“Menerima, mencoba tegar, itulah yang bisa aku lakukan sekarang.”~ Rafanza Athaar Rabbani ~
Dalam keadaan pejaman mata, sosok pemuda terbaring di ranjang menjerit di alam bawah sadarnya sambil memegang dadanya dengan kuat. Rasa sakit menghimpit dadanya begitu menyesakkan.
“Akh!”
“Bunda hhh ... sakittt ... hhhh ....”
“Akh! Bunda hhhh ... se-sak ....”
Tak lama kemudian, sosok wanita berjilbab biru datang, memasuki kamar putranya. Kedua bola matanya membulat dengan sempurna, melihat putranya kesakitan.
“RAFA! RAFA KENAPA SAYANG?!” teriak wanita paruh baya begitu panik.
“Da-daku hhhhh sa-kit bunda hhhh ... se-sak banget hhhhh ....” lirih Rafa sambil memukuli dadanya yang terasa sesak.
Wanita itu meraih tangan pemuda itu, kemudian menggenggamnya. “Jangan dipukul, Rafa Sayang ... nanti tambah sakit. Dielus, ya dadanya. Bunda ambilin inhealer dulu.”
Ia mengambil inhealer yang terletak di atas nakas, kemudian meraihnya. Wanita itu membantu Rafa, memakaikan inhealer, sambil salah satu tangannya tergerak mengelus dada Rafa dengan lembut.
“Rafa tenang, ya? Rafa pasti bisa kok, hilangin rasa sakitnya. Rafa coba ambil napas,” pinta wanita itu.
Pemuda itu mengangguk. Ia berusaha mengambil napas, kemudian rasa sesaknya mulai berkurang.
“Gimana Rafa? Kamu masih sesak, Nak?” tanya wanita itu.
Rafa kembali mengangguk. “Udah hilang, Bunda”
“Bunda akan selalu ada buat Rafa, kamu kuat ya. Semua ini adalah ujian buat kamu. Jadi, kamu enggak boleh mengeluh ya, Sayang. Rafa dikasih penyakit ini supaya Rafa tetap kuat dan tegar. Anak bunda itu hebat!”
“Makasih, Bunda.”
Wanita itu melengkungkan bibirnya dengan sempurna, menatap putranya, kemudian mengusap surai hitam Rafa dengan lembut. Tak lama kemudian, pemuda itu kembali tertidur.
“Bunda ... hhhhh ... To-long Ra-fa hhhhh! se-sak banget bunda hhhhh ...."
“hhhhh sa-kitt ... sa-kitt ... hhhhh ....”
Pemuda itu terus mengerang sambil memegangi dadanya yang amat begitu nyeri. Tiba-tiba, ia teringat dengan apa yang mendiang bundanya lakukan dahulu padanya. Rafa mengelus dadanya dengan pelan, kemudian meraih inhealer yang terletak di atas nakas. Rafa mulai memakai benda itu, kemudian mencoba mengambil napas. Rasa sesak yang menghunjam bagian dada perlahan mulai hilang. Buliran bening lolos dari matanya.
“Rafa rindu bunda. Biasanya kalau tiap malam Rafa kambuh, bunda ada di sini buat bantu dan tenangin Rafa. Rafa sekarang benar-benar sendiri dan harus bisa sendiri ... Rafa rindu bunda ....”
Pemuda itu melihat ke arah dinding, memperhatikan benda bulat yang memiliki dua buah jarum. Jarum pendek mengarah ke angka tiga sementara jarum panjang mengarah ke angka sepuluh. Ia bergegas, beranjak dari ranjang, kemudian pergi ke toilet untuk mengambil air wudu. Usai berwudu, Rafa mulai menunaikan salat malam.
*****
Sosok pemuda duduk di rooftop, memandangi langit biru cerah ya g dihiasi awan putih bersih, serta sinar matahari yang belum begitu terik. Headset putih sudah bertengger di kedua telinganya. Ia mendengarkan murattal Al-Qur’an dari ponsel miliknya. Pemuda itu memejamkan mata, merasakan hawa sejuk yang menusuk kulitnya. Serta mendalami bacaan yang ia dengarkan.
“Rafa mana? Belum dateng dia?” tanya Edo yang baru saja duduk di bangkunya.
“Tadi dia berangkat bareng gue tau! Kok, dia belum sampai sini, ya?” pikir Alden. Alden heran. Seharusnya Rafa sudah datang dari tadi ke sekolah, tetapi ia tak menjumpai Rafa di kelas.
“Jangan-jangan dia emang sengaja enggak mau masuk dulu. Mungkin dia hindari lo, Alden! Kemarin kan, lo hajar dia habis-habisa. Mungkin dia takut sama lo,” asumsi Putra.
Alden mendecak. “Lo ada benernya juga, Putra! Kurang ajar emang si Rafa hindari gue! Awas lo,.Rafa nanti!” ujar Alden kesal.
“Gimana kalau kita cari si Rafa? Kita samperin dia,” usul Edo.
