Pagi menjelma menjadi sebuah karya maha agung terindah yang pernah kulihat. Kedua netra ku langsung tertuju kepada siluet biru yang membiarkan sang mentari berkuasa pada saat itu. Kepada garis waktu yang mengartikan takdir, saat ini aku mengerti bahwa dibutuhkan kekuatan untuk mengilhami segala rasa yang terus mengendap merasuki jiwa. Kedua tanganku kubiarkan teregang, mataku terpejam. Memberikan kesempatan pada suara-suara alam untuk menyapa dan membelai ku yang sedang berusaha mengetuk ruang waktu agar aku bisa berteman dengannya.
"Lihatlah, Aku semakin dewasa dengan kisah yang pernah kita alami. Dan Aku bersyukur untuk itu," aku merapalkan syukur dalam relung hati yang paling dalam dan sekilas terbentuk lengkung senyumku.
Jika ada satu memori yang merubah caraku untuk memandang dunia. Maka itu adalah kisah yang pernah ku sebut sebagai sebuah pertemuan antara garis kebahagiaan dan juga kesedihan. Nava dan Lalila yang mengelilingiku sedari tadi tanpa kusadari menatapku nanar. Jika mereka tak memaksaku untuk duduk dan bercerita sekarang, mungkin dia sudah meledak dan membuatku tertawa simpul sambil berlagak ketakutan.
"Heh, kamu jadi cerita ga si? Jangan bikin mati penasaran dong Jingga," protes Nava.
"Iya nih, Lo kan udah janji ke kita bakal ceritain kisah hidup Lo. Secara, seminggu yang lalu Gue sama Nava udah cerita ke Lo," sahut Laila.
"Woy, jangan bengong aja Lo. Cepetan cerita," sahut Laila.
"Iya nih, keburu ada kelas lagi nih. Belom lagi nanti Gue harus ngerjain tugas kelompok kuliah yang bejibun banget," Nava merengut.
"Kalian sabar dikit bisa ga sih? Aku bakal cerita kok, tenang aja," pita suaraku menuntunku untuk bercerita dengan nada rendah.
Aku menarik nafasku panjang, memperbaiki posisiku yang duduk dengan menyilangkan kedua tanganku. Kakiku terlipat, rambut panjangku ku kuncir agar terlihat rapi. Ah, sungguh, memutar kembali cerita yang telah usai membuatku kembali memasuki ruang berdimensi yang hampir pudar cahayanya. Meski aku sekarang berumur 25 tahun, semuanya masih terukir dengan jelas dalam naungan memoriku.
2005
Kala itu, semesta kembali dengan siluet berwarna jingganya. Membuat penggemarnya tak ubahnya kembali memujanya. Seluruh kota nampak ramai. Beberapa orang tengah sibuk ke arah selatan dan utara untuk menjemput sanak saudara dengan maksud untuk berkunjung dan menepis kerinduan yang lama terpendam. Sedangkan sebagian orang yang lain masih setia untuk menunggu pemberhentian kereta selanjutnya. Oh ya aku belum memperkenalkan diriku. Kenalkan, namaku Jingga Claviana Devi. Orang-orang biasa memanggilku Jingga. Dan kini aku berdiri di stasiun kota bersama Ibuku. Kami berdua berjualan di pinggiran stasiun hanya demi sepeser uang. Umurku 15 tahun.
"Nak, bisakah kamu bantu Ibu sebentar?"
"Ada apa Bu?" Tanyaku saat itu.
"Tolong kamu bantu Ibu jajakan ini ya. Ini ada satu kotak penuh jajan, Kamu seng keliling yo Ndok?" Pintanya saat itu.
"Enggeh Buk, biar Jingga yang keliling."
Aku menyusuri setiap lorong yang terisi penuh oleh banyaknya manusia.
"Ayo Ibuk, Bapak. Dibeli jajannya, ada lumpia, ada tahu, minuman dingin, kacang."
"Ayo Bu, dibeli jajannya. Murah meriah, enak rasanya," aku beradu suara dengan banyaknya pedagang yang ada di sana. Berkali-kali mencoba meyakinkan mereka, tetapi tidak ada satupun yang membelinya. Mereka lebih memilih untuk mengabaikan ku dan kembali berkutat dengan aktivitasnya.
"Aku ga boleh nyerah," ujarku di dalam hati. Langkah kakiku membawaku berjalan dengan pasti untuk masuk ke gerbong kereta. Dan sesampainya di depan gerbong kereta. Aku mulai menjalankan aksiku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Literatur Bernyawa [COMPLETED]
General FictionKarya ke 1 Start: 4 Desember 2020 Mendung sekali lagi mencipta gamang. Membuat sendu semakin merasuk dalam raga. Hal ini terjadi pada Jingga, seorang gadis kecil yatim piatu yang bertahan hidup di tengah kerasnya Kehidupan Kota. Kehidupan membuatny...