Mengalah bukan berarti kalah, memaafkan bukan berarti salah, hanya sebuah proses dari sudut pandang berbeda yang menunjukkan kebesaran hati seseorang dalam mendewasakan diri.
-Rena Tara Adriansyah-
❤❤❤
"TIDAK!!!" Tubuh Rena seketika merosot ketika melihat Vera nekad menjatuhkan diri dari tepian jembatan penyeberangan. Ia tak kuasa menahan tangis, tak berani membuka matanya untuk melihat tubuh Vera yang pasti hancur menghantam aspal jalanan Tol yang berada di bawah jembatan. Namun suara teriakan Vera menyentak gendang telinganya.
"LEPAS!"
"LEPASKAN GUE!"
"BIARIN GUE JATUH!!!"
Sontak Rena menurunkan tangan yang menutupi wajahnya, kelopak matanya perlahan terbuka. Sosok pria tangguh menarik perhatian matanya pertama kali, punggungnya sedikit membungkuk di tepian jembatan, kedua tangan kekarnya menjuntai ke bawah. Terlihat jelas otot-otot di lengannya yang begitu ketara, seolah sedang menahan beban yang sangat berat.
"Davin," gumam Rena, seakan tak percaya dengan apa yang dilihatnya. Benarkah itu Davin? Hingga suara teriakan Vera berhasil mengambil alih seluruh kesadaran Rena dalam sekejap mata.
"LEPAS!"
"GUE INGIN MATI!"
"BIARKAN GUE MATI!!"
Seketika Rena bangun, memaksa kakinya yang gemetar untuk berlari ke tepi jembatan.
"Kau baik-baik saja?" Pertanyaan khawatir serta tatapan penuh ketakutan menyambut Rena, ia tersenyum lembut pada Davin, mengedipkan kedua matanya sebagai jawaban. 'Iya, aku baik-baik saja.'
"LEPAS!!" Vera terus memberontak ketika Davin dibantu oleh Rena menarik tubuhnya kembali ke atas.
Orang-orang yang melihat aksi bunuh diri Vera pun mulai berdatangan untuk membantu. Syukur Vera akhirnya bisa diselamatkan, Davin dan Rena segera membawa wanita itu ke rumah sakit. Karena Rena sangat khawatir dengan janin tak berdosa yang ada di dalam kandungan Vera.
Setengah jam berlalu, Rena masih terduduk lesu di depan ruang rawat Vera. Wanita itu sudah diperiksa oleh Dokter dan beruntung tidak terjadi apa-apa pada kandungannya, hanya saja Dokter memberikan obat penenang kepada Vera agar bisa istirahat karena dia terus memberontak, berteriak histeris, persis seperti orang depresi.
"Ren." Davin menghampiri, duduk di sebelah Rena. Ia membawakan sebotol air mineral dan satu bungkus roti untuk kekasihnya yang belum sempat makan apa pun dari tadi. "Makan," suruh Davin.
Rena menggeleng, ia hanya mengambil botol air mineral dan langsung meminumnya sedikit, hanya untuk membasahi tenggorokannya yang terasa kering mencekik. "Aku nggak lapar," ucap Rena, mendorong kembali roti yang disodorkan Davin.
"Kamu belum makan apa-apa Ren. Isi dulu perutmu, nanti maag kamu kambuh." Davin tak menyerah, kembali membujuk Rena agar mau memakan rotinya. "Seenggaknya kamu ganjel pakai roti, biar maag kamu nggak kambuh. Ingat Ren, masih ada tanggung jawab yang harus kamu kerjakan setelah ini, jangan sampai karena maag kamu kambuh, kamu jadi nggak bisa memeriksa pasien yang sudah bela-belain menunggu."
Mendengar penuturan Davin, akhirnya Rena luluh. Ia mengambil roti yang dibelikan Davin di kantin dan langsung memakannya perlahan. Walau sebenarnya ia tak berselera makan, tapi cacing-cacing dalam perutnya harus diisi, jika tidak mereka bisa berbuat anarkis dan memicu perutnya sakit.
KAMU SEDANG MEMBACA
Menikahlah Denganku (Tamat)
RomansaBukan jodoh yang salah, tapi waktu yang belum tepat. Mungkin itu ungkapan yang tepat untuk Rena. Satu bulan menjelang pernikahan, dia justru mendapati tunangannya berselingkuh. Kecewa, sakit hati dan putus asa mengantarkannya ke sebuah club yang bar...