12. Fitnah

1.7K 167 25
                                    


“Tak perlu merasa takut jika kau benar. Berdoa saja, semoga Allah secepatnya menguak kebenarannya karena kebenaranlah yang akan selalu menang.”

~ Rafanza Athaar Rabbani ~

Seorang pemuda tengah berbaring di atas ranjang, melipat kedua tangannya yang diletakkan di belakang kepalanya. Ia menatap langit-langit atap rumah dengan pandangan kosong.

Aku ingin di sini dulu, Bunda. Boleh, kan?

Tiba-tiba ponselnya berdering. Pemuda itu meraih benda pipih yang terletak di atas nakas. Netranya membulat, melihat nama kontak itu.

Ayah?

Akhirnya ia mengangkat panggilan itu. Entah ada apa ayahnya menelepon di jam sebelas malam.

Assalamualaikum, Ayah?”

“Kamu di mana? Belum pulang juga?”

Rafa menggigit bibirnya. “Em ... aku ... di rumah bunda, Yah,” jawab Rafa begitu gugup.

“Pulang kamu sekarang!”

Rafa menggeleng. “Enggak mau. Rafa mau di sini. Ayah bilang, kalau Rafa bukan anak ayah. Rafa bukan pembantu, Yah. Rafa mau di sini!” sahut pemuda itu, mencoba memberanikan diri memberontak.

“Nggak ada alasan! Pulang! Kamu mau pulang kesini sendiri, atau saya jemput kamu, hm?”

“Ayah ... tolong, mengerti Rafa. Aku butuh waktu sendiri.”

“Oke, saya jemput kamu, Rafa!”

Tut.

Rafa mengembuskan napasnya dengan kasar. Ayahnya sepertinya keras kepala. Ia tidak mau mendengarkan apa yang Rafa inginkan saat ini. Pemuda itu meloloskan buliran bening.

Ayah, sebenarnya kau anggap aku apa?

Kedua bola matanya tertutup dengan sempurna. Biarkan saja ayahnya datang di saat ia tertidur. Yang jelas saat ini Rafa belum mau bertatapan dengan ayahnya.

Beberapa menit kemudian, sosok pria paruh baya dengan mengenakan jaket kulit berwarna hitam tiba di rumah berukuran sedang. Ia mengetuk pintu.

“Rafa ... buka! Ini Ayah!”

“Rumah kamu di sana, bukan di sini! Keluar kamu!”

“Rafa! Buka!”

Akbar mencoba membuka pintu, ternyata tidak dikunci. Hanya buang-buang waktu saja ia berteriak. Pria itu memasuki rumah tersebut, berjalan menuju kamar tidur Rafa. Saat membuka pintu kamar, ia melihat putranya sudah terlelap. Pria itu menepuk pipi Rafa.

“Rafa ... bangun. Kita pulang.” Pemuda itu tampak begitu pulas sehingga tidak kunjung membuka mata. Akbar mengembuskan napasnya dengan kasar.

“Maafkan Ayah, Rafa,” lirih pria itu. Ia mengambil beberapa barang Rafa, kemudian menggendong tas Rafa di punggungnya. Pria itu membuka selimut, lalu meraih tubuh putranya. Akbar menggendong Rafa, kemudian berjalan keluar dari rumah berukuran sedang itu. Ia membaringkan putranya di mobil bagian belakang. Meletakkan tas berwarna hitam di bawah. Akbar bergegas melajukan mobil, menuju rumah.

GOOD BYE  [Sudah Terbit ❤️]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang