tingi hitam itu masuk kelas dan menimbulkan suara ketukan. Beliau telah menyadari bahwa ada satu murid yang terlelap di kelasnya, bukan murid bandel melainkan murid lusuh dan bau. Namun beliau memilih tidak mau tahu dan tetap melempar senyum pada murid di kelas.

“Siang semua!” sapa guru matematika itu yang mencerahkan seluruh kelas. Dengan kompak dan dipimpin Celia, sekelas menjawab sapaan Bu Yura.

“Siang Bu Yura!”

Bu Yura menarik napas dalam-dalam lalu mengembuskannya sambil terus memertahankan senyum manisnya. “Sekarang kita akan belajar matriks, ya! Di sini udah ada yang mempelajarinya?”

Sekelas hening. Tentu saja, mereka tidak pernah melakukan itu. Belajar duluan sebelum diajari guru! Siapa yang mau repot-repot melakukan hal semacam itu? Apalagi mereka bukanlah murid berprestasi melainkan murid dengan otak-otak standar, karena itulah dilempar ke kelas D. Bu Yura mendesah paham lalu mulai melemparkan nasihat. “Kalian, kan, udah kelas 12. Harusnya udah mateng dan aktif belajar. Emangnya nggak mau kuliah di PTN gitu?”

“Mau, Bu!” seru beberapa murid kompak.

Dasar! Belajar malas, usaha setengah-setengah, tetapi mau masuk Universitas Negeri. Apa bedanya dengan orang yang malas beribadah tetapi ketika ditanyakan ingin masuk surga, menjadi yang pertama mengancungkan telunjuk?

Bu Yura kembali berceloteh panjang mengenai cita-cita lalu mengakhiri sesi siraman nutrisi semangat di kelas dengan mengangkat spidolnya tinggi dan mulai menggoreskan benda itu ke papan tulis. Mengajarkan ilmu yang dimiliki pada tiga puluh siswa yang berada dalam radius satu meter berjarak dari guru tersebut. “Jadi dalam matriks itu ada baris dan kolom, ya. Baris itu yang ke sini dan kolom itu yang ke sini.”

Kegiatan belajar mengajar itu berlangsung cukup lama. Satu setengah jam, sampai akhirnya di penghujung pelajaran, Bu Yura tidak ingin ada yang namanya iri hati dand engki antara satu murid dengan murid lain karena dianggap melakukan perbedaan strata. Karena itulah beliau melangkah menuju meja di baris paling belakang dan menepuk pemuda yang masih terlelap cantik sepanjang pelajaran. Pemuda itu merenguh sambil membuka matanya perlahan, kemudian menguap lebar.

“Siang, Bu Yura!” sapanya.

Bu Yura memasang wajah kecut. “Enak, ya tidurnya, Nak! Hm?”

Langit menarik senyum lebar hingga gigi kelinci miliknya terlihat jelas. “Enak, Bu! Pulas banget!”

Bu Yura mengusap dahinya berusaha bersabar, padahal beliau sudah memahami Langit namun ini demi kebaikan. “Sekarang coba jawab dong pertanyaan di depan, boleh ya?”

“Beres, Bu! Saya coba, ya!” seru Langit riang karena sudah sepenuhnya sadar dari bunga tidurnya dan segera mengambil alih spidol milik guru matematika itu serta melangkah indah menuju papan tulis. Sepanjang perjalanannya dari baris paling ujung sampai depan, teman-teman menutup hidung karena bau menyengat dari rambut yang tidak pernah dicuci. Sebenarnya, apa pemuda ini pernah mandi?

Menganalisis dan menghitung dalam pikirannya sendiri mengenai soal hari ini, tiba-tiba memori Langit memberikan gambaran bahwa dirinya sudah pernah mempelajari materi ini di luar sekolah sehingga senyumnya semakin cerah. Dia tahu bagaimana cara menemukan jawabannya secara cemerlang!

Segores demi goresan jawaban mulai kelihatan, tulisan rapih itu dan cara yang tersusun sistematis menjadi nilai plus yang dimiliki pemuda berseragam lusuh yang sudah tidak layak pakai itu. Bayangkan, sekelas seragamnya masih putih bersih karena selalu berganti dan membeli baru tiap pergantian tahun ajaran sementara dirinya dengan percaya diri datang ke sekolah dengan seragam yang sudah menguning dan lecek seolah tidak pernah disetrika! Sangat mencolok, bukan?

Mana setiap masuk kelas, kerjaannya hanya tidur saja! Ini sih, sudah miskin, banyak gaya pula!

Namun karena dia bersekolah karena beasiswa prestasi, sekolah akan mempertahankan keberadaannya. Hanya saja, karena terlalu memalukan bila memasukkan murid seperti Langit ke dalam kelas A yang mana seluruh muridnya selain pintar juga terkenal rapih, bersih, wangi, dan selalu menjadi sorotan maka pihak sekolah membolehkan Langit untuk bersekolah asal bersedia masuk ke kelas dengan murid yang paling rendah taraf nilainya dari rata-rata kelas dan dapat dikatakan sebagai kelas buangan, yaitu kelas D.

Bu Yura menepuk tangan, salut dengan jawaban Langit yang sudah dapat dipastikan seratus persen benar. Teman sekelas memelototinya, lagi-lagi makhluk menjijikkan dan miskin ini dipuji guru! “Mantap, Langit!”

Langit hanya menggaruki ujung tengkuknya, malu karena dipuji gurunya. Pemuda itu mengangguk lalu berjalan menuju meja miliknya lagi. “Makasih, Bu. Tapi saya biasa aja. Beda sama murid-murid di kelas A.”

Guru matematika itu kembali berdiri di depan kelas dan mendominasi perhatian murid-muridnya. “Sekarang kalian paham, kan, kenapa guru-guru memperlakukan Langit ‘spesial’? Karena dia berbeda dengan kalian. Jadi, kalo mau tidur di kelas, minimal samain, lah, nilai kalian sama Langit.”

Wajah murid-murid kelas D nampak geram dan menahan amarah. Bagaimana pun, perkataan Bu Yura barusan adalah bentuk sindiran atau penghinaan pada mereka! Tidak mungkin mereka yang dikaruniai otak biasa saja mampu mengalahkan Langit yang merupakan jajaran murid beasiswa!

Mereka semua memutar kepala dan baru menyadari bahwa Langit sudah kembali ke alam mimpinya. Cepat sekali dia tidur! Sebenarnya, apa yang dilakukan pemuda ini setiap harinya? Di kelas kerjaannya hanya tidur saja, tetapi kenapa bisa super pintar begini? Apa rahasianya?

Sang Langit Shaka Byantara, pemuda berseragam lusuh kekuningan dengan kemiskinan di bawah standar karena bahkan tidak mampu membeli shampoo mengakibatkan rambutnya menguarkan aroma busuk tidak sedap, tukang tidur, tetapi berprestasi? Sungguh misterius dan membuat orang-orang semakin membencinya!


A/N :
Pagi! Bagaimana tanggapan kalian tentang Langit? Sebutkan dalam satu kalimat, ya.😆
Apakah teman-teman masih kuat dengan tantangannya?
Yuk ajak teman kalian dalam tantangan ini. Hehehe.

Posted on Dec 4th, 2020

LGBT : Langit Gulita, Bulan TemaramTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang