PART 11

169 76 28
                                    



"Kamu tau Ar? Kamu adalah fatamorgana yang aku paksa untuk jadi nyata. Namun buktinya, tak ada."

-Viola Martina-



Tubuh Rani terasa kaku seketika. Melihat suaminya menamparnya dengan sangat keras, bahkan sampai sudut bibirnya berdarah.

"Ma-mas. Apa maksudmu?" tanya Rani terbata bata.

Tangan Nugra mengepal. Deru nafas tak teratur semakin menyakinkan Rani, bahwa ada sebuah bencana. "Aku akan segera urus surat perceraian kita."

"Ha? Surat cerai? Aku tidak faham mas."

Tak ada respon dari Nugra. Suaminya itu masuk kekamar. Mengambil sesuatu yang menurut Rani, itulah bencananya.

BRUKK

Papa Arka melempar sebuah buku usang. Rani terpaku. Buku itu? Buku milik seorang perempuan yang pernah dia sakiti. Buku yang menjadikan sebuah bukti bahwa pemiliknya pernah tersakiti. Buku yang Rani usahakan tidak akan dilihat oleh siapapun. Bahkan, Ia akan berniat untuk membakarnya agar tak ada satupun bukti.

Lalu sekarang? Tamatlah sudah riwayatnya. Hanya tinggal menunggu waktu, lalu dia akan menerima akibatnya. Mama tiri Arka itu menangis tersendu sendu. Meneriaki nama suaminya dengan keras, walaupun tak ada respon. Bersimpuh pada lantai dengan tetesan air mata yang tak ada habisnya.

Benar kata pepatah,

"Sepintar-pintarnya bangkai ditutupi, baunya tetap tercium juga."

☘️☘️☘️

Viola, gadis manis dengan rambut lurus itu tengah bergelung dengan selimutnya. Memeluknya erat seolah dia tak ingin beranjak dari tempat tidurnya. Waktu sudah menunjukkan jam lima pagi. Alarm jam juga sudah memenuhi tugasnya. Namun lagi lagi tak terbalas oleh gadis itu.

"ASTAGFIRULLAH, VIVII!! ANAK GADIS KOK JAM SEGINI BELUM BANGUN! MALU SAMA AYAM TETANGGA NAKK!!!"

Teriakan Mama Ratna itu memekakkan telinga. Membuat Vivi kaget ditempat. Ia terpaksa bangun, berdiri dari tempat, dan bergegas kekamar mandi. Sebelum itu, Vivi masih sempat sempatnya membalas perkataan Mamanya.

"Biarin lah Ma. Ayam ayam tetangga. Kok kita yang ngurusin," perlahan tapi pasti, kaki jenjang Vivi bergerak keluar dari selimut. Menggigit bibir bawah sembari menggenggam kuat kedua tangan. Hingga setelahnya, Vivi berlari bagai kilat.

"VIVII!!!!" karena dia tahu, mamanya akan kembali berteriak.

Sepeda terkayuh sangat pelan. Mengikuti arah sekolah dengan santai. Gadis yang tadi bergerumul selimut, kini tampak segar. Bedak tipis menambah aura Vivi memancar. Masih terbilang pagi sebenarnya, mamanya itu selalu saja membohongi tentang waktu. Ngomongnya jam 8, tapi kenyataannya masih jam 6 pagi.

Fyuhh

"Hati hati atuh nengg!!"

Terlonjak kaget, aku menoleh kebelakang. Terlihat seorang perempuan berpakaian sama sepertiku. Tengah dimaki oleh bapak bapak. Semakin lama, aku merasa kasihan dengannya. Cemoohan itu melambung tinggi bahkan perempuan didepannya sampai menangis.

Rambutnya tergerai panjang. Segera mengayuh menuju tempat percek cok an. Aku menghadang perempuan penuh tangis. "Hei! Kamu kenapa?" tanyaku tulus.

"Kamu jangan ikut campur ya!!" teriakan itu terus menuntut. Aku segera meraih pergelangan tangannya lantas meninggalkan bapak bapak itu yang tak berhenti mengoceh.

Masih dengan rambutnya tertutup wajah. Ia memintaku untuk berhenti. Tangannya berputar menggenggamku kembali. Ketika mata kami saling bertatap. Dadaku membuncah, hati berdesir hebat mengambil kesimpulan. "Diana?"

"Emm, kamu yang dulu dikantin kan?"

Aku mengangguk setuju. "Iya betul. Kalau boleh tau, tadi ada apa? Kok sampai segitunya kamu dicaci," lanjutku keheranan.

"Ah, tadi a-aku ngga sengaja nabrak motor beliau. T-tapi aku sudah minta maaf kok," bibirnya bergetar saat menyatakannya. Ia melepas rangkulan lantas mundur dua langkah dariku.

Mungkin dia sedikit takut kali yaa. Tersenyum tipis menanggapi. Aku menepuk pelan bahunya. "Lain kali hati hati."

Pembicaraan kami terhenti. Dipinggir jalan raya yang masih sepi ini, aku merapatkan jaket ditubuhku. Mengedarkan pandangan dipenjuru jalan. Kulihat, Diana sempat pamit pergi. Suasana cukup menenangkan. Bunga pohon besar berguguran, disertai kabut pagi mengintari disekitarnya. Satu per satu orang sibuk berlalu lalang untuk memulai kegiatan. Dan siswa siswa yang asyik bercanda dengan temannya. Aku, diam di pinggiran seorang diri. Namun,--

Tunggu!

Aku tak asing dengan lelaki disebrang sana.

☘☘☘

"Arkaa!"

Akhirnya, aku menemukannya. Dia duduk di bangku panjang depan aula dengan tenangnya. Mungkin dia menghindari kerumunan. Dengan tampangnya, Arka menyisir rambut kebelakang.

Ia menoleh kearahku. Menepuk bangku sampingnya dan membiarkanku duduk disana. "Kenapa?" responnya dengan nada yang sangat sangat datar.

"Aku kira tadi kamu disana Ar," ikut duduk disamping, aku menatap wajahnya. Cukup membuat takjub. Raut Arka sama sekali tidak berubah barang sejengkal pun. Tetap sama, Arka si tampang datar

Arka menautkan alis. "Dimana?" aku heran sekali. Kenapa sih, Arka hobi banget merespon dengan singkat.

"Dijalan tadi pagi. Kamu ngga liat aku?" jawabku dengan menunjuk arah belakang. Karna tepat dengan jalan raya tadi pagi.

"Gue nggak lewat sana."

"Bohong! Tadi aku liat kamu kok," sercahku.

Aku sungguh tak percaya pada apa yang Arka katakan. Jelas jelas tadi aku dan dia tatap tatapan kok. Kalau tadi bukan Arka siapa lagi? Setan? "Tak percaya ya sudah." Arka mengangkat bahunya acuh.

Kita diam. Tak ada obrolan lagi selepas itu. Aku rasa, susah sekali untuk menaklukkan hatinya. Mencairkan kembali es yang sudah keras, ternyata tak segampang yang aku kira. Aku menghembuskan nafas pelan. Melihat lurus kedepan ke arah kelas kosong itu. Karna para penghuninya sedang berlayar di panggung utama.

"Kamu tau Ar? Kamu adalah fatamorgana yang aku paksa untuk jadi nyata. Namun buktinya, tak ada."

Entah kenapa aku bisa berkata seperti itu. Entah keberanian dari mana yang aku dapat. Hingga kalimat itu terlontar dengan lancarnya. Pelan, pelan sekali aku mengucapkan kalimat itu.

Arka menoleh dengan cepat kearahku. Mati aku! Pasti dia mendengarkan kata kata absurd ku. Rasanya ingin menghilang saja. Lelaki itu menggembuskan nafas gusar. Menatap dengan sangat dalam. Aku menundukkan kepala, tak berani membalas mata elangnya.

"Maka jangan jadikan gue objek fatamorgana lo."

Jlebb

Seketika aku menaikkan kepala. "A-aku--"

Belum tuntasku berbicara, Arka sudah melenggang pergi. Tubuhku lemas seketika. Memandang punggung tegap itu, aku berkata pada diriku sendiri.

"Karena pada dasarnya. Fatamorgana itu cuma ilusi. Semakin lo dekati, semakin hilang. Dan gue juga sama. Semoga lo paham maksudnya."

Ia meninggalkanku yang mematung seorang diri. Aish! Kenapa aku tadi menggerutu tentang nya sih. Kalau sudah seperti ini, apa lagi yang harus kuperbuat. "Sulit digenggam bukan berarti tak dapatkan? Perlahan, aku akan melunakkan hatimu yang keras itu Arka."












Tandai typo yak:)

Janlup Vote, Comment, dan pollow juga Author yang keseringan over thinking ini_-

Maaf  yaa baru update... udah lama ngga nengok anak satu ini wkwkwk. Sok sibuk sama rl sampai lupa Arka sama Vivi.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Mar 10, 2022 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

ArkalaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang