Di dalam kamar berhias kembang krisan dilengkapi tirai berwarna emas yang menutupi sempurna semua sisi dinding, seorang wanita dalam balutan kebaya bersulam perak memakai pacar merah di telapak dan punggung tangan tampak duduk bersandar di sandaran kasur sambil memeluk lutut. Sebuah ponsel terus bergetar di sampingnya.Nura Aya Akiara-wanita yang sedang berada di antara dua pilihan pelik. Di luar pintu kamar, suasana sedang riuh oleh tamu undangan yang ikut berbahagia untuknya. Esok, adalah hari di mana ia akan mengubur semua rasa ingin tahunya dan kembali hidup dalam kenyataan pasti, menjadi seorang istri yang hanya tahu sebatas rumah dan dapur.
Di sisi lain dari balik jendela kamarnya, sekitar sepuluh meter dua orang sedang menunggu keputusannya yang hanya berlaku malam ini saja.
"Kalau kamu mau tahu seperti apa rasanya mengajar di perbatasan, malam ini aku dan Trisno tunggu sampai jam sembilan. Ingat! Ini kesempatan sekali seumur hidup."
Ia kembali melirik ponselnya yang tak henti bergetar. Sisa lima menit lagi untuk impian naifnya. Sudah puluhan panggilan tidak terjawab dari Grace, sahabatnya. Kini, ia lebih memilih menenggelamkan wajah di antara lututnya. Antara durhaka kepada orang tua atau dzolim kepada diri sendiri.
Kata orang, tidak hanya anak yang durhaka, terkadang orang tua juga dzolim. Itu yang Nura rasakan, selalu ingin patuh, tetapi hancur dalam waktu yang sama. Jefry-Seorang pengusaha mebel di Pasuruan yang hendak mempersuntingnya, tidak lain hanya seorang lelaki beringas yang berkali-kali hampir menodainya.
Alasan klise, dia sudah menanggung biaya sekolah bahkan seluruh hutang orang tua Nura. Ada sebab ada akibat, ada pemberian tentu ada imbalan.
Pintu kamar terbuka, membuat Nura sedikit tersentak. Seorang wanita paru baya dengan sanggul dan kebaya model kutu mengintip masuk.
"Ngapain masih melek? Tidur yang cukup, supaya besok make up-nya bagus."
Wanita itu kembali berlalu, berganti dengan seorang wanita yang sedikit lebih tua dari Nura. Mengintip masuk dan tersenyum kecut ke arah Nura.
"Mbak bilang juga apa, sia-sia sekolah, ujung-ujungnya bakalan jadi istri salihah, bukan?"
Pintu kembali tertutup dengan keras, menyisakan Nura yang kini menghela napas. Andai ayah masih di sini, tentu senyumnya akan melengkung indah bak busur pelangi. Nura Aya Akiara-Nama bermakna cahaya warna-warni yang cemerlang (pelangi) adalah nama yang ayah harapkan bisa membuat sang putri selalu tampak ceria.
"Kayaknya Nura emang mau jadi manten." Grace menepuk punggung Trisno yang masih melamun di atas mobil pick up. Sesekali Grace memukul pelan betisnya yang kini harus menjadi santap malam nyamuk, demi menunggu keputusan sahabatnya.
"Jadi berangkat ni?" Trisno sudah melompat turun dari pick up hendak menuju jok kemudi.
"Tunggu!" Sebuah tas ransel terlempar dari pagar tanaman pucuk merah. Masih dalam balutan kebaya dan mukena, wanita cantik yang kini muncul dari rimbunnya pagar menenteng koper membuat Grace dan Trisno berbinar.
"Keputusan yang tepat!" Trisno menutup pintu mobil lalu dengan cepat melajukan mobil.
Di bagian belakang mobil, Grace memeluk erat sahabatnya yang kini benar-benar mendapat keberanian. Walau dalam malam dan dingin, kedua wanita itu tertawa.
"Kalau aku jadi kamu, udah bunuh diri aku." Grace menggelengkan kepala, tidak habis pikir sahabatnya masih bisa tertawa dengan semua kejadian yang ia alami.
"Ya, mau gimana lagi, kata ayah, jika dunia memberimu seribu alasan untuk bersedih, berikan seribu satu alasan untuk tertawa."
Grace hanya menghela napas. Kata yang sudah ribuan kali terucap oleh Nura disetiap keadaan yang tidak membawa bahagia. Misalnya ketika Jefry hampir menodainya atau ketika Ibu Nura hampir menjualnya ke rumah bordil. Setiap kali Nura selamat, ia masih bisa tertawa dengan alasan di atas.Tidak heran, aura positif selalu ada di manapun Nura berada.
***
"Harus naik kapal?"Grace memanyunkan bibir ketika mobil Trisno kini membawa keduanya ke pelabuhan.
"Komandan pesannya gitu, Grace. Selamat berjuang, ya!" Trisno memberikan dua buah karcis kapal yang kini sudah terlihat sandar.
Dengan malas, Grace dan Nura bersedakan dengan para penumpang lainnya agar bisa masuk dan mendapat tempat. Bisa lolos ke dek lima membuat keduanya menghela napas lega. Dengan koper dan ransel, serta kebaya yang sangat sempit membuat Nura kewalahan agar bisa sampai di kapal.
"Tidurnya di sini?" Grace kembali menatap geladak paling atas yang hanya dibatasi pagar besi.
"Iya, kamarnya udah full." Nura meletakkan ranselnya, lalu ikut duduk.
Bunyi sirine KM Umsini kini menggema di Pelabuhan Tanjung Perak. Bunyi yang membuat bodi kapal bergetar, bahkan dua jiwa wanita muda di atasnya. Keduanya saling bertatapan sambil menelan ludah. Sebuah keputusan yang entah bagaimana akhirnya.
"Insya Allah, semoga dalam pelarian ini, aku bisa menemukan alasan yang mendukung pembenaranku." Senyum dalam malam, Nura bangkit berdiri, dan melangkah mendekat di pagar pembatas kapal.
Semakin jauh, kerlip lampu warna-warni Kota Surabaya semakin kecil. Bahkan di atas sana, hanya ada kelabu yang menangkup bumi. Angin malam ikut menggoyangkan mukena yang melindungi tubuhnya. Nura tertawa melihat dirinya sendiri, satu menit terakhir membuatnya mendapatkan alasan untuk pergi-lari dari takdir yang belum sepenuhnya ia terima.
Setelah menggelar matras kecil, Grace mulai terlelap. Nura yang menjadi sandaran wanita yang tingkat percaya dirinya melebihi menara eifel itu hanya menatap jauh ke lautan gelap.
"Nura itu cocoknya jadi anak kyai. Tutur kata, sikap dan kebaikan hatinya cocok banget jadi ning. Takdir gila banget, ya, ibunya cangkokan iblis, anaknya kloning malaikat."
Nura tersenyum lirih jika mengingat ucapan-ucapan serupa. Sayang, itu hanya ucapan. Mendiang ayah yang berkerja sebagai guru mengaji, membuat sang ibu setelah menjanda harus terlilit hutang dan rela melakukan apa pun demi uang. Alasannya klise, dunia tidak meluluh tentang uang, tetapi semua yang kita butuhkan itu pakai uang.
Anak mana yang ingin terlahir demikian, bahkan jika boleh memilih, tentu siapa pun akan menolak takdir menjadi Nura.
***
Ini hari ke empat Nura dan Grace ada di kapal. Sudah beberapa pelabuhan yang membawa mereka berlabu ke Indonesia Timur. Masih di dalam laut yang tenang, Nura yang baru saja menunaikan salat Subuh di musala kapal, kini.berdiri di haluan sambil menatap langit keemasan di ujung laut yang seolah tak ada tepian.Setelah kelabu yang menangkup bumi, kini pendar kilau emas membuat Nura memejamkan mata sambil menikmati terpaan angin laut yang membelai wajah dan kerudungnya.
Ayah selalu benar tentang dua hal yang selalu beriringan di dunia ini. Ada tangis tentu ada tawa, ada malam tentu ada siang. Lalu, jika seseorang bertanya apa alasan yang selalu membuatnya tertawa, tentu saja ia hanya ingin. Tidak semua hal di dunia ini mendapat jawaban. Ia mencoba mempercayai itu.
Selepas salat Dzuhur, mata Nura dan Grace berbinar setelah melihat daratan tempat mereka akan berpijak.
Pelabuhan Tenau, Kupang, NTT telah menyapa keduanya dengan senyum dari kulit hitam manis para penduduk. Bumi yang menguning dengan lautan yang indah membuat keduanya kini harus mengipasi diri sendiri di atas bus tujuan Atambua, Belu, kota kecil di ujung Indonesia.
"Kayaknya aku juga nggak cocok jadi anak purnawirawan. Cocoknya jadi anak pejabat." Grace beberapa kali bercermin melihat foundationya yang mulai luntur.
"Kita tidak bisa menentukan takdir, ya." Nura ikut menghela napas. Dibandingkan Grace, ia lebih kepanasan dengan kerudung dan jaket tebal. Bahkan kini ia harus mengenakan masker karena debu jalanan yang sudah beterbangan di antara terik jalanan Trans Timor, alias jalur sabuk merah.
KAMU SEDANG MEMBACA
Di Ujung Pelangi Atambua
Roman d'amourKatanya, semua yang ada di bumi ini punya kilas balik masa lalu yang menyertai kehadirannya. Katanya lagi, semua yang terjadi itu punya alasannya masing-masing. Lantas, apa benar, baik mencintai atau membenci juga harus beralasan? Sama halnya dengan...