BAK LUKA YANG DIGARAMI. Mungkin itulah apa yang tengah dirasakan Sang Langit Shaka Byantara. Bagaimana bisa gadis yang diam-diam dicintainya hanya mampu berdiri memandangnya tanpa rasa iba sedikit pun ketika dirinya tengah ditertawakan teman sekelas karena seragam lusuhnya sudah basah karena tersiram es teh itu? Bagaimana bisa tidak ada munculnya sedikit saja empati karena melihat luka akibat bogeman mulai mengucur perlahan?
Kini ... Langit memandangnya penuh harap, seakan meminta pertolongan walau hanya dari pandangan saja. Bulan menghela napas kasar, tidak menyangka bahwa teman-teman sekelasnya akan berlaku sejauh ini. Padahal tadinya Bulan ingin melakukan sesuatu tapi seakan semua itu dirusak.
Gadis itu hanya mengangkat kedua tangan, menyuruh semua orang untuk berhenti tertawa. Langit saat ini berada dalam pengawasan dan tanggungannya. Jika Bulan tidak menghentikan perilaku teman-teman, maka bisa akan memunculkan persepsi bahwa Bulan bukan lagi seorang penguasa dari kelas 12-D?
“Lo pada bisa diem nggak, sih? Kuping gue panas dengernya!” Bulan tersulut amarah. Bukan berempati pada Langit yang menyebabkannya terbakar, melainkan rasa takut ‘kejayaannya di mata orang-orang’ menurun dan berakibat kurangnya penghormatan padanya nanti. Tentu saja, Bulan tidak mau itu terjadi.
Gadis itu menghentak-hentakkan kakinya sekuat tenaga, pipinya merah padam, dadanya naik turun dengan cepat, kedua pupilnya membulat seakan hampir keluar. Bulan sudah mirip seseorang yang dikira kesurupan. Seluruh pasang mata menatapnya tidak percaya, siapa lagi yang bisa tertawa dalam kondisi aura yang semengerikan ini?
“Lan ... lo ... temen kita, kan?” tanya Tiara sangsi. Gadis itu memberanikan diri menatap kedua pupil Bulan yang masih menyiratkan api permusuhan.
“Gue temen lo, tapi gue nggak bego kayak lo!”
Berganti Erik yang tidak terima mendengar Bulan mengatai Tiara ‘bego’. Lelaki itu menepuk tengkuk belakang Tiara, gadis itu pasti akan menangis sebentar lagi karena walau hanya dikatai satu kalimat barusan tetapi oleh seseorang yang paling fenomenal seperti Bulan, pastilah gadis itu akan rapuh dan tercabik-cabik hatinya.
“Maksud lo apa, Lan, bilang Tiara bego?”
Bulan mendengkus kasar. “Bukan dia doang, lo itu semua bego!”
Fina yang tadi menyiramkan es teh merapatkan kedua alis. Berharap bahwa Bulan hanya bercanda seperti biasanya. Namun tidak ada tanda-tanda bercanda dalam bibir Bulan, apa ini berani perlahan Bulan sudah mulai memihak Langit? Ini sungguh jelas tidak menguntungkan! Seseorang yang paling ‘berkuasa’ malah memihak orang yang paling ‘dibenci’?
Bulan melanjutkan perkataannya, “kalo lo itu pada pinter mah kalian bakal mikir dua kali buat lakuin hal-hal kek gitu ke seseorang yang paling ‘dibelain’ guru di sekolah. Emangnya ... lo pada seneng kalo berakhir di BK?”
Langit menundukkan kepala. Terkesan melihat tingkah Bulan yang cukup berani, meski pada akhirnya pemuda itu tidak mengetahui alasan apa yang mendasari Bulan membawanya ke kantin. Masih menjadi misteri yang belum terungkap. Namun setidaknya Langit sudah lega setelah tahu bahwa gadis itu tidak berniat menjerumuskannya secara sengaja untuk membuat dirinya harus di-bully terang-terangan di depan umum. Murid-murid di kelas lain menjadi saksi betapa tidak harmonisnya kelas 12-IPA-D. Darah yang mengucur kembali menyadarkan Langit bahwa dirinya telah terhantam bogeman mentah, pemuda itu berusaha menyumbat kucuran darah dengan jemarinya sendiri. Dingin akibat air es dan perih yang berpusat dari luka terus berputar-putar di sekeliling pemuda itu. Dua rasa berbeda yang memberikan efek panjang untuk terus bertahan dan berusaha kembali mengedar pandangan.
Tidak pernah mengunjungi kantin selama bersekolah di SMA Sini. Lantas untuk pertama kali kunjungannya ke sana, mengapa berujung pengalaman buruk seperti ini yang dipetiknya?
***
Hawa dingin menyelimuti tubuh Langit. Ruangan sederhana bernuansakan krem kini menjadi tempat persinggahannya. Sedikit kesal karena di jam pelajaran yang seharusnya dia tertidur di kelas, tetapi batal karena harus di sini dengan keempat teman sekelasnya—Bulan, Erik, Fina, dan Tiara. Bu Hesti memperbaiki posisi kacamatanya lalu menegakkan posisi duduk.
“Jadi ... gimana kronologisnya? Kenapa kalian melakukan perundungan di kantin?” Pertanyaan itu jelas dilontarkan bukan untuk Langit. Posisi dirinya adalah korban, meski luka sudah ditetesi obat merah dan diperban. Tetap tidak serta merta membuat Langit tidak bisa menahan rasa kantuknya. Kedua pupilnya begitu berat. Betapa menyebalkannya rentetan kejadian hari ini membuat aktivitas tidurnya berkurang, belum lagi membayangkan saat pulang sekolah nanti gadis bernama Bulan yang sudah menjadi majikannya ini akan datang dan menyuruhnya mengerjakan tugas.
“Dia boongin saya, Bu! Katanya nggak punya duit lah, apa lah, nggak bisa ke kantin. Tapi hari ini malah ke kantin!” seru Erik membela dirinya. Dia tidak merasa melakukan kesalahan seakan Langit memang pantas menerima bogeman mentah tanpa pikir panjang darinya. Langit sedikit memelotot tidak terima. Lelaki macam apa Erik ini yang mencari pembelaan? Tidak sadar diri kah kalau dia yang salah?
“Terus apa hubungannya sampai harus kamu pukulin? Cuma kayak gitu, doang?” Bu Hesti membalas pembelaan Erik dengan nada datar. Berusaha netral dalam menyelesaikan persoalan dan kasus-kasus di sekolah. Begitulah tugas guru BK.
“Ya saya nggak suka, Bu. Kayak apa banget sih! Sok ngerasa dirinya paling susah? Paling miskin? Emang makan di kantin sampe ngabisin berapa juta?”
Bu Hesti mengganti pandangnya ke arah Langit. Sedikit iba karena seragam milik pemuda itu yang sudah tidak layak. Sekarang Bu Hesti kembali melirik Erik sambil menggeleng. “Kalo Langit bohong tentang kondisinya, apa untungnya yang dia terima dari kamu? Toh, kamu juga, kan, enggak ada niatan traktir dia? Justru dia nggak mau repotin kamu dengan nerima ajakan ke kantin terus nantinya malah ngebuat kamu harus beliin dia makanan!”
Skak mat!
“Pokoknya saya nggak suka sama dia! Dia itu cuma sok miskin, Bu! Uang kas aja nggak pernah bayar!” Erik terus membela diri sambil memajukan tubuhnya, seakan tidak takut untuk beradu fisik. Akan sulit sepertinya menangani kasus yang berasal dari kelas D karena kebanyakan murid bebal yang tidak bisa diberitahu baik-baik.
“Lalu ... Tiara, apa alasan kamu ikut-ikutan nge-bully Langit?” Daripada berfokus pada Erik yang hanya membuang waktu, guru BK itu mengganti pandang ke arah gadis yang sedang menunduk. Air mukanya cukup rumit. Entah dia merasa bersalah, kesal, atau apa.
“Saya nggak suka dia dapet perlakuan khusus dari guru, Bu!”“Maksudnya? Perlakuan khusus gimana?”
“Langit itu salah satu murid pemegang beasiswa, tapi suka tidur di kelas. Anehnya, guru-guru nggak ada yang masalahin itu! Kan, itu nyebelin, Bu! Disaat kita, murid yang harus mati-matian belajar, mahamin guru. Eh dia karena pinter terus sombong dan malah asyik tidur doang!” cerocos Tiara panjang lebar sambil memelototi Langit. Menunjukkan rasa kebenciannya terang-terangan. Langit mengerjap. Ingin sekali memberitahukan alasan yang menyebabkan dirinya harus tertidur di kelas setiap hari, tetapi apakah itu perlu? Memangnya ada manusia yang peduli pada Langit? Toh, kebanyakan dalam pikiran mereka, lebih baik Langit tiada dan mati saja. Langit paham, sangat paham dengan itu.—
A/N :
Sorry for late update karena aku abis marathon tugas kuliah 😭
Oh ya ....
Happy Mother's Day untuk seluruh ibu dan wanita di dunia 🔥🔥🔥🤩Posted on Dec 22th, 2020
KAMU SEDANG MEMBACA
LGBT : Langit Gulita, Bulan Temaram
Teen Fiction⚠️ DONT JUDGE BOOK BY IT'S TITLE! TIDAK ADA KONTEN LGBT, MURNI HANYA SINGKATAN! ⚠️ Jauh dari kata tampan mau pun kaya raya. Dialah Langit. Pemuda yang menyimpan banyak rahasia. Sehari-hari kerjaannya hanya tidur saja membuat teman sekelas iri karena...