9. RUTINITAS MEMBUNUH 🔥

22 14 8
                                    

RUTINITAS YANG MEMBUNUH PERLAHAN tubuh Langit. Sekarang adalah hari Kamis di mana sudah merupakan kewajiban setiap murid-murid di SMA Sini untuk memakai seragam batik biru kehijauan yang menekankan unsur ciri khas dari sekolah mereka dengan menonjolkan perpaduan dari rasa nasionalisme yang tinggi karena di atas saku batik tersebut, terdapat jahitan bendera merah putih kecil. Hari ini tampilan pemuda itu tidak seburuk kemarin, ada sedikit perubahan yang menonjol yaitu rambutnya sudah tidak lagi lepek dan menguarkan bau tidak sedap. Tidak. sepertinya pemuda itu telah mengeramasi surai tersebut sehingga hari ini dia kelihatan ‘sedikit’ lebih baik. Setidaknya orang-orang tidak akan sampai menutup hidung setiap dia melewati lorong mana pun. Walau sisanya ... sama saja. Seragam batik yang warnanya sudah sedikit memudar karena dikenakan bertahun-tahun dari kelas 10.

Sepatu lusuh yang sudah tak lagi berwarna hitam, melainkan hampir kecoklatan karena tertutup debu-debu jalanan seakan tidak pernah dicuci. Siapa pun yang melihat, pasti merinding membayangkan  kaki yang memakai sepatu itu. Apa bisa nyaman memakainya? Apa tidak geli? Apa tidak gatal?
Langit ingin memprotesi hal itu bahwa dia bukanlah seorang pemuda jorok yang sengaja tidak mencuci sepatu namun bagaimana dirinya bisa mencuci sepatu lalu menggantinya dengan yang lain seperti teman-temannya yang lain kalau hanya itu satu-satunya yang dimiliki?

Kantung mata pemuda itu tetap kelihatan sedikit menonjol. Namun tubuhnya tidak selemas kemarin. Mungkin saja karena Bulan tidak menyodorkan tumpukan tugas seperti di tempo hari sebelumnya, Langit dapat ‘mengurangi beban’. Kemarin pun Langit hanya mendapatkan satu tugas dari Bulan yang harus diselesaikan. Bagaimana pun enam buku dengan satu buku pasti akan berbeda bukan esktra lelahnya?

Baru saja mau melangkah masuk ke pintu kelas, Bulan sudah menodongnya di depan lalu mengangkat telapak tangannya tinggi-tinggi. Meminta apa yang sudah menjadi haknya. Langit paham dengan kode itu, ini juga mengurangi tugasnya yang harus mengantarkan langsung ke meja gadis itu.

Dengan cekatan, tangan Langit merogoh-rogoh isi tas dan mencari buku tugas kepunyaan Bulan. Begitu menemukannya, tanpa sepatah kata pun Langit langsung memberikannya. Sambil berharap setidaknya ‘sedikit’ saja Bulan mau berbaik hati mengucap terima kasih. Sayangnya, daripada dua kata itu yang dilontarkan dari bibir Bulan, sepertinya gadis itu lebih menyukai sindiran sebagai sarapan pagi Langit.

“Tumben, rambut lo gak bau kelabang,” tajam Bulan membuat Langit tersenyum kecil. Berusaha menanggapi perkataan pedas itu dengan positif. Jika dipikir-pikir, artinya Bulan menyadari bahwa Langit sudah berubah. Itu pujian, kan? Iya, kan? Tolonglah, sekadar menghibur Langit tidak ada salahnya, kok.

“Makasih pujiannya,” ucap Langit tulus. Bulan menyipitkan sebelah mata, merasa jijik dengan respons pemuda di hadapannya.

“Pede amat lo, siapa yang muji? Gak usah senyum-senyum juga lah, jijik.”

“Gak papa kok. Kamu sadar kalo rambut saya udah nggak bau aja, saya udah seneng banget,” tutur Langit lembut. Sangat kontras dengan Bulan yang selalu menaikkan oktaf setiap berbicara dengannya.

“Terserah lo deh, dasar orang aneh!”

Usai mengatakan itu, Bulan langsung meninggalkan Langit yang mengekorinya masuk kelas. Langit terus mengembangkan lengkung bibir karena tidak sedikit pun merasa bahwa ada nada kebencian dalam ucapan Bulan, mungkinkah masih ada harapan untuknya? Sekadar menjadi babu kesayangan pun tidak apa, Langit akan mengabdi dengan caranya sendiri hingga Bulan menyadari rasa cinta yang kian tumbuh dari hari ke hari itu.

