Bagian 5 : Sakit

123 51 21
                                    

"Apa yang membuatmu bertahan
hingga detik ini? Tidak tahu. Yang jelas,
Hidupku sangat hampa tanpa kehadiranmu."

-Alicia Maurine



🍀🍀🍀


Pagi hari ini begitu cerah namun tidak dengan paginya Alice. Pukul 7.10 pagi dan Alice baru saja bangun dari tidurnya. Tadi malam setelah terjaga, ia ketiduran dan sama sekali tidak menyetel alarm.

Masa bodoh dengan ritual mandi pagi, ia langsung menggosok gigi dan mencuci wajahnya dengan air.

Gak sempat skincare-an, anjir sial banget.
Dumelnya, saat sedang memasang rok sekolah khas Cendana itu.

Ia bergegas memasang sepatu, dan segera keluar tak lupa mengunci pintu kamarnya.

Jangan tutup dulu gerbangnya Bu Batak, pliss!!!

Namun nasi sudah menjadi bubur, sekilat apapun ia berpakaian, takkan bisa tiba tepat waktu.
Gerbang di depannya sudah ditutup rapat-rapat.

"Tumben kemarin kamu tidak terlambat, Alicia." Suara tegas guru berkacamata itu lebih terdengar seperti sindiran.
Dari balik pagar sekolah, guru itu menulis kembali nama salah seorang muridnya yang sempat absen dalam buku besarnya satu hari yang lalu.
"Rajinnya hanya sehari saja ya, Alicia?"

"Gitu banget buk, ngomongnya. Bukan cuma aku loh buk, yang terlambat hari ini." Alice mencoba mencari-cari alasan.
Namun ucapannya itu malah membuat guru yang bermarga Simatupang itu semakin naik pitam.

"Memang bukan cuma kamu. Tapi saya benar-benar sudah bosan menulis dan melihat namamu di dalam buku saya. Setelah di proses BK, dinasehati kepala sekolah pun, masih juga kamu tidak berubah Alicia? Apa perlu saya panggil orang tua mu kesini?
Jangan berharap hanya karena kamu berprestasi, kamu bisa seenaknya bertingkah laku di Cendana."

Alice yang di omeli begitu hanya menunduk saja. Ia mengakui kesalahannya.
"Baik buk, saya salah. Saya mau lakuin apapun, selain panggilan orang tua."

"Memang seharusnya begitu." Guru batak yang bernama Kristiani Simatupang itu tak melanjutkan kalimatnya.

Meski tidak menyukai Alice, guru tersebut sedikit nya mengerti keadaan Alice.
Sejujurnya ia prihatin dan bertanya-tanya mengapa anak perempuan itu dilepas tinggal sendirian, padahal rumah orang tuanya berada di dalam kota yang sama dan hanya berjarak beberapa kilo meter.

Terlebih saat rapat wali murid bahkan di acara pembagian raport pun orang tuanya tidak pernah datang.
Sehingga Alice selalu bolos di hari itu meski tau bahwa ia mendapat peringkat terbaik di sekolah. Entah malu karena tak memiliki pendamping untuk naik ke podium atau apa.
Tak ada yang pernah tahu tentangnya.

Alice yang tidak pernah menampakkan kesedihannya di sekolah mampu mengecoh ribuan pasang mata yang melihatnya.
Alice yang senantiasa memasang senyuman paling lebar hingga menampakkan gigi-gigi putihnya yang rapi.
Alice dengan suara tawanya yang paling keras diantara teman-temannya.

Dan Alice yang terkadang tiba-tiba menjadi dingin tak tersentuh.
Alice yang terkadang berubah menjadi sensitif atas segala hal.
Adakala dimana setiap mata yang melihat ke dalam netra legam sepekat tinta miliknya, seolah merasakan kesedihan tak berujung pada diri gadis itu.

***

"Hahhh... Haus banget haus !!!"
Alice memasuki kelas dengan mengipas-ngipas wajahnya yang sudah penuh dengan keringat.

For the Moon & the Night Sky [SEMI HIATUS]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang