Prolog

916 26 3
                                    

          Saat dalam suasana ujian, semuanya berubah menjadi lebih tenang dan sunyi. Suasana kelas yang biasanya gaduh dan terdengar keributan dari setiap kelas kini menjadi sangat tenang, terlebih untuk kami para kelas 12. Suasana sekolah menjadi semakin sepi karena semua kelas diliburkan selain kelas 12 dan kelas 9 yang tengah melakukan Ujian Nasional untuk kenaikan kelas.

Di dinding sekolah pun dipasangi spanduk 'Harap tenang, sedang ada ujian' . -Padahal semua kelas diliburkan, kenapa juga harus dipasangin spanduk kayak begitu. Emang siapa yang mau bikin rusuh di sekolah, muridnya juga libur semua- ucapku dalam hati setiap kali melihat banner itu ketika memasuki sekolah.

Kami, para kelas 12 sangat-sangat belajar keras untuk ujian ini, karena ini yang akan menentukan lulus atau tidaknya kami. Bukan hanya untuk kami, tapi untuk semua murid di sekolah ini. Namun, itu sudah menjadi tuntutan bagi kami karena ini adalah ujian terakhir kami di sekolah ini, jadi kami harus memberikan yang terbaik di ujian akhir ini.

Satu minggu pun telah berlalu, ujian telah berakhir. Semua teman-teman kami merasa seperti beban yang ada di pundaknya menghilang entah kemana. Mereka hanya tidak tau apa yang akan mereka hadapi setelah ini, yang pasti 'itu' adalah hal yang bahkan lebih berat daripada sekedar ujian sekolah.

Beberapa hari sebelum ujian, semua murid kelas kita pernah di kumpulkan untuk membahas tentang 'Apa yang akan kita lakukan kedepannya'. Banyak murid yang menjawab untuk melanjutkan pendidikan, tak sedikit juga mereka yang ingin langsung bekerja, ada juga yang tidak menjawab karena masih ragu-ragu dengan keputusannya, bahkan ada yang menjawab 'Ingin menikmati hidup terlebih dahulu' . Aku? Kalo aku jawab ingin langsung bekerja. Banyak guru yang mempertanyakan itu, karena secara nilai akademik, nilaiku diatas rata-rata. Semua guru mengira aku akan melanjutkan ke perguruan tinggi atau semacamnya, tapi aku memilih untuk langsung bekerja karena beberapa hal.

Tiba di hari kelulusan, sekolah mengadakan acara yang cukup meriah sebagai tanda kelulusan kita dan penyerahan ijazah. Diiringi lagu perpisahan yang sudah tak asing lagi bagi kita, banyak air mata yang menetes terutama dari murid perempuan karena sebentar lagi kita tidak akan bersekolah disini. Rasa tak ingin pergi dari sekolah tercinta dan perasaan suka duka bersama teman-teman akan berakhir hari ini, semua murid telah memilih jalannya masing-masing demi masa depan mereka. Mau tidak mau, suka tidak suka, yang namanya perpisahan itu pasti ada dan harus dilalui untuk menuju ke tahap yang selanjutnya.

Acara pun berakhir, dan kita pulang dengan membawa ijazah di tangan kita. Aku, Cola, dan Reina sering pulang bersama saat masih sekolah, tak disangka ini terakhir kalinya kita pulang bersama. Karena setelah ini, aku dan Cola akan pergi dari desa ini dan merantau ke kota. Aku dan Cola adalah teman satu kontrakan. Karena suatu alasan, aku dan Cola jadi harus menyewa kontrakan dan hidup berdua.

Kita pun berpisah dengan Reina dipersimpangan, karena arah jalan ke rumahnya Reina berbeda dengan arah jalan ke kontrakan kita. Diiringi candaan dan lawakan anak SMA, kita pun berjalan menuju kontrakan tercinta kita. Dengan perasaan yang mencekam, kita pun mendekat ke arah kontrakan dimana Bu Sofia telah menunggu di depan kontrakan. Dengan wajah dinginnya, Bu Sofia menatap tajam ke arah kita seolah akan membunuh.

"Mana janji kalian, katanya mau bayar hari ini" ucap Bu Sofia dengan nada tingginya.

"Iya iya, bentar ya bu".

Kita pun masuk ke kontrakan untuk mengambil uang untuk membayar sewa kontrakan yang sudah kita tunda selama 2 bulan dan mau menginjak 3 bulan. Kita sengaja menunda-nunda karena uangnya diprioritaskan untuk keperluan sekolah terlebih dahulu. Jadi kita berencana membayarnya saat kita sudah lulus dan keluar dari kontrakan ini.

Karena terlalu lama didalam, Bu Sofia pun memanggil kita dengan suara kerasnya.

"Lama amat didalem, ngapain aja" ucap Bu Sofia dengan keras.

Beberapa saat kemudian, kita keluar dari dalam kontrakan sambil membawa tas yang berisi seluruh barang-barang kita di kontrakan ini. Cola pun menyerahkan uang sewa selama 3 bulan kepada Bu Sofia.

"Ini Bu, uang sewa selama 3 bulan, meskipun sekarang masih pertengahan bulan, gak papa deh" ucap Cola sambil menyerahkan uangnya.

Dengan wajah yang kebingungan, Bu Sofia bertanya.

"Kalian mau kemana bawa-bawa tas gede begitu?".

"Berhubung kita udah lulus dan dapet ijazah kita, jadi kita mau merantau ke kota buat cari kerja".

"Oh, jadi kalian udah mau pergi dari sini?"

"Iya Bu"

Kita pun lalu meminta doa agar kita selamat sampai di kota, dan agar kita dimudahkan dalam hidup di kota. Kita pun berpamitan dengan mencium tangan Bu Sofia. Karena bagi kita, Bu Sofia sudah seperti ibu kita sendiri. Secara, kita sudah 3 tahun tinggal di kontrakannya Bu Sofia semenjak kita menginjak SMA sampai sekarang.

Sambil berjalan pergi, kita melihat Bu Sofia yang melambaikan tangannya kepada kita sambil tersenyum. Bagi kita, itu adalah pemandangan yang langka. Karena Bu Sofia sangat jarang sekali tersenyum, Bu Sofia memiliki karakter yang keras dengan tatapannya yang tajam, makanya kita terkejut saat melihat Bu Sofia tersenyum ketika kita akan meninggalkan kontrakan ini. Sambil berjalan, kita pun melambaikan tangan kepada Bu Sofia sambil tersenyum.

Sebelum benar-benar pergi dari desa ini, ada satu hal lagi yang harus kita lakukan, yaitu berpamitan dengan Pak Bos tempat kita kerja. Pak Bos adalah orang yang sangat baik, beliau mengizinkan kita bekerja di kafenya bahkan saat keadaan kita masih sebagai pelajar. Pak Bos pernah bilang bahwa 'Gak masalah orang itu masih pelajar atau bukan, kalo kerjanya bagus, ya bagus aja, ga bisa dijelek-jelekin, sekalipun masih pelajar' gitu katanya.

Sesampainya di kafe tempat kita bekerja, kita pun menemui Pak Bos untuk mengatakan bahwa kita akan berhenti kerja. Seperti yang sudah diduga, Pak Bos pun terkejut mendengar itu dan kita pun menjelaskan alasannya. Pak Bos pun kemudian menerima hal itu dan menyetujui pengunduran diri kami.

Setelah dari kafe, kita pun melanjutkan perjalanan menuju stasiun. Kali ini, kita benar-benar akan meninggalkan desa ini. Di stasiun, kita pun membeli tiket perjalanan ke kota sekali jalan, karena kita tidak akan kembali lagi ke desa ini, paling nggak untuk waktu yang dekat ini. Sambil menunggu kereta datang, kita duduk sambil mengingat kembali semua yang telah kita lakukan di desa ini. Sebenarnya ini tidak terlalu berat bagi kita, karena ini bukanlah desa tempat lahir kita. Jadi tidak terlalu sulit meninggalkan desa tempat tinggal untuk kedua kalinya.

Kemudian, kereta pun datang membawa kita pergi dari desa ini.

Meraih MimpiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang