Fajar menyingsing di ufuk timur. Semua makhluk hidup terbangun dari istirahat malamnya dan kini saatnya menjalani aktivitas baru dan membuka lembaran baru.
Waktu demi waktu telah berlalu, jam sudah menunjukkan pukul 06.08 am. Sofia, gadis itu dengan tas besar di punggungnya berjalan lebar menuju tempatnya menimba ilmu.
Langkahnya terhenti tatkala netranya melihat sosok yang sangat familier baginya. "Itu Alzio kayaknya."
Ia picingkan matanya. "Samperin aja, ah."
Kakinya melangkah mendekati Alzio yang hampir sampai di gerbang sekolah. Seperti biasa, sekolah selalu ramai oleh siswa siswi yang baru datang, lebih dominannya mereka datang tanpa kendaraan, seperti jalan kaki.
"Hai my future," sapanya pada Alzio.
Alzio menghela napas jengah. Gadis di depannya ini memang sangat nekad untuk mengejarnya. Sebegitu menariknya kah dia? Iya sih dia itu menarik, bukan hanya Sofia saja yang berusaha mengejarnya, tapi banyak lagi. Dan hanya Sofia yang terus-terusan merecoki hidupnya. Tidak seperti gadis lain yang memilih diam-diam meliriