16. Kadar Cinta

1K 205 10
                                    

Jangan pikul bebanmu sendiri, izinkan aku jadi pundak kedua untuk memikul beban yang tak mampu kau pikul sendiri.

-Davin-


❤❤❤❤

"Apa lo pikir dia bakal tanggung jawab?" Mungkin pertanyaan menohok yang Rena lontarkan pada Vera terdengar begitu kejam. Tapi sebenarnya, ia justru peduli pada wanita itu. Sebesar apa pun rasa bencinya pada Vera, nyatanya tak bisa dipungkiri jika Rena masih sangat menyayangi sahabatnya.

"Akan gue pertimbangkan, tapi gue nggak bisa menjanjikan apa pun ke lo. Karena ini bukan sekedar menyangkut gue, tapi juga keluarga gue. Mama, papa, kak Reyvan, gue nggak yakin mereka mau membebaskan Alan begitu saja." Kata-kata terakhir yang Rena ucapkan tadi pagi kepada Vera, terus berputar-putar dalam pikirannya saat ini.

Rena menghela napas panjang, merilekskan diri yang sedikit tegang duduk di kursi besi. Hingga sebuah langkah kaki berhasil menarik atensinya, ia mengangkat kepalanya dan saat itulah pandangannya beradu dengan sorot mata yang menatapnya tanpa berkedip.

Rena menelan ludah, membenarkan posisi duduknya agar lebih nyaman. Tangannya semakin erat mencengkram tali tasnya, matanya masih tertuju pada seseorang yang duduk di hadapannya. Netra Rena terfokus pada bekas memar yang dibuat oleh kakaknya tempo hari.

"Apa gue nggak salah lihat?" Orang itu langsung membuka suara setelah mendaratkan bokongnya di kursi, tersenyum miring dan enggan menatap Rena. "Seorang Rena Tara Adriansyah menjenguk mantan yang dia jebloskan ke penjara?" Alan tersenyum mengejek. "Kenapa? Lo mulai kasihan sama gue?" Lalu mengalihkan pandangannya pada Rena, mencondongkan sedikit tubuhnya ke depan wanita itu dengan tangan terkepal di atas meja. "Sayangnya gue nggak butuh rasa simpati dari lo!"

Rena tersenyum miris. Bukan karena sikap Alan yang begitu sinis padanya, tapi ia miris pada dirinya sendiri. Kenapa ia tak bisa membenci Alan, kenapa rasa kasihan terus muncul setiap kali melihat pria itu. Namun Rena tak memperlihatkannya, ia menatap datar Alan dengan dagu terangkat. Ia tak boleh gentar sedikit pun.

"Ternyata penjara tidak bisa bikin lo jadi kapok ya?" cibir Rena, matanya melirik ke sekitar.

Alan mendengkus kasar, tertohok oleh ucapan Rena. "Nggak usah banyak bacot, mau apa lo ke sini?" tukas Alan, menaikkan sebelah alisnya. "Nggak mungkin 'kan kalau lo kangen sama gue?"

Rena medengkus geli, menghela napas panjang dan dalam. "Apa lo pikir gue bakal kangen sama lo? Setelah apa yang lo lakuin?" Rena berdecih. "Bahkan gue muak banget lihat muka lo!"

"Oh, ya?" Alan tertawa sinis. "Terus kenapa lo ke sini kalau muak?"

"Terpaksa," kata Rena. "Sebenarnya gue ke sini karena Vera, tapi melihat sikap lo begini. Sepertinya gue harus pikir ulang lagi buat cabut tuntutannya."

Alan mendesis. "Munafik!"

Entah apa maksudnya, tapi Rena tak ingin menggubris ucapan Alan. Ia lantas beranjak dari duduknya, menyesal telah membuang waktunya secara percuma. Rena pikir bisa bicara baik-baik dengan Alan, nyatanya pria itu justru terus memancing kemarahannya.

"Miris banget ya, bayi nggak berdosa itu harus punya bapak kaya lo!" ucap Rena sebelum pergi, setelah mengucapkannya ia langsung berbalik. Namun baru beberapa langkah, suara Alan berhasil menginterupsi————menghentikan langkahnya.

"Apa maksud lo?" Alan berdiri, menggebrak meja.

Rena menolehkan kepalanya, tersenyum miring. "Apa lo belum tahu?" Dari ekspresi wajah Alan sepertinya pria itu memang belum tahu kalau Vera hamil. "Lihat, betapa menyedihkannya lo. Bahkan lo nggak tahu kalau lo bakal punya anak dari selingkuhan lo." Rena berdecak, mengejek. "Tapi sepertinya lo juga nggak bakal ketemu sama calon anak lo, karena lo bakal mendekam di penjara! SELAMANYA!!"

Menikahlah  Denganku (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang