MANUSIA ITU PENIPU ULUNG. Tiara memajukan diri dan mengangkat tangannya di hadapan Langit. Dengan wajah yang santai, dia mengatakan hal yang bertolak belakang. “Gue minta maaf.”
Langit merasa bahwa ucapannya terlalu datar sebagai seseorang yang sedang mengharapkan permohonan maaf. Namun, tidak mau memperpanjang masalah membuat pemuda itu mengangkat tangan kanannya dan menerima permintaan maaf Tiara. Kedua telapak mereka saling bertaut untuk tiga detik lalu terlepas seluruhnya.
Erik orang kedua yang maju ke arah Langit dan mengangkat tangan. “Maaf.”Jauh lebih singkat! Langit berusaha keras agar telihat lebih profesional. Pemuda itu mengangkat tangannya dan menerima uluran penuh ketidak ikhlasan itu. Durasinya pun lebih singkat, mungkin hanya satu detik lebih sedikit sampai Erik menarik tangannya sendiri seakan malas menyentuh Langit.
Orang ketiga sebagai orang terakhir adalah pelaku pelemparan es teh di depan wajah Langit. Dia bernama Fina. Gadis itu maju lalu menunduk. Sepertinya di antara ketiga orang pelaku perundungan, hanya gadis ini yang benar-benar merasa bersalah. Mungkin saja saat itu dia hanya terbawa suasana karena sama sekali tidak memulai perundungan itu. Semua yang mengawali, kan, hanya Erik dan Tiara. Jadi pastilah Fina ini hanya tipikal gadis ikut-ikutan teman.
“Maafin gue, Lang. Gue nggak sengaja,” sesalnya merasa bersalah sambil mengangkat tangannya dengan lemas. Tidak menyangka bahwa perbuatan isengnya akan berakhir dengan pemberian poin minus 10 di buku catatan BK. Buku keramat SMA Sini berisikan pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan setiap murid. Sangat mendetail! Nama murid, hari, bulan, tahun, semua terangkum jelas di sana. Seakan buku itu adalah representasi dosa murid selama mereka berada di sekolah. Namun SMA Sini juga tidak menutup mata untuk kebaikan dan prestasi yang diberikan muridnya, setiap ada seorang murid yang memperoleh prestasi baik di bidang sekolah atau luar, maka akan diberikan poin plus yang bisa mengurangi poin minus yang dimiliki. Setiap murid yang mendapatkan 100 poin minus maka akan dikembalikan pada orang tua.
“Iya, nggak papa kok. Saya mengerti,” sahut Langit memaklumi meski ucapannya sedikit berbohong. Apa yang Langit mengerti? Tidak ada. Langit terlahir sebagai seorang pemuda sendirian, tanpa teman, tidak mengerti arti persahabatan. Apa yang dia pahami dari sebuah rasa ikut-ikutan? Tidak ada.
“Kalian semua boleh kembali ke kelas, saya harap kejadian semacam ini nggak terulang kembali, ya. Kalian udah kelas 12, tolong pikirin baik-baik kalo berniat ngelakuin sesuatu. Jangan sampe kalian termasuk golongan murid nggak lulus nantinya,” hardik Bu Hesti dengan nada yang sedikit tidak mengenakkan. Guru BK itu kembali memperbaiki kacamatanya lalu mempersilahkan satu per satu murid meninggalkan ruangan setelah adegan salam.
Tiara, Erik, dan Fina dibiarkan pergi duluan. Di belakangnya, diikuti Bulan yang sedari tadi hanya diam, menyimak, dan seakan menganggap bahwa kejadian di sekelilingnya bukanlah sesuatu penting yang mengharuskannya hadir. Posisi sebagai ‘saksi’ memang berada di tengah-tengah. Lagipula Bulan sendiri bukanlah satu-satunya orang yang menjadi saksi di sana, kejadian itu, kan, di tengah kantin sehingga menjadi pusat perhatian seluruh murid yang menyaksikan langsung. Mengapa harus Bulan yang ditunjuk dan berakhir sebagai saksi hanya karena dianggap ‘sempat menolong’ Langit? Sungguh menjijikkan.
Ketika Langit berniat meninggalkan ruangan BK, Bu Hesti dengan sigap menahan tangan pemuda itu. “Saya belum selesai bicara sama kamu, Langit.”
Langit mengerjap. Dia tidak jadi melakukan aktivitas pamit karena Bu Hesti menjauhkan tangannya ketika Langit mencoba meraihnya untuk bersalaman.
“Apa masih ada masalah, Bu?”
“Ada,” jawab Bu Hesti seraya memasang wajah penuh keseriusan lalu mengembus napas berat. Memerhatikan langit-langit ruangan BK, sebuah lampu yang bersinar langsung ke arah mereka. Sepertinya akan menjadi saksi bisu untuk pembicaraan mereka berdua di hari itu. Seketika Langit merasa pendingin ruangan seolah tidak berfungsi, tubuh Langit memanas. Tidak sabar menunggu apa yang ingin disampaikan Bu Hesti.
Bu Hesti berdiri lalu melangkah meninggalkan Langit yang masih duduk di kursi biru depan meja BK. Guru BK kini sudah berada di depan pintu, melongo sedikit ke luar. Setelah dirasa aman, guru itu kembali dan menutup pintu sambil menguncinya membuat keringat Langit menetes deras. Sebenarnya seberapa penting obrolan mereka hingga guru itu sampai harus menutup pintu seakan membiarkan privasi ini tidak diketahui siapa pun?
Langit mengingat-ngingat dalam kepalanya, pernahkah dirinya melakukan kesalahan fatal selama bersekolah? Perasaan tidak ada. Satu-satunya dosa yang dilakukannya hanyalah tertidur selama jam pelajaran dari bel masuk sekolah hingga pulang sekolah. Itu saja!
Deg!
Justru jangan-jangan, karena itulah ... Bu Hesti berniat menghukum dan menghitung semua poin minus Langit selama tidur di kelas? Langit menggeleng hebat. Tidak mungkin! Kalau semua dosanya itu dihitung dan diakumulasikan, bisa-bisa Langit didepak langsung! Bukan hanya dari peraih beasiswa, melainkan dari SMA Sini!
Pemuda itu terlalu asyik sendiri dalam pikirannya sampai tidak menyadari bahwa Bu Hesti sudah kembali ke tempat duduknya dan menyaksikannya dalam diam. “Hei, Langit. Kamu bisa denger saya?”
Pertanyaan itu menyedot Langit kembali pada realita. Meski seharusnya jam segini Langit biasanya sedang tertidur karena kantuk yang berat, anehnya dia sama sekali tidak merasakan itu ketika berada bersama Bu Hesti. Inikah kekuatan guru BK? Mampu membuat murid panik hingga hilang rasa kantuk?
Bu Hesti menghela dan membuang napas berkali-kali seakan sedang menyiapkan diri juga. Guru itu lalu memijiti pelipisnya sambil membuka buku catatannya. Langit semakin down melihatnya. Buku catatan keramat itu dibuka! Jadi benar kalau dosa-dosa Langit akan dihitung dan dibabat habis di sini?Sungguh mengerikan.
Tubuh pemuda itu mematung sempurna. Menunggu itu hal paling buruk dibanding apa pun. Sekarang dirinya dibuat menunggu oleh seorang guru paling mengerikan yang dimiliki sekolah.
Tuhan, tolong selamatkan Langit sekarang juga! Please! Doanya dalam hati.
“Jadi Langit, bisa kamu jelasin maksud kata-kata kamu tadi?”
“Kata-kata saya yang mana, Bu?” Langit balik bertanya karena merasa ucapan Bu Hesti seperti seorang HRD yang sedang meng-interview calon pekerja dan mengakibatkan dirinya pusing tujuh keliling. Yang mana? Yang mana, ya ampun!
“Kamu menyebut-nyebut diri kamu ‘nggak punya uang’, temen kamu ‘hidup enak’, serta ada kata ‘orang tua’. Menilik dari pilihan kata yang kamu pakai untuk mengungkapkan perasaan kamu, sepertinya bagi saya itu cukup aneh.”
Langit tertohok mendengarnya. Tidak mungkin! Apakah rahasianya yang sudah disembunyikan selama dua tahun lebih akan ketahuan di sini? Di tempat ini? Dengan aroma bunga lavender kesukaan Bu Hesti yang memenuhi seisi ruangan karena dibantu pendingin, Langit sama sekali tidak merasa tenang. Justru berbanding terbalik dengan dirinya. Jantungnya saat ini memompa kencang dengan tarikan napas memburu, tidak siap menghadapi pertanyaan membunuh yang dilontarkan guru BK sekolahnya.
—
A/N :
I'm sorry for late update. Aku sedang sakit.
🤢
Hope you enjoy this chapter ^^
See you & happy holiday^^Posted on Dec 26th, 2020.
KAMU SEDANG MEMBACA
LGBT : Langit Gulita, Bulan Temaram
Teen Fiction⚠️ DONT JUDGE BOOK BY IT'S TITLE! TIDAK ADA KONTEN LGBT, MURNI HANYA SINGKATAN! ⚠️ Jauh dari kata tampan mau pun kaya raya. Dialah Langit. Pemuda yang menyimpan banyak rahasia. Sehari-hari kerjaannya hanya tidur saja membuat teman sekelas iri karena...