6. Drama

1.4K 253 18
                                    

Jika tak mampu melupakan, gantilah kenangan yang menyakitkan dengan kenangan yang baru.

Setelah kemelut panjang yang menguras emosi dan waktu tidurnya, akhirnya masa berkabung itu telah usai. Dua hari absen dari rumah sakit, kini Rena kembali menapaki koridor sepi rumah sakit di pagi hari. Semilir angin menyejukkan hatinya, kicauan burung mengiri suara high heels yang bergema.

"Pagi Dokter cantik," sapa seorang wanita yang sedang mengepel lantai.

"Pagi," balas Rena, seulas senyuman tipis menghias wajahnya yang terlihat berseri. "Shift pagi, Bu? Sudah sarapan belum?" Rena merupakan Dokter paling muda di rumah sakit Persada Medical Center. Selain parasnya yang cantik, sikapnya juga ramah dan baik pada orang-orang di lingkungan rumah sakit membuat wanita itu sering dijuluki Dokter cantik baik hati.

"Sudah Dok," jawab petugas kebersihan itu. "Dokter mau teh? Atau mau beli makan, biar saya yang belikan ke kantin."

Rena mengusap pundak wanita yang lebih tua darinya, mungkin seumuran mamanya. "Nggak usah Bu, Rena nanti buat sendiri. Ibu semangat ya kerjanya. Fighting." Rena menyemangati.

"Siap Dokter cantik, fighting." Wanita itu membalas penuh semangat, mengacungkan kepalan tangan ke atas menirukan Rena.

"Kalau begitu saya permisi dulu ya, Bu." Rena pamit undur diri, meneruskan langkah kaki menuju ruangannya.

Helaan napas panjang bersamaan dengan bokong yang mendarat mulus di kursi empuk. Rena menyandarkan punggungnya, sembari memejamkan mata. Ternyata berpura-pura bahagia itu menguras tenaga. Mungkin di depan orang lain ia tampak baik-baik saja, seperti seorang wanita kebanyakan yang semakin berseri menyambut datangnya hari pernikahan. Tapi di dalam dirinya justru terjadi pergejolakan batin yang menyiksa, seakan drama percintaannya belum usai juga.

Rena mengembuskan napas kasar, berusaha menata kembali semangat yang sempat redup kala teringat kisah percintaannya yang kandas sebelum menyentuh pelaminan. "Semangat Rena, lo pasti bisa menghadapi semua ini. Stop jadi cengeng, termehek-mehek. Lo bukan bucinnya Alan, masih banyak pria yang jauh lebih tampan, mapan dan pastinya setia nggak kaya Alan." Ia mensugesti dirinya sendiri, mengenyahkan pikiran negatif yang memprovokasi air matanya.

Suara notifikasi pesan masuk, mengalihkan perhatian Rena. Ia membuka pesan masuk, senyuman samar terbit ketika membaca pesan singkat berisi ucapan selamat pagi.

Davin

Jomlo boleh, kesepian jangan. Selamat pagi, nggak perlu datang ke indomaret buat dapat ucapan selamat pagi. Karena gue rela ngucapin itu tiap hari.

Jangan lupa ngopi, karena pura-pura bahagia juga butuh inspirasi.

"Dasar jones." Rena mendengkus geli setelah membaca pesan singkat yang agak ambigu dari Davin. Tapi, kenapa pria itu tiba-tiba mengiriminya pesan? Mungkin ... Rena menepis prasangka yang muncul dalam benaknya. "Mungkin dia cuma prihatin, sama seperti yan lain berusaha kasih gue motivasi buat bangkit lagi. Ya, cuma itu. Nggak lebih." Ia meyakinkan dirinya dan menepis semua dugaan tentang Davin yang mungkin saja suka dengannya.

Setelah membalas pesan Davin, Rena pergi ke pantri untuk membuat kopi sesuai saran pria itu. Ia memang sepertinya butuh kopi untuk mengenyahkan rasa kantuk. Saat sedang membuat kopi, pintu di belakangnya terbuka. Seseorang melangkah masuk. Rena melirik sekilas, lalu mendecih saat tahu siapa orang yang barjalan mendekatinya.

"Lo beneran batalin pernikahannya 'kan?" Tangan Rena yang sedang mengaduk kopi seketika terhenti saat mendengar suara dari samping. "Gue harap itu bukan akal-akalan lo buat mempermalukan gue doang." Sontak Rena menolehkan kepalanya, menatap wanita tidak tahu diri yang berdiri angkuh di sebelahnya. 

Menikahlah  Denganku (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang