Saat ini waktu tepat menunjukkan angka 10 dan langit gelap sudah menggantikan cahaya terang itu. Jungkook duduk menghadap jendela yang terbuka lebar menantikan kabar kedua sahabatnya, matanya melirik ponsel yang tergeletak di depannya. "!0 panggilan ditolak" Tulisan itu membuatnya gelisah dan takut sesuatu yang dirasakannya benar-benar terjadi. Berapa lamanya ia menunggu, jawaban akan selalu sama. Jungkook tidak bisa menyangkal semua itu, dia tahu mereka sudah meninggalkannya jauh. Tanpa disadari air matanya sudah turun membasahi seluruh wajahnya yang kini memerah, tidak peduli dengan udara dingin yang dirasakannya, kini hatinya lebih dingin.
"Kook, makanlah sesuatu. Ibu menaruh piringmu di depan kamarmu." Suara sang ibu bahkan tidak bisa membuatnya beranjak dari tempatnya. Dunia ini seakan sudah tidak berwarna lagi untuknya, semua orang yang dekat dengannya benar-benar diambil. Hatinya yang dulu penuh dengan mereka kini kosong dan sepi, tidak ada kata bahagia di kamusnya. Jungkook menghapus semua itu dan menatap betapa hancur dirinya dari pantulan cermin.
Mata yang kian membengkak belum juga lelah mengeluarkan air mata, seandainya ia tidak pindah ke rumah itu pasti hal ini tidak akan terjadi. "Ini semua salahku! Jika aku tidak membawa halmeoni saat itu, dia tidak akan berubah saat ini." gumamnya sambil menghapus air matanya dengan telapak tangannya. Ia menyalahkan dirinya atas kehilangan banyak orang. "Jungkook, keluarlah!" teriak ayahnya dari luar kamar, namun ketukan itu berhenti saat ibunya membujuk suaminya untuk memberikan waktu bagi anaknya. Jungkook tidak peduli, yang ada di pikirannya adalah penyesalan. Hingga matanya tertutup membawa semua beban ke alam mimpinya.
"Dia begitu hancur Ji," ucap Jimin yang kini berdiri di samping ranjang milik Jungkook, gadis yang juga ikut duduk di sampingnya menatap iba pada pria itu. "Untuk menyelamatkannya maka harus ada nyawa yang dikorbankan? Begitu maksudmu selama ini?" pertanyaan yang dilontarkan padanya membuat Jimin terdiam. Ia memang mengetahuinya dari awal, tapi tidak memberitahukannya pada Jieun karena pasti gadis itu akan menolak ide gilanya.
"Iya, maafkan aku. Satu sisi tugasku adalah untuk melindungi Jungkook, tapi aku juga teman baik Taehyung." Jimin benar-benar kejam untuk hal ini, tapi itu aturan mainnya kan? Jieun tidak bisa melakukan apapun untuk hal yang sudah terjadi, lebih baik ia melanjutkan tugasnya.
"Jim, bisakah aku berbicara dengan Jungkook?" Tanyanya. Jimin yang mengetahui niatnya akhirnya pergi meninggalkan mereka. Jieun tidak habis pikir dengan Jimin, ternyata selama ini dia mengalami hal yang berat dengan mengorbankan nyawa untuk nyawa yang lain. Pekerjaan ini sulit.
Perlahan Jieun mendekati Jungkook yang tengah tertidur. Menatapnya seakan hari ini adalah hari terakhir ia melihat adik kesayangannya. Tangan itu membelai kepalanya, berkali-kali hingga Jungkook tersenyum dalam mimpinya, mimpi terindah yang pernah ia alami. Bertemu dengan Jieun yang tidak mungkin berada di sampingnya saat ini. Mimpi itu terlalu indah baginya, ia tidak ingin bangun kembali bahkan jika orangtuanya datang ke dalam kamarnya. Anak yang durhaka jika ia benar-benar melakukannya.
"Berhenti berpikir untuk mengakhiri hidupmu menyusul mereka, kau harus tetap bernapas." ucap JIeun yang dapat mendengar apa yang diucapkan Jungkook dalam hatinya. Jungkook membuka kedua matanya perlahan untuk melihat siapa yang berbicara dengannya. "Noona." Matanya tidak bisa berbohong kali ini, jika ia dibuat dapat melihat hantu mungkin ide itu tidak buruk. "Kau bisa melihatku?" Tanya Jieun, tangannya kini turun ke pipi gembul yang sudah menjadi kurus. Apa yang dimakan anak ini hingga tubuhnya menjadi lebih kurus? Bahkan makanan yang ada diberikan ibunya belum disentuh sama sekali.
"Mataku tidak buta, ini kedua kalinya aku melihatmu. Kelihatannya kau lebih bahagia sekarang, kalian meninggalkanku di dunia ini dengan keadaan bersalah." Jungkook kembali menyalahkan dirinya untuk kesekian kalinya, hal itu membuat hati Jieun tersakiti. Melihat pria yang dulunya ceria menjadi murung adalah hal yang tidak disukainya.
"Ini bukan salahmu." Jungkook masih tidak percaya gadis itu membelanya "Lalu apa yang harus kulakukan?" tanyanya dengan tatapan pasrah pada hidupnya. "Makan dan kita akan kembali mendiskusikannya!" perintahnya. Jungkook terpaksa untuk bangun dan berjalan mengambil makanan yang disiapkan Sang ibu, ia menaruh makanan itu di pahanya dan memakannya. "Kau sudah dewasa bukan? Jadi, berpikirlah sebelum bertindak. Dunia ini memang kejam, tapi jangan membalasnya dengan kejahatan dan melukai dirimu sendiri. Bertahanlah untukku Kook."
Kalimat itu benar-benar membuat Jungkook berhenti dari segala aktivitasnya, ia harus bertahan? Bagaimana caranya?
"Aku akan selalu ada di sampingmu, bersama dengan saudaramu, Taehyung, Jimin, dan Sohyun. Kami selalu melihatmu walaupun kau belum tentu bisa melihat kami, jadi bertahanlah Kook hingga saat dimana keadaan ini normal. Aku akan membantumu."
"Kalimat itu memang mudah diucapkan, tapi saat dilakukan akan sangat sulit. Perjanjian ini tidak bisa berlangsung selamanya Noona." Jungkook tidak menyukai perpisahan, karena itu ia mencoba untuk tidak berjanji.
"Memang tidak akan selamanya Kook. Karena itu, berjanji untuk sementara. Apa pun keadaannya kupastikan nyawamu aman bersamaku, taruhannya adalah jiwaku sendiri."
"Kupikir ini mimpi teraneh yang pernah kupunya. Kau sudah tidak bernapas tapi kau masih bisa berbicara denganku dan menyerahkan jiwamu padaku." Jieun mendekatkan tangannya pada kedua mata Jungkook, menutupnya.
"Janjimu ada di tanganku."
KAMU SEDANG MEMBACA
This is Us √
Fanfiction"Jika kau melihatku, tersenyumlah" "Jika kau mendengar suaraku, berbaliklah" "Jika ada kesempatan kedua, berjanjilah kita akan tetap bersama" Jika kau dilahirkan karena ketidaksengajaan, apa dosamu di masa lalu? Bahkan orang-orang akan menatapmu ren...