TAK ADA AMPUN. Pusing yang sudah kuat itu semakin menguat membuat Langit hampir menjerit di dalam kelasnya. Sekarang pelajaran Bu Hilda, guru Sejarah. Rasanya seluruh bagian dari kepala Langit seperti dipukul-pukul oleh sesuatu yang keras dan bertubi-tubi tanpa ampun. Lelaki itu berusaha memegangi kepalanya, meski dia sudah tidur di kelas seperti biasa tetapi ternyata sama saja. Tak mereda melainkan semakin menjadi-jadi. Mungkinkah ini efek dari memaksakan diri demi tidak didepak Bulan? Langit terlalu takut bila dirinya akan dibenci Bulan padahal pemuda itu sudah dibenci seluruh teman sekelas. Seakan dirinya baik-baik saja asal bukan Bulan, asal jangan Bulan. Langit tidak akan mempedulikan apa pun lagi.
Pemuda itu tidak akan dapat mampu menahan lagi. Karena dia merupakan seorang siswa berprestasi yang ‘dilempar’ ke kelas yang paling di bawah secara nilai, maka Langit sedikit merasa beruntung karena mendapatkan beberapa perlakuan spesial seakan guru-guru tidak ada yang mempermasalahkan aroma busuk yang menguar dari rambut miliknya yang acak-acakan dan tidak pernah disentuh sisir.
Pemuda berseragam lepek dan sudah kekuningan itu berjalan dengan tergopoh-gopoh menuju meja Bu Hilda dan meminta izin untuk pergi ke Unit Kesehatan dengan menyampaikan kondisinya yang sesungguhnya. Guru itu tentu saja dengan mudah memberikannya izin. Mau Langit kerjaannya hanya tidur saja, mau Langit bepergian ke Unit Kesehatan sudah pasti nilainya tetap saja aman dan tidak ada yang dapat menyangkal itu, bukan?
Setelah itu, dia berjalan menuju Unit Kesehatan dengan netra yang sesekali memejam namun dipaksakannya untuk terus membulat lebar agar dia tidak ambruk di jalanan. Bila itu terjadi, orang-orang akan semakin mencemoohnya. Mana ada rasa kasihan di dunia ini? Memangnya rasa kasihan itu bisa dibeli?
Pemuda itu bahkan mencengkram dan menarik kuat-kuat rambut acak-acakannya agar dapat terus memertahankan kesadarannya. Rasa sakit yang menjalar pada satu tempat akan membuat orang bertahan lebih lama dan kuat menangkal segala rasa lemas. Karena itulah ada sebuah cerita ketika seseorang tertidur lelap di rumah dan susah dibangunkan pasti bisa dicubit agar langsung menggapai posisi sadarnya.
Kedua alis milik Langit menurun ketika menyadari bahwa dirinya sudah tepat berada di ruangan yang dituju langsung meraih handle pintu dan semakin semangat menuju kasur putih empuk yang disediakan sekolah untuk murid-murid yang tidak enak badan. Pemuda itu tidak mempedulikan seisi ruangan yang dipenuhi dengan kotak obat di sana sini dan bau pengharum lemon yang menggantung di atas pendingin ruangan. Cukup kontras dengan aroma rambut Langit yang pastinya membuat siapa pun menutup hidung saking parahnya.
Pemuda itu merebahkan dirinya di atas kasur dan berusaha mengabaikan kepalanya yang terus berdenyut, perjalanan dari kelas hingga Unit Kesehatan ini tidak bisa dikatakan dekat karena harus melewati dua lorong. Sekolah SMA Sini memiliki tiga lantai. Beruntungnya, wilayah khusus untuk kelas 12 adalah di lantai terbawah. Sementara, lantai kedua sekolah untuk pemakaian murid kelas 11. Serta tentu saja lantai tiga untuk murid kelas 10. Entah mengapa semakin tinggi tingkatan, maka akan semakin berada di lantai terbawah. Mungkin untuk memudahkan kegiatan belajar karena bukan mitos bila semakin tinggi tingkatan kelas di sekolah menengah, pastilah kegiatannya semakin banyak. Entah nantinya di semester dua akan ada try out, pendalaman materi, dan Ujian Nasional tentunya bagi murid-murid kelas 12.
Langit tersenyum kecil, membayangkan dirinya bisa lulus dengan nilai maksimal lalu melanjutkan pendidikan di sebuah Universitas. Namun ... masalahnya adalah dana. Mungkin, Langit sudah harus mempertimbangkan berbagai beasiswa yang sekiranya dapat membantunya menggapai mimpi. Di masa depan nanti, kira-kira bagaimana ya?
Tanpa sadar karena asyik memikirkan masa depan yang belum pasti dan dengan posisi yang rebahan serta mulai menerima rasa sakit bahkan berdamai, Langit memejamkan mata. Akhirnya pemuda itu bisa beristirahat dengan posisi ternyaman. Mungkinkah rasa pusing di kepala diakibatkan dirinya yang tidak pernah tidur dengan benar? Seperti yang kalian tahu, tidur di kelas itu sebenarnya tidak begitu direkomendasikan karena menekuk-nekuk sendi tangan dan pergelangan leher, pasti itu salah satu alasan kenapa tubuh Langit menjadi sedikit pegal-pegal saat bangun tidur di kelas tadi.
***
Suara ketukan di pintu itu awalnya pelan hingga mulai terdengar mengencang. Pemuda yang sedang terlelap akhirnya sedikit terusik dan langsung bangkit dari posisi tidurnya, mengubah menjadi duduk untuk mengumpulkan nyawanya yang sempat menghilang entah ke mana. Setelah dirasa cukup memulihkan diri, Langit membuka netranya dan sedikit memejam lagi karena cahaya lampu yang menyilaukan terasa menusuk. Pemuda itu bangkit dari tempat duduk dan berjalan menuju pintu Unit Kesehatan, membukanya. Awalnya dia sendiri tidak ingat bahwa telah mengunci ruangan ini.
“Ada apa, ya?” tanya Langit karena merasa cukup asing dengan lelaki bertubuh gemuk di depannya. Lelaki itu memundurkan tubuh karena indra penciumannya menghidu sesuatu yang tak layak dihirup. Langit yang menyadari itu tertegun lalu menjelaskan situasinya. “Maaf, saya udah empat hari tidak keramas.”
Lelaki bertubuh gemuk itu tampaknya bukan berasal dari kelas 12, karena Langit tidak pernah melihatnya. Pastilah adik kelas.
“Udah pulang sekolah, Kak. Saya disuruh mengunci UKS. Tapi UKS dikunci dari dalem,” jujur lelaki itu membuat Langit terpaku sedetik. Jadi ... dirinya telah tidur seharian di UKS? Menyadari bahwa kepalanya sudah tidak terlalu pusing lagi seperti tadi, Langit mengangguk. Pantas saja.
“Oh, ya! Bentar!” Langit langsung tersadar dan berniat mengambil tas gendong miliknya. Langit menepuk dahi, lupa bahwa tasnya masihlah di kelas karena dia pergi meninggalkan kelas saat masih jam pelajaran.
Pemuda itu segera keluar dan berpamitan pada si lelaki gemuk. Lelaki gemuk itu langsung melaksanakan tugasnya, sama sekali tidak peduli dan tidak menahu bahwa pemuda yang tadi baru saja diajak bicara adalah orang yang harusnya paling dihindari sejagat SMA Sini.
Langit berlari menuju kelasnya yang sudah kosong, gelap, dan tak ada siapa pun. Terpaksa dirinya menyalakan saklar lampu untuk mendapatkan penerangan. Tak berhenti sampai di situ, karena posisi tempat duduknya yang berada di paling ujung dan pojok kelas sehingga mengharuskan Langit untuk melanjutkan langkahnya. Saat sudah sampai, bukannya riang tetapi tubuh pemuda itu membatu.
Kedua bola matanya dipaksa merekam tiap-tiap objek di hadapannya yang bahkan tak pantas dilihat. Tas lusuhnya yang tak diresleting dan bentuknya pun sudah tak beraturan karena isinya terburai acak-acakan di lantai. Buku-buku pelajaran yang lecek sana sini dan sudah dirobek-robek kertasnya, pulpen satu-satunya yang patah, dan kursi tempat duduknya pun bahkan dijatuhkan ke bawah. Meja Langit semakin penuh dengan coretan tip-ex. Langit menunduk untuk membaca tulisan di sana.
KENAPA CUMA SAKIT? KENAPA NGGAK MATI?
—
A/N :
Yuhuuu! Update LGBT lagi!
Sesuai janjiku kemarin, aku bakal kasi surprize buat di chapter ini.
Ok, langsung aja nikmati ya!
Btw ini bakal aku post juga di prakata. ^^
Sorry ya baru upload 😂
[TRAILER]
Posted on Dec 12th, 2020.
KAMU SEDANG MEMBACA
LGBT : Langit Gulita, Bulan Temaram
Teen Fiction⚠️ DONT JUDGE BOOK BY IT'S TITLE! TIDAK ADA KONTEN LGBT, MURNI HANYA SINGKATAN! ⚠️ Jauh dari kata tampan mau pun kaya raya. Dialah Langit. Pemuda yang menyimpan banyak rahasia. Sehari-hari kerjaannya hanya tidur saja membuat teman sekelas iri karena...