***

Langit sama sekali tidak tahu-menahu materi apa yang disampaikan tiga orang guru hari ini karena matanya begitu berat. Seperti biasa, kerjaannya di kelas adalah tidur dan menyelami alam mimpi. Dia sangat kelelahan karena harus mengerjakan tugas milik Bulan kemarin dan untungnya hal itu dapat terselesaikan dengan baik sehingga dirinya akan aman dan minimal tidak terdepak dari tugasnya sebagai seorang babu yang baru bekerja selama tiga hari ini. Sangat aneh memang mengetahui fakta bahwa Bulan baru menganggapnya ada setelah kelas 12, tetapi terlambat itu jauh lebih baik daripada tidak sama sekali bukan?

Pemuda itu dibangunkan dengan senggolan di bahu ketika jam istirahat. Membuatnya sedikit mengangkat tubuh dan mengucek-ngucek kedua netranya yang baru saja kembali ke alam nyata. Samar-samar Langit dapat menatap sosok yang familiar buatnya, hingga kesadarannya sudah utuh barulah kedua pupilnya membulat sempurna.

Bibir tipis, kedua manik cokelat terang yang sipit, pipi putih tirus, dan alis tebal tegas dengan dibingkai poni rata yang menambah kesan imut, belum lagi aroma shampoo vanilla berhasil diendus Langit dengan baik.

Tidak salah lagi! Pemilik visual sempurna ini pastilah Bulan!

Cepat-cepat Langit memperbaiki posisinya menjadi duduk tegap. “Ada apa? Tumbenan kamu bangunin saya. Apa ada tugas yang harus saya kerjain?”

Bulan tidak berminat menjawab melainkan langsung menggangguk. “Ikut gue sekarang.” Setidaknya gadis itu tidak jijik ketika harus menepuk-nepuk bahu Langit karena sudah tidak ada bau busuk yang berasal dari rambut lepek acak-acakan itu.

“Eh, ke mana?”

“Kantin.”

Kepala Langit berputar sempurna. Kantin? Bahkan selama bersekolah di sini selama hampir tiga tahun, Langit belum pernah mendatangi tempat keramat itu. Biasanya Langit hanya membawa bekal nasi tempe atau singkong buatan nenek, atau kadang-kadang bila malas pemuda itu hanya akan tertidur seharian dari bel masuk sekolah hingga pulang sekolah. Kantin itu adalah tempat yang paling Langit hindari karena dirinya sangat tidak mampu. Sementara SMA Sini adalah sekolah yang cukup elit dan bergengsi, pastilah kantinnya juga menyediakan makanan yang mahal-mahal. Menatap Langit yang kelihatan sangsi—pastilah karena masalah keuangan—Bulan langsung menghela napas malas.

“Gue beliin.”

“Eh?”

“Ya, lo, kan, babu gue. Anggep aja ini gaji,” ucap Bulan membuat Langit terperangah. Dalam hati dia ingin menolak, karena meski bagaimana pun dia kan laki-laki sementara Bulan itu perempuan. Aneh bukan bila laki-laki dibelikan makanan oleh perempuan?

“N ... ngga usah, saya bisa tidur lagi kok,” tolak Langit dengan nada panik. Bagaimana bila nantinya Bulan marah?

“Nggak ada penolakan!” seru Bulan yang sebelumnya menggunakan nada datar menjadi menyeru kesal. “Pokoknya lo harus ikut makan di kantin. Ini perintah. Titik! Nggak pake koma!”

Rasa-rasanya ucapan Bulan seperti tidak asing, seakan pernah didengar atau dibaca Langit entah di mana. Namun itu tidak penting, karena Bulan bukan melakukan pengajakan yang bisa Langit tolak melainkan sebuah perintah atau tugas yang harus pemuda itu laksanakan.

Kalau sudah begini, Langit tidak mau berharap banyak. Sebenarnya atas alasan apa Bulan mengajak Langit makan bersama di kantin? Hati Langit memang berbunga-bunga tetapi sepertinya masih ada misteri yang akan segera dihadapinya di masa depan nanti. Siap tidak siap, sebagai seorang manusia maha tidak sempurna yang dapat dilakukan adalah menghadapinya saja, bukan?


A/N :
Bagi tutorial tidur, dong 😭
Ini kayanya update Langit Gulita, Bulan Temaram terpagi ya wkwkwkwk.
Hope you enjoy it, guys!!! 🔥😉

Posted on Dec 18th, 2020.

LGBT : Langit Gulita, Bulan TemaramTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang