03. Percaya

7.9K 816 56
                                    

"Val, habis ini kita belajar apa?" tanya ku pada Valerie yang sedang mengunyah makanan nya. Sekarang kami berempat sedang berada di kantin untuk mengisi perut.

"Kalo nggak salah olahraga," jawabnya setelah menelan makanannya. Aku hanya mengangguk sebagai balasan.

"Eh, eh, guys," Irene mengibas-ngibaskan tangannya kepada kami. Aku mengernyit menatap wajah Irene.

"Kenapa Lo? Kerasukan?" bukan aku, Stella yang bertanya. Tampak nya dia masih kesal dengan Irene akibat kejadian hujan air liur tadi. Aku hanya bisa tertawa kecil saat Irene menatapnya sengit.

"Itu Si Ular lagi ngeganjen ke Ayang Ebeb Lo noh, Fe," aku mengernyit mengikuti arah telunjuk Irene. Disana terlihat Hannah yang tengah duduk berdua bersama seorang laki-laki yang sudah bisa ku pastikan bahwa dia adalah Trey, laki-laki yang ku cintai. Mungkin sudah tidak setelah aku bangun dari mimpi sialan itu.

Tapi aku masih belum yakin apakah benar rasa cinta itu telah hilang. Yang jelas saat aku melihat mereka berdua bersama, aku tidak cemburu seperti dulu cuma masih ada sedikit rasa sakit di hatiku. Menurut ku itu wajar, rasa cinta tak bisa hilang begitu saja.

"Lo tau nggak Fe, selama Lo nggak masuk, tu Ular nempel terus sama Si Trey," aku mengalihkan wajah ku menatap Valerie.

"Iya, udah kayak toilet dan taik aja, dimana ada toilet, di situ ada taik."

"Lo kalau ngasih perumpamaan jangan yang jorok lah Stell, ini lagi makan loh gue," ku lihat irene langsung meletakkan sendok nya. Kami tertawa melihat itu. Stella banget memang. Kalau bicara asal jeplak. Beruntung aku berteman dengannya sudah sejah kelas satu smp, jadi aku sudah terbiasa dengan kelakuannya.

"Ya terserah mereka. Mau mereka deket, mau jauh, bukan urusan gue," aku mengedikkan bahu tidak peduli. Setelahnya aku mendengar dentingan sendok.

"Wah... masih sakit nih anak," Irene tampak mengangguk menanggapi pernyataan Valerie dan Stella langsung menempelkan telapak tangannya di atas dahi ku, seperti mengecek apakah aku masih sakit atau tidak.

Aku maklum, karena selama ini aku begitu tergila-gila dengan laki-laki bernama Trey itu sampai-sampai mampu menindas setiap gadis yang diketahui suka dengan Trey dan dengan entengnya sekarang aku mengatakan hal seperti itu bukan lagi urusanku. Sepertinya aku harus meluruskan masalah ini kepada ketiga sahabatku.

"Enak aja. Gini ya guys, selama gue sakit kemaren, gue mendapat pencerahan dari Tuhan," ku angkat kedua tangan ku ke atas seperti orang berdoa agar lebih mendalami, " Gue sadar bahwa gue bisa dapat pangeran yang lebih baik dari si Ikan Teri. Gue udah relain si Ular bersanding sama Ikan Teri," untuk menambah efek dramatis, ku taruh sebelah tanganku di atas dada dan tangan satunya menghapus air mata yang sebenarnya tidak ada.

Saat ku buka mata dan menatap ke tiga sahabatku, mereka menampilkan ekspresi jijik. Stella melempar sebutir kacang ke arah ku yang menandakan dia benar-benar kesal. Aku hanya bisa tertawa terbahak-bahak melihat mereka.

"Serius ini gue. Gue biasa-biasa aja ngeliat mereka," ujarku di sela tawa. Aku mendengar Valerie menghela napas pendek.

"Percaya deh gue sama Lo, Fe."

"Udah bel, ke kelas yuk," Irene bangkit terlebih dahulu, kemudian kemi mengikuti. Sebelum benar-benar keluar dari kantin, ku tolehkan kembali kepalaku menghadap sisi di mana Hannah dan Trey duduk sebentar guna meyakinkan hati. Kalau memang aku dan dia berjodoh, maka kami akan tetap bersatu kelak, dan jika tidak, Tuhan tidak sia-sia. Dia menciptakan manusia dengan berpasang-pasang. Jadi harusnya aku tidak perlu khawatir tentang itu. Pandagan ku kembali ku arahkan ke depan.

Kami berbincang-bincang sepanjang perjalanan ke kelas. Tampaknya mereka tidak menanyakan masalah tadi kepadaku. Baguslah. Aku sedang malas membahasnya.

Tak terasa waktu berlalu, kami sekarang telah berada di tengah lapangan olahraga dengan menggunakan seragam olahraga. Aku baru di beritahu oleh Stella saat kami sedang berganti pakaian tadi bahwa jadwal olahraga kami sekarang akan sama dengan kelas Hannah.

Kesal? Tentunya tidak. Aku senang. Siapa tahu aku bisa menebus dosa dengannya sekarang. Aku sudah tidak sabar menantikannya. Dari tadi pagi aku belum mendapat mangsa untuk di bully dan sepertinya Hannah akan menjadi kandidat yang pas. Ku pandangi Hannah dari jauh. Lapangan tempat kelas nya ber-olahraga ada di sebalah lapangan ku berada.

"Woi, Fe! Liatin apaan Lo?" langsung saja ku alihkan pandangan ku pada Stella. "Liatin mangsa lah," ku berikan senyuman miring pada Stella. Dia mengalihkan pandangan nya ke arah di mana tadi mata ku menatap dan ku lihat dia mendengus serta tersenyum miring setelahnya.

"Katanya bukan masalah Lo?" pandangan nya masih belum teralih. Dia masih menatap Hannah yang membuat ku kembali menatap titik yang sama dan terkekeh pelan.

"Dia mau nge-ganjen sama siapa pun memang bukan urusan gue, tapi bukan berarti gue akan berhenti nge-bully dia."

"Maksud Lo?" ku lirik Stella melalui ujung mata ku, dia kini sedang menatap heran ke arah ku.

"Lo pikir gue nge-bully dia selama ini cuma gara-gara dia dekat sama Trey?" kini pandangan ku sudah beralih menatap Stella yang mengerutkan alis nya semakin dalam. Aku kembali terkekeh.

"Kalau Lo pikir iya, kayaknya Lo belum terlalu ngenal gue dengan baik Stell," kembali ku tatap sosok Hannah di seberang sana dan ku yakin Stella juga mengikuti arah pandangan ku. Dia seperti nya sedang menunggu perkataanku selanjutnya.

"Gue kasih tahu sama Lo satu hal karena Lo yang paling lama kenal gue diantara kalian bertiga. Hannah itu anak kandung bokap gue sama ibu tiri gue," Stella tersentak dan langsung menoleh ke arah ku. Aku memang memberitahu mereka bertiga bahwa Hannah adalah adik tiri ku, tapi tidak dengan fakta bahwa dia adalah anak kandung ayah ku dengan wanita lain.

"Awalnya gue mencoba nerima dia sebagai saudara gue karena bukan salah dia, dia lahir sebagai anak yang nggak sah. Tapi beda ceritanya kalau bokap gue nunjukin kasih sayang yang belum pernah gue dapet ke dia dan lebih mentingin dia dibanding gue," aku menggeram tertahan sambil mengepalkan tanganku menatap Hannah. Aku yakin buku-buku jariku perlahan mulai memutih.

Sakit rasanya hatiku mengingat hal itu. Ayah selalu saja mendahulukan kepentingan Hannah dari pada aku, dan salah satu kenangan yang tidak bisa aku lupakan adalah saat dimana ayah langsung pulang ke rumah karena Hannah terkena demam tinggi. Padahal saat itu dia sedang berada di luar negri untuk urusan bisnis. Dia tidak pernah seperti itu padaku. Dan yang paling mengesalkan adalah, saat Hannah memberitahu ayah bahwa salah satu barang berharganya yang dia simpan di kamarnya hilang. Ayah menuduhku saat itu yang aku tidak tahu entah dengan dasar apa. Hannah hanya diam saat aku dimarahi habis-habisan oleh ayah. Dia tidak mengatakan bahwa aku bukan pelakunya dan bahwa aku tidak pernah menginjakkan kaki ku ke kamarnya. Saat itu aku sadar, jika ayah selalu memandang buruk diriku, maka tidak ada gunanya aku beralasan. Akan ku buat penilaiannya nyata. Jika dia selalu menuduhku bersikap kasar pada Hannah, akan ku buat itu nyata.

Stella meletakkan salah satu tangannya di pundak ku, "It's okay girl. Gue ngerti," kemudian dia melepaskan tangannya dan menatap ku lembut yang membuat ku menatapnya balik. "Mau bagaimana pun keadaannya, Lo sahabat gue. Gue bakal berusaha untuk selalu support Lo selama yang Lo lakuin nggak membuat masa depan cerah Lo dan gue hancur tentunya."

Aku menatap sejenak wajah Stella yang tengah tersenyum padaku. Senyuman nya seperti menular. Ku balas senyum Stella dengan tulus sambil mengagguk, "Makasih Stell, Lo emang yang terbaik."

Mendengar pujian ku, Stella mengibaskan rambutnya bangga yang membuat kedua bola mataku otomatis berputar, tapi tak urung menghentikan tawa ku. Terdengar Stella juga mengeluarkan suara tawanya. Ya, setidaknya aku punya mereka bertiga yang akan selalu ada di sisi ku.


-BV-

Better VillainessTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang