PERASAAN KALUT MENGERUBUNGI. Mereka bagaikan ribuan semut yang bergerombol dalam sarang pikiran Langit. Terus menghantui, meracuni, dan memenuhi semua kegundahan yang seakan tidak mengenal kata habis dan berkesudahan. Pemuda itu menerawang jalan yang sedikit becek karena Subuh tadi hujan deras mengguyur kota. Matahari sama sekali tidak tampak karena awan mendung masih menguasai langit pagi.
Pemuda itu seakan tidak berani mendekati gedung sekolah. Di sinilah dia, tertahan di dekat lapangan dan koridor. Mendekati pagar tadi saja sudah takut-takut, bagaimana sekarang harus berjalan menuju kelas? Di mana dirinya harus menaruh wajah yang sudah sangat memalukan itu? Membuat seorang gadis yang dicintainya akan kecewa bila tahu kejadian yang sudah diperbuatnya.
Langit menggigit bibir, memerhatikan kerumunan siswa yang berbondong-bondong berjalan menuju kelas masing-masing. Kebanyakan dari mereka membawa motor sendiri dan saling melepas jas hujan karena tidak semua jarak rumah mereka terbilang mudah dijangkau, sehingga memakai jas hujan dalam perjalanan itu bisa menjadi perisai pertama untuk melindungi diri bila tiba-tiba air mengguyur kota lagi.Seseorang menepuk punggungnya. “Lesu amat, Kak? Buruan masuk, nanti telat lho! Langit menoleh dan mendapati seorang gadis bertubuh sedikit pendek dengan surai dikuncir kuda coklat serta kedua manik yang senada dan aksesoris mencolok yang mengalung di leher dan tangannya bertuliskan ‘Satu Kerockan’.
Langit terkesiap lalu memundurkan tubuhnya sedikit. Tidak mengenali gadis di hadapannya. Gadis itu mengerjap heran atas sikap Langit lalu terkekeh kecil. “Kakak ini Kak Langit, kan? Gue Toriko, siswi kelas 11-IPS-C! Salam kenal, Kak.”
“Kamu ... kenal sama saya?”
“Pasti kenal lah, Kak! Kakak, tuh, lagi jadi bahan pembicaraan!” seru gadis itu dengan aura enerjik, berbanding terbalik dengan Langit yang lesu.
“B ... bahan pembicaraan?” Langit mengernyit. Apa ini berarti nerakanya akan diperluas? Semakin banyak nantinya orang yang tidak menyukainya. Bagaimana ini? Satu kelas memusuhi saja, Langit sudah merasa tidak tahan apalagi kalau satu sekolah?
“Iya, Kak. Gara-gara kejadian kemaren itu, lho!” gumamnya mengangguk setuju. Membenarkan bahwa Langit telah menjadi bahan pembicaraan di sekolah. Gadis itu melanjutkan ucapannya, “kemaren gue kaget banget, lho, liat Kak Langit dipukulin sama cowok yang tinggi besar terus rambutnya agak jabrik itu! Sama ada cewek yang matanya nyolot abis! Mereka siapa, sih?”
“Mereka temen sekelas saya,” jawab Langit sambil menarik senyum lemah. Tidak ada cahaya seperti biasa. Langit benar-benar lemas karena tidak bisa menghadapi kenyataan bahwa dirinya sudah menumpahkan secangkir kopi di atas buku tugas milik Bulan. Entah hukuman apa yang akan diterimanya nanti. Meski Langit sudah mengganti mati-matian dengan mengulang seluruh tugas itu menggunakan buku miliknya, tetap saja bagaimana respons guru nantinya karena Bulan mengerjakan tugas menggunakan buku milik Langit?
“Kok, temen sekelas jahat banget?” erang Toriko tidak percaya. Gadis itu menarik tangan Langit. “Lo jangan takut, Kak! Lo ini, kan, termasuk golongan siswa cerdas ya! Peraih beasiswa! Kalo mereka macem-macem, laporin aja sama guru! Atau kalo takut, kasitau gue aja! Gue salah satu anak Pramuka, kok, Kak!”
Langit menaikkan senyum lemah miliknya meski tidak mengubah banyak ekspresi wajah. Pantas saja, Toriko berlagak pemberani, ternyata dirinya seorang anak Pramuka yang memang tidak takut mengutarakan kebenaran!
“Saya nggak apa-apa, kok. Makasih buat tawaran kamu,” ucap Langit dengan nada tulus.
“Ya udah, Kakak jangan diem-diem bae’ di sini! Masuk, Kak! Entar telat, berabe lho!” pungkas Toriko lagi. Langit terkekeh kecil, masih belum berani masuk kelas dan menampakkan diri. Wajah macam apa yang nantinya akan dia tunjukkan di hadapan Bulan? Tidak ada.
“Duluan aja, saya masih ada urusan,” tolak Langit halus. Toriko tadinya ingin mengajak Langit berangkat bersama karena sebagai sesama anak IPS, mereka satu gedung dan posisi kelas Langit berada di bawah sementara dirinya di lantai dua. Namun karena respons Langit seakan tidak berminat, gadis itu mengangguk lalu berjalan pergi.
Langit terduduk di bangku koridor, sama sekali tidak ada keberanian untuk melangkah ke kelas padahal sebagai kelas 12 sudah diuntungkan dengan posisi kelas yang ada di bawah. Pemuda itu lalu disapa oleh seorang guru yang kebetulan akan mengajar di kelasnya, Pak Hendra.
“Langit, kan? Kok, belom masuk? Sekarang mata pelajaran saya, lho!” panggil Pak Hendra membuat Langit kembali tersadar dari lamunannya. Mengapa daritadi dirinya terus-menerus didatangi orang-orang, sih? Apakah Langit sebegitu mencoloknya dengan rambut yang sangat acak-acakan itu?
“Eh, iya, Pak!” Dengan sangat terpaksa, Langit mengekori guru mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan itu melangkah menuju kelasnya. 12-IPS-D. Bagi orang-orang itu hanyalah ruang kelas biasa, tetapi bagi Langit itu adalah neraka yang nyata di dunia.
Pak Hendra membuka handle pintu kelas lalu melangkah menuju meja guru pun Langit yang melangkah dari belakangnya ke arah tempat duduknya di paling belakang. Murid-murid terang-terangan memandang Langit dengan tatapan penuh kebencian, seakan-akan permintaan maaf kemarin hanyalah formalitas belaka. Berbeda dengan teman-temannya, Bulan memandang Langit tajam karena tak jua memberinya buku tugas. Langit membuang muka menghindari tatapan gadis itu membuat Bulan memelotot kesal.Berani amat, tuh, anak! Buang muka! Liat aja lo, Lang! Bulan membatin tidak terima.
“Oke, anak-anak, hari ini kita mulai materi tentang Globalisasi, ya! Siapkan buku catatan kalian!”***
Jam istirahat tiba. Bulan sudah menunggu-nunggu momen ini, tepat di saat itu Langit bangkit berdiri dari tempatnya. Seakan berniat menghindarinya. Tidak mau kehilangan sang babu tanpa alasan, Bulan menghadang pemuda itu di depan pintu kelas. Agar terlihat semakin meyakinkan, gadis itu bahkan menutup pintu kelas dan memegang handle-nya. Tidak memedulikan tatapan teman-teman yang terperangah karena tidak bisa meninggalkan kelas. Drama apalagi yang dibuat Bulan dan Langit sekarang?
“Mau ke mana lo?” Bukan pertanyaan, melainkan teguran yang keluar dari bibir tajam Bulan. Langit tertahan di tempatnya. Kakinya yang memakai sepatu kotor itu menghentak kecil, sedikit ketakutan. Bulan menepuk papan tulis yang paling dekat dengan pintu kelas menimbulkan bunyi debuman keras yang menggema dalam kepala Langit. “Gue tanya! Mau ke mana lo? Denger, nggak?”
Bahu Langit sedikit terangkat karena baru saja dibentak. Dadanya nyeri, bagaimana pun, Bulan adalah gadis yang disukainya. Dibentak oleh seseorang yang disukai itu sungguh ... menyakitkan.
“S ... saya ... A ... anu ... saya .... “
“Saya-saya! Anu-anu! Ngomong yang bener!” Bulan terbawa emosi lalu memajukan tubuh dan menarik dagu Langit kasar. “Lo punya mulut, tuh, dipake yang bener! Kalo orang nanya, jawab! Jangan jadi orang tolol!”
Teman-teman menyimak saja kejadian di hadapan mereka tanpa berani melerai. Bulan seperti sedang dirasuki iblis, sungguh mengerikan. Daripada menjadi sasaran pelampiasan, lebih baik tutup mulut. Lagipula, meski kebanyakan manusia diajarkan mencintai damai, nyatanya menyaksikan keributan merupakan hal yang menyenangkan. Jujur sajalah, tidak perlu menjadi orang munafik karena memang begitulah sifat manusia sesungguhnya.
—
A/N :
Hello! Selamat tahun baru eheheh. Masih dalam suasana taun baru kan, ya?🙈
Oh ya, adakah di antara temen-temen yang punya aplikasi Novelme?
Kalau punya, yuk mampir ke novelku yang di sana! Bergenre romance lho! Eits, meski romance pasti tahu dong ciri khasku :v
Tidak akan semudah itu bikin tokoh bucin wkwkwkwkwk.
Judulnya My Superior Actor ^^
Dijamin seru dan bikin berdebar + greget💓🙈
Makasih sebelumnya ^^Posted on January 2nd, 2021.
KAMU SEDANG MEMBACA
LGBT : Langit Gulita, Bulan Temaram
أدب المراهقين⚠️ DONT JUDGE BOOK BY IT'S TITLE! TIDAK ADA KONTEN LGBT, MURNI HANYA SINGKATAN! ⚠️ Jauh dari kata tampan mau pun kaya raya. Dialah Langit. Pemuda yang menyimpan banyak rahasia. Sehari-hari kerjaannya hanya tidur saja membuat teman sekelas iri karena...