13. Marry Me

1.2K 228 24
                                    

"Aaa ...." Teriakan Rena yang paling kencang di antara pengunjung lain. Bukan karena wahana yang memacu adrenalin, melainkan karena dada yang terasa sesak. "Huaaa!"

Davin menolehkan kepalanya ke Rena, ketika tornado yang dinaikinya berhenti di atas. Matanya terfokus pada Rena, walau memakai masker dan kaca mata, ia bisa melihat ada tetes air mata di sudut mata wanita itu. Dadanya nyeri, melihat wanita yang begitu dicintainya terluka. Jika luka fisik, mungkin Davin bisa mengobati, tapi bagaimana dengan luka hati? Yang bisa ia lakukan hanya membuat Rena kembali tersenyum, dengan begitu luka di hatinya akan berangsur terlupakan. Meski ia sendiri tak tahu seberapa lama wanita itu akan memendamnya seorang diri.

"Huwaaa!" Davin memekik, ketika ia ingin menyeka sudut mata Rena, wahana tornado yang dinaikinya justru terjun ke bawah. "Huuuaaa ... tolong! Tolong!" Sontak tawa pengunjung lain bersambut dengan teriakan Davin, ia mempermalukan dirinya sendiri.

"Gue kira lo bohongan soal teriak-teriak, ternyata beneran. Bahkan teriakan lo lebih kencang dari gue," komentar Rena ketika wahana berhenti di bawah.

Sial!

Davin mengumpat dalam hati, merutuki mulutnya yang lepas kontrol. Padahal di awal, ia sudah mati-matian menahan diri agar tidak berteriak demi menjaga image cool di depan Rena. Tapi karena terkejut saat wahana tiba-tiba terjun bebas, ia yang belum menyiapkan diri spontan berteriak. Merasa jantungnya mencelos, ikut terjun bebas.

"Tapi lega 'kan?" tanya Davin, berjalan beriringan dengan Rena.

"Iya, bener kata lo. Kalau teriak kaya gitu bisa bikin lega." Rena tersenyum lebar kepada Davin, memamerkan deretan giginya yang rapi dan putih.

"Cantik," gumam Davin tanpa sadar, terpesona saat melihat wajah Rena yang begitu cantik. Ditambah helaian rambut panjangnya yang tergerai bebas, meliuk-liuk terbawa angin. Pemandangan yang memanjakan mata, ia sampai tak berkedip beberapa saat. Sebelum suara Rena menyadarkannya kembali.

"Ya? Lo bilang apa barusan?" Rena mengernyit. Bukannya tidak dengar, ia hanya ingin memastikan apa yang didengarnya barusan itu benar. Bukan sekedar halusinasinya. Karena sedari tadi suara Davin terus terngiang, setiap lembar memori tentang pria itu memenuhi pikirannya.

"Nggak kok, itu jepitnya cantik cuma agak miring," kata Davin mengalihkan pembicaraan. Untuk memperkuat alibinya, ia berhenti sebentar begitu juga Rena yang refleks ikut berhenti. Lantas Davin mengulurkan tangannya untuk membenahi tatanan rambut Rena yang tertiup angin, melepas jepit yang dipakainya dan memasangkan kembali di tempat yang semestinya. "Nah, kalau gini 'kan lebih cantik."

Rena yang sempat melongo sesaat, seketika tersipu malu mendengar ucapan Davin. Pipinya memanas, jantungnya berdebar-debar. Ia cepat-cepat memalingkan wajahnya ke arah lain, sadar akan tatapan Davin terhadapnya. Tak bisa Rena pungkiri, kalau perlakuan kecil pria itu selalu mencuri hatinya. Menciptakan sensasi aneh yang memacu kerja jantungnya di luar kendali.

"Haus nggak? Atau lo udah lapar?" Davin mengalihkan perhatiannya ke sekitar.

"Lo lapar?" Rena malah balik bertanya, ikut memperhatikan ke sekitar. "Gimana kalau kita ke pantainya, udah sore pasti enak," usulnya.

Keduanya memang sudah seharian di Ancol, menghabiskan waktu berdua untuk menikmati setiap wahana. Dari permainan anak kecil sampai permainan yang memacu adrenalin, seperti yang baru saja dinaiki oleh keduanya. Hampir seluruh wahana sudah mereka coba satu per satu.

"Ayo." Davin menerima usul Rena, lalu meraih tangan wanita itu.

Awalnya Rena terkesiap, tubuhnya langsung membeku. Namun saat Davin menariknya, ia tersadar meski tak bereaksi. Bagaikan kerbau yang dicucuk hidungnya, ia berjalan mengikuti pria itu, ke mana pun dia membawanya.

Menikahlah  Denganku (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang