“Menjadi bermanfaat bagi orang lain adalah sumber kebahagiaanku.”
~ Rafanza Athaar Rabbani ~
Ikhsan tidak jadi membawa Rafa ke UKS, pemuda itu keluar dari sekolah. Ia mencegat taksi.
“Hilma! Kau susul dengan motor. Biar gue yang antar Rafa naik taksi,” ujar Ikhsan, diangguki oleh Hilma.
“Hati-hati, Ikhsan. Semoga Rafa baik-baik aja,” ujar Hilma. Ikhsan bergegas memasuki kendaraan beroda empat berwarna biru itu.
Setiba di rumah sakit, Rafa dilarikan ke ruangan UGD. Ikhsan dan Hilma menunggu di depan pintu ruangan. Mereka terlihat begitu cemas.
“Ikhsan, harusnya Rafa tidak menggantikan aku tadi,” sesal Hilma. Ikhsan mengembuskan napasnya dengan kasar.
“Rafa memang seperti itu. Dia sangat baik,” sahut Ikhsan. Ikhsan sudah hafal bagaimana Rafa apalagi terhadap sahabatnya. Meski Rafa dengan Hilma belum lama bersahabat, pemuda itu telah berkorban untuk Hilma. Demi Hilma tidak menjalani hukuman, Rafa rela memberikan topinya, kemudian menggantikan gadis itu dihukum oleh guru. Padahal sangat membahayakan kesehatan dirinya.
Rafa ... Lo harusnya nggak gini. Gue nggak suka lo keras gini.
Tak lama kemudian, pria berjas putih keluar dari ruangan UGD. Ikhsan dan Hilma menghampiri dokter tersebut.
“Bagaimana keadaan Rafa, Dok?” tanya Ikhsan dengan nada cemas.
“Rafa habis ngapain?” tanya dokter itu.
“Push up tujuh kali, lari keliling lapangan lima kali,” jawab Ikhsan.
“Dugaan saya benar. Rafa melakukan olahraga berat sehingga kambuh seperti ini,” terang dokter itu. Hilma mengerutkan keningnya.
“Kambuh? Memang Rafa sakit apa?” tanya Hilma, membuat pemuda bdi samping Hilma seperti patung, membungkam.
“Rafa menderita asma. Penyakitnya sejak lahir,” jelas dokter itu. Hilma membulatkan mata.
“Asma?” Hilma menatap ke arah Ikhsan. Tatapan itu penuh tanya dalam pikiran.
“Benar Rafa mengidap asma, Ikhsan?” tanya Hilma pada Ikhsan.
Pemuda itu mengangguk pasrah. Mungkin sudah saatnya Hilma mengetahui kondisi Rafa yang sebenarnya.
“Itu benar. Rafa memang memiliki penyakit asma sejak lahir. Gue baru tahu juga, Hilma asal lo tahu. Rafa benar-benar rapi menyembunyikan penyakit itu. Dia nggak mau nyusahin dan jadi beban pikiran orang lain,” jawab Ikhsan, membuat Hilma syok bukan main. Gadis itu meloloskan buliran bening.
“Rafa ... kamu ... asma, kenapa lakukan ini?” lirih Hilma.
“Sekarang Rafa masih belum sadarkan diri. Mungkin beberapa jam lagi. Rafa jangan dibiarkan kumat sampai pingsan. Ini membahayakan dirinya,” peringat dokter.
“Tingkat penyakit keturunan itu makin akut. Rafa sangat keras kepala. Dia selalu melakukan apa yang dia mau. Baru seminggu di rumah sakit, dia balik lagi ke sini,” ujar dokter itu.
“Seminggu? Berarti Rafa menghilang itu karena dirawat?” pikir Hilma.
“Rafa nggak sadar dua hari. Dia ditemukan pingsan di rumahnya entah sedang apa sebelumnya. Ditanya pun tidak mau menjawab,” sahut dokter itu.
“Dokter, apa asma tidak bisa disembuhkan?” tanya Hilma.
Pria berjas putih itu mengembuskan napasnya dengan kasar. “Penyakit ini hanya bisa diredakan, belum ada yang bisa menghilangkan secara total. Sebenarnya Rafa cukup menghindari sesuatu yang membuatnya alergi, istirahat yang cukup, tidak berolahraga yang berlebihan, tidak kelelahan, dan tidak banyak pikiran. Anak itu sepertinya banyak masalah. Dia belum mau terbuka sama saya. Padahal saya dokternya dari usia sebelas tahun. Saat kecil, dokternya adalah ayah saya yang sudah tiada. Rafa sudah seperti putra saya sendiri,” terang dokter itu bernama Fatah.
“Dok, apa kami bisa melihat keadaan Rafa?” tanya Ikhsan.
Dokter Fatah mengangguk. “Silakan. Kalau butuh apa-apa, panggil saya saja,” ujar dokter Fatah. Pria itu melenggang pergi. Ikhsan dan Hilma memasuki ruangan UGD. Mereka menatap pemuda berseragam putih abu-abu yang terbaring di brankar. Hilma menatap sendu Rafa.
“Rafa ... kenapa kamu berkorban buat aku? Harusnya nggak perlu. Aku lebih kuat jalani hukuman itu ...,” lirih Hilma.
“Fa, cepet bangun. Jangan lama-lama tidurnya. Gue nggak kuat lihat lo kayak gini. Rafa, kita khawatir sama lo,” lirih Ikhsan.
Ikhsan dan Hilma menunggu di ruangan UGD. Mereka memutuskan bolos sekolah saja. Mereka tidak bisa meninggalkan Rafa dalam kondisi seperti ini.
Beberapa jam kemudian ....
Kedua bola beriris cokelat itu mulai terbuka dengan perlahan. Awalnya memburam, mulai terlihat jelas. Ia menatap sekeliling. Dahinya berkerut.
Rumah sakit? Lagi?
Pemuda itu menengok ke samping kanan. Ia melihat pemuda dan gadis berjilbab putih tengah duduk di samping brankar. Kedua insan manusia itu berbinar, melihat Rafa sudah sadarkan diri.
“Ka-lian ....”
“Akhirnya kamu sadar juga, Rafa,” ujar Hilma senang.
“Lo di rumah sakit, Rafa. Lo tadi pingsan di lapangan. Rafa, lo harusnya nggak lakuin hukuman Hilma. Biar gue aja tadi,” ujar Ikhsan.
“Rafa ... harusnya kamu biarin aku yang dihukum. Ini karena keteledoran aku. Gara-gara aku, kamu masuk rumah sakit. Kenapa kamu lakukan ini untukku, Rafa?” tanya Hilma, menatap Rafa begitu sendu.
Rafa melebarkan bibirnya begitu tipis dibalik masker oksigennya. “Aku nggak papa. Aku sayang kamu. Sahabatku nggak boleh panas-panasan. Biar aku saja. Aku akan melakukan apa yang aku bisa, Salma. Salma, kamu jangan khawatir sama aku. Aku laki-laki, aku kuat,” ujar Rafa.
“Tapi, kamu sakit, Rafa!” sentak Hilma. Rafa mengerutkan keningnya, kemudian menatap Ikhsan.
“Ikhsan, dia sudah tahu sebenarnya?” tanya Rafa. Ikhsan mengangguk.
“Rafa, kenapa kamu nggak cerita sama aku. Kita sahabat bukan?” tanya Hilma.
“Aku nggak papa, Salma. Buktinya, aku sekarang membuka mata. Aku Cuma nggak mau jadi beban pikiran kamu. Kau cukup nikmati persahabatan kita sama-sama,” jawab Rafa.
Hilma menggeleng. “Dengar ini, Rafanza Athaar Rabbani. Kamu bukan beban bagiku. Kamu adalah sahabat terbaikku. Kita sahabat, suka dan duka kita jalani sama-sama. Jika salah satu dari kita ada masalah, cerita. Jangan memendamnya sendiri. Itu sangat menyakitkan. Aku takut, Rafa ....”
“Sal, aku sayang kamu.”
“Aku juga, Rafa.”
Sementara pemuda di samping Hilma tengah menahan sesuatu. Ada sesuatu yang menusuk bagian ulu hatinya. Kedua tangannya terkepal.
Gue akan ngalah. Mereka saling cinta. Gue nggak mungkin bisa mendapatkan hati Hilma. Rafa lebih baik dari gue.
Hai aku kembali update. Terima kasih sudah menunggu kelanjutan kisah ini. Ikuti terus kisah Rafa. Jangan lupa tinggalkan bintang dan komentar. See you next part. ☺️😉
KAMU SEDANG MEMBACA
GOOD BYE [Sudah Terbit ❤️]
Teen Fiction⚠️ Sudah tidak lengkap ⚠️ Warning Cerita ini ada beberapa adegan kekerasan! Diambil baiknya, yang buruk buang 😊 Perzinaan memang tidak bisa dimaafkan, tetapi anak hasil perzinaan tidak bisa disalahkan. Rafanza Athaar Rabbani, menjadi objek perundu...