Madinat Al-Zahra dan Filosofi Pohon

55 9 1
                                    

☆Bismillahirrahmanirrahim☆

Takkan habis rasa syukurku atas nikmat dari-Mu, apapun takdir yang Kau rencanakan akan menjadi kejutan yang amat bahagia untukku.

🍁🍁🍁🍁🍁

Seperti yang sudah di janjikan, kak Bilal menjemput aku dan mbak Karina. Madinat Al-Zahra ini hanya berjarak 13 kilometer dari Kota Cordoba.

"Sabila, apa kamu tahu sejarah tentang madinat Al-Zahra?" tanya mbak Karina memecah keheningan dalam mobil. Aku duduk di kursi belakang kemudi berdampingan dengan mbak Karina.

"Kota bersinar yang istananya dibangun Khalifah Abd Al Rahman III pada tahun 936," jawabku sedikit ragu.

"Ya, kau benar! Sayangnya sekarang hanya tersisa reruntuhan dan puing-puingnya saja," ucap mbak Karina dengan nada sedih.

Tak lama kemudian kami memasuki Medina Azahara atau Madinat Al-Zahra di barat kota Cordoba yang berada di bawah kaki gunung Sierra Morena. Namun untuk memasuki kawasan ini mobil atau bus wisatawan hanya diizinkan sampai di tempat parkir atau dekat meseum. Selanjutnya kami diwajibkan menggunakan bus khusus yang ada.

"Keberadaan istana megah di luar Cordoba sebagai pusat pemerintahan muslim itu adalah prakarsa Khalifah Abd Al-Rahman III. Dia tak hanya membangun istana namun juga sebuah kota yang makmur." Kali ini kak Bilal yang berbicara dan membuat lamunanku buyar seketika.

"Disini udaranya masih sejuk ya," ucapku yang tak menanggapi pernyataan kak Bilal.

"Sabila, ayo kesana!" ajak mbak Karina, akupun pergi berdua tanpa memedulikan kak Bilal.

"Bagaimana menurutmu tentang Madinat Al-Zahra?" tanya mbak Karina yang menatapku dengan sorot mata yang bersahabat.

"Aku nyaman berada disini mbak, apalagi melihat pilar-pilar ini," ucapku tanpa mengalihkan pandangan dari pilar-pilar bangunan dengan relief-relief rumit yang masih tersisa.

"Yuk kita kembali keatas memandang dari atas jauh lebih menyenangkan." Akupun mengekor dibelakang mbak Karina.

"Oh iya mbak, kak Bilal dimana?" tanyaku yang sadar akan tak ada kehadirannya, padahal dia yang mengajak kesini.

"Mungkin dia sedang berkeliling." Bisa jadi sih, dia pasti membutuhkan bahan untuk tesisnya.

Ada satu pohon yang sangat menarik perhatianku. Dengan hanya melihatnya saja bisa membawaku tenggelam dalam naungannya. Tak berhenti aku mendecakkan kagum pada tempat ini.

"Kamu suka pohon itu?" Bisa-bisanya dia ini mengagetkanku, siapa lagi kalau bukan kak Bilal.

"Eh iya kak," jawabku singkat. Lalu dia memainkan kamera yang menggantung di lehernya.

"Bagaimana?" Kak Bilal menunjukkan hasil potretannya pada aku dan mbak Karina.

"Wow bagus sekali, boleh aku meminjamnya?" tanya mbak Karina dengan antusias pada kak Bilal.

"Silakan." Kak Bilal memberikan kameranya pada mbak Karina. Detik itupun mbak Karina sudah hanyut dengan kegiatan memotretnya.

"Aku lupa, siapa nama kamu?" tanya kak Bilal tapi aku tak tahu dia menujukannya pada siapa karena wajahnya menatap pada pohon.

Kekasih Halal di Bumi Cordoba (TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang