POINT OF VIEW

30 6 0
                                    

"Kebencian menimbulkan amarah, amarah menimbulkan kekacauan. Kekacauan yang indah."

-Septa Wardhana-

-Enjoy the story', Let them Drowning on your mind.-

___°°°___

Septa berusaha menyesuaikan cahaya lampu LED yang berada tepat diatas kepalanya. Suatu keajaiban dia tidak mati malam itu walaupun ia berharap begitu.

Setidaknya ia merasa lebih baik karena dapat menggerakkan kedua kakinya. Tapi ketika punggung nya berusaha ditegakkan terasa seperti separuh tubuh nya remuk redam. Sial.

"Tuan Muda Septa?"

Septa meringis, berusaha mengenali wajah yang berdiri di ambang pintu itu, namun nihil ia sama sekali tidak mengenali nya.

Orang itu berlari keluar sekitar 2 menit dan datang bersama seorang jas putih dengan stetoskop yang dapat kita simpulkan sebagai seorang dokter, kecuali jika dia menyembunyikan sebuah pisau di punggung nya.

"Tolong jangan bergerak terlalu banyak," titah pembu- maksudnya si dokter itu.

Septa dengan setengah hati menurut dan menyandarkan punggung nya di bantal empuk dan rasanya seperti surga.

"Kamu ingat apa yang membuatmu berada disini?" tanya dokter itu.

Septa diam sejenak dan hampir menggeleng ketika tiba-tiba saja sebuah kelebatan peristiwa melewati visual otaknya dengan cepat.

Kekalahan itu, wajah ketakutan Dara, tubuh nya yang dihajar dengan mudah seperti kertas origami bekas.

Sialan! Danu sialan!

Septa dengan tertatih berusaha bangkit dari kasur nya dan meracau seperti orang gila. Dokter yang berusia setengah abad itupun agak kesulitan menahan Septa yang bahkan badannya pun jauh lebih tinggi.

"Berhenti."

Satu kalimat dingin yang mutlak terlontar dari pintu yang 5 langkah lagi tercapai oleh Septa. Cowok itu mendongak dan mendapati senyum licik sejuta dolar yang dari dulu dibencinya.

Yang dari lahir di bencinya.

"Aku membawa mu kesini untuk berpikir dan istirahat, bukan mengacau, Nak," ujar ayahnya.

___°°°___

Mereka berkumpul, ramai, tapi hening. Baiklah, sebenarnya keadaan kantin lebih kacau daripada sekumpulan domba tapi bukan berasal dari 3 meja yang dirapatkan ini.

Vian meletakkan kepalanya dimeja. Merasa letih. Tenaga nya yang bernilai tak hingga itu kini merosot mendekati angka nol. Teman-temannya pun begitu.

"Siapa topeng kelinci itu?" tanya Nathan seperti gumaman.

Setidaknya lebih baik daripada tidak ada suara sama sekali.

"Firasat gue dia perempuan. Badannya kurus kecil, dan tangannya lentik," jawab Dione. Seperti biasa, dia suka memperhatikan detail kecil.

Mereka berkumpul untuk makan siang singkat sambil menonton video dari kalung Dara yang sudah dipangkas menjadi setengah jam oleh Nathan, diambil bagian akhir yang penting.

"Sekarang kita harus gimana? Dara hilang, Septa sakit dan petunjuk kita semua hilang," cerocos Vian.

Dirga meneguk ludah kasar, Tidak semua. pikirnya, ada satu yang tertinggal.

Psychopath Angel Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang