Yang satu gagal nikah, yang satu gagal move on. Lalu bagaimana kalau keduanya bertemu?
Kata orang dulu, kalau jodoh nggak akan ke mana. Mungkin itu yang dijadikan landasan Davin saat ini, bukan untuk mencari kesempatan dalam kesempitan, tapi untuk memperjuangkan di saat masih diberi kesempatan.
"Mau pulang atau langsung ke rumah sakit?" Davin menoleh sekilas pada Rena yang duduk di kursi samping, lalu matanya kembali fokus pada jalanan yang cukup padat saat menjelang siang.
"Rumah, kebetulan hari ini aku tugas malam." Jawaban singkat dan padat, menjadi akhir dari percakapan singkat keduanya sampai mobil Davin tiba di depan gerbang rumahnya.
"Ren." Panggilan Davin menginterupsi, membuat wanita itu sedikit terkejut.
"Ya?" Wajahnya nampak sayu, kantung matanya terlihat jelas ditambah sedikit bengkak akibat menangis tadi.
Davin menghela napas pelan, dadanya terasa sakit. Mungkin ikatan batin tak pernah salah, ketika seseorang yang kita cintai sedang bersedih kita akan ikut sedih, ketika mereka sakit, kita pun merasakan hal yang sama. Bahkan di saat kita sedang tidak baik-baik saja, jika melihat orang yang kita cintai bahagia, maka kita juga akan ikut bahagia. Sesimpel itu.
"Mau gue anter? Mungkin lo butuh bantuan buat jelasin ke bokap---" Davin mengatupkan bibirnya ketika Rena menggeleng, seulas senyum tipis menghias wajah sedihnya yang tetap terlihat cantik.
"Gue bisa atasi ini sendiri. Thank's buat semuanya, lain kali gue traktir lo kopi." Davin mengangguk pelan. "Gue masuk dulu. Bye Davin, see you." Mata Davin mengikuti langkah Rena memasuki gerbang, setelah wanita itu tak terlihat lagi dia langsung menjalankan mobilnya menuju kafe.
Rena berjalan gontai, layaknya zombi kelaparan. Meski sudah makan sup dan minum obat pereda hangover, nyatanya pening di kepala tak juga reda. Masih terasa sakit, seolah ada tumpukan batu yang di letakkan di atas kepalanya, ditekan-tekan hingga menghimpit otak kecilnya yang tak bisa diajak berpikir untuk saat ini.
"Rena?" Suara bariton papanya menyambut Rena ketika ia membuka pintu. "Dari mana kamu? Kenapa baru pulang." Papanya langsung mencecar Rena.
"Tidur di mana kamu, Ren, semalam?" Suara lembut mamanya ikut bertanya. "Kami khawatir, semalaman kamu tidak ada kabar." Mamanya mendekat, membelai lembut surai Rena.
"Benar Ren, Nak Alan juga sampai bolak-balik ke sini karena khawatir sama kamu." Mendengar nama laknat mantan tunangannya disebut papanya, sontak Rena mengalihkan atensinya, menatap horor sesosok tamu tak diundang yang duduk di hadapan papanya.
"Ren." Pria itu berdiri. "Aku--"
"Stop!" bentak Rena, menginterupsi Alan yang akan mendekat. "Mau apa kamu ke sini?" Ia menatap sinis Alan, sorot matanya penuh dengan kebencian. Melihat pria itu kembali mengingatkannya akan kejadian kemarin, membuat dadanya semakin sesak. Rena merasa jadi wanita paling bodoh sedunia, karena ia tak menyadari perselingkuhan antara calon suaminya dengan sahabatnya sendiri.
"Aku khawatir dengan keadaan kamu, Ren. Ponsel kamu nggak aktif, aku telepon nggak bisa, aku kirim pesan juga nggak dibales, makanya aku bolak-balik ke sini buat mastiin keadaan kamu baik-baik saja," ujar Alan, kata-kata yang terdengar menenangkan tapi justru semakin menggoreskan luka semakin dalam di hati Rena.
"Apa aku terlihat baik-baik saja?" Alan terdiam, matanya terpaku memandangi wajah sayu Rena. Begitupun dengan orangtua Rena, mereka nampak bingung.
"Apa terjadi sesuatu, Ren?" Mamanya yang paling khawatir, apalagi melihat wajah Rena terlihat kuyu, matanya membengkak. "Ren, semuanya baik-baik saja 'kan?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Menikahlah Denganku (Tamat)
RomanceBukan jodoh yang salah, tapi waktu yang belum tepat. Mungkin itu ungkapan yang tepat untuk Rena. Satu bulan menjelang pernikahan, dia justru mendapati tunangannya berselingkuh. Kecewa, sakit hati dan putus asa mengantarkannya ke sebuah club yang bar...