Alden menggeleng. “Pagi ini gue nggak mood berantem. Nanti pas istirahat aja kita bikin perhitungan sama Rafa!” putus Alden.
*****
Sosok pemuda berkulit putih baru saja keluar dari musala, sehabis melaksanakan ibadah salat dhuha. Saat sedang memakai sepatu tali, ia melihat Ikhsan tengah bingung, mencari sepatunya. Pemuda itu berinisiatif, mencarikan sepatu milik Ikhsan.
Tak lama kemudian, Rafa menemukan sepatu miliki Ikhsan. Ia menyodorkan sepasang sepatu hitam di depan Ikhsan. “Nih, sepatu kamu.”
Ikhsan langsung merebut sepatunya dari tangan Rafa. “Enggak usah sok peduli, lo!”
Rafa melengkungkan bibirnya dengan sempurna, menatap Ikhsan. "Aku enggak mungkin bisa enggak peduli sama sahabatku. Bagaimana pun sikapmu, aku enggak akan berhenti buat peduli sama kamu,” ujar Rafa.
Ikhsan menatap tajam Rafa. "Kita udah putus Rafa! Lo nggak usah pedulikan gue lagi!” peringat Ikhsan.
“Dalam persahabatan tak ada kata putus. Tidak ada yang namanya mantan sahabat. Bahkan, Alden yang sudah lama memutuskan persahabatan kita, aku tetap menganggapnya sebagai sahabat,” sahut Rafa.
Ikhsan mendengkus kesal. “Gue nggak peduli sama lo! Jadi, jauhi gue! Lo itu ... anak haram, Rafa!”
Bagai disambar petir di siang bolong. Ikhsan begitu tega mengatakan hal itu kepada Rafa. Rasa nyeri di dada kembali datang. Ia berusaha menahan rasa sakit di depan Ikhsan.
Rafa tersenyum getir, menatap Ikhsan. “Kamu ikut menghakimi diriku, San? Kamu pikir aku mau memiliki nasib seperti ini?” Rafa menggeleng. “Tidak, San. Aku kalau boleh minta, lebih baik tidak dilahirkan.”
“Jadi, nggak ada yang sayang sama Rafa lagi? Tapi, siapa, ya, yang kemarin bawa Rafa ke UKS dari gudang? Obati Rafa?” tanya Rafa. Ikhsan bungkam. Pemuda itu berharap Rafa tidak menuding dirinya.
Rafa menatap ke arah Ikhsan dengan senyuman mengembang. “Orang itu kamu, Ikhsan.” Ikhsan langsung menggeleng.
“Nggak usah nuding orang sembarangan! Jangan harap gue peduli sama lo!” sahut Ikhsan dengan ketus.
Rafa kembali tersenyum. "Mata dan bibir itu beda, San. Aku yakin kalau kemarin kamu yang nolongin aku. Aku berterima kasih sekali kepadamu, Ikhsan. Mau sampai mulut kamu berbusa mengatakan bukan kamu yang menolongku, aku tidak percaya.” Rafa berdiri, kemudian melangkah pergi, meninggalkan Ikhsan yang masih mematung, memandangi punggung Rafa yang makin menjauh dari pandangannya. Raut wajahnya menjadi sendu.
Maafin gue, Rafa.
Rafa pergi ke toilet. Pemuda itu menyandarkan punggungnya pada pintu. Rasa sakit dada kembali hadir yang sejak tadi ia tahan mati-matian di depan Ikhsan. Pemuda itu merogoh saku kemeja putih, kemudian mengambil inhealer. Segera ia memakai benda itu. Rafa berusaha mengatur napasnya. Buliran bening lolos, membasahi pipi pemuda tampan itu.
Sakit ... aku harus kuat jalani takdirku yang sekarang. Kini Ikhsan juga menghakimi diriku anak haram. Rasanya lebih menyakitkan daripada Alden yang mengatakan hal itu.
Pemuda itu mengusap air matanya. “Aku harus kuat. Aku harus tegar. Bunda bilang Rafa itu tegar. Bunda, Rafa akan berusaha menjadi tegar.”
Hai aku kembali update Rafa. Sejauh ini bagaimana menurut kalian tentang Rafa, Alden, dan Ikhsan? Oh, ya, besok nggak update dulu ya. Aku ada UAS matematika soalnya. Nanti hari Minggu aku double update kok. Jadi tunggu aja. Terima kasih udah mampir ke cerita ini. Jangan lupa tinggalkan bintang dan komentar kalian. ☺️
See you next part 😉

KAMU SEDANG MEMBACA
GOOD BYE [Sudah Terbit ❤️]
Teen Fiction⚠️ Sudah tidak lengkap ⚠️ Warning Cerita ini ada beberapa adegan kekerasan! Diambil baiknya, yang buruk buang 😊 Perzinaan memang tidak bisa dimaafkan, tetapi anak hasil perzinaan tidak bisa disalahkan. Rafanza Athaar Rabbani, menjadi objek perundu...