Bab - 10 Sebuah Mimpi

4 1 0
                                    

Ibu masih jadi pendiam sejak kepergian Tia, termenung menatap langit seperti jiwa yang hilang. Ia masih selalu teringat kala itu di Rumah Sakit, Tia berkata.

"ibu, ayah kalau nanti Tia besar pengen jadi dokter".

Ucapnya sambil menunggu panggilan.  Ibunya menatap sendu dan tersenyum ketir,  ayah hanya terdiam dan aku berlari meninggalkan mereka mencari toilet. Ada sesak yang tertahan mendengarnya berucap begitu, ada ragu yang terus bertanya-tanya.

Ia tak tau, ini adalah kali terakhirnya berbicang dengan ibu, ayah dan aku. Setelahnya hanya telihat wajah tanpa ekspresi, mata bulat yang tertutup dan tangan yang terlepas dari jarum infus. Tawa yang hilang seketika, senyum tulus yang tak meninggalkan jejaknya lagi.

Aku, ibu dan ayah hanya bisa berdoa semoga masa-masa ini cepat berlalu, mereka sudah ikhlas jikalau Tia tak dapat tertolong bukan tak mau berjuang, tapi melihatnya sudah sangat lelah berjuang mungkin ada tempat yang lebih baik untuknya dan bukan disini.

Jarum jam terus berputar, sudah hampir 4 jam Tia didalam ruangan setelah tak beberapa setelah ia berucap namanya dipanggil. Untuk kali ini adalah penentu akhir baginya, bangkit kembali atau hirap dengan rasa tenang.

Akhirnya selesai dan Tia pergi meninggalkan aku, ibu dan ayah.

Walau ikhlas ibu tak kuasa menahan tangisnya, relung hatinya terluka ia teringat kalimat terakhir yang diucapkan putrinya seperti petir mengetarkan dadanya.

Mimpi yang menjadi angan diucapnya tanpa beban, senyum tulus itu masih terekam rapi dalam ingatanku.

#senandikaeventgalaxystarpublisher

 The MemoriesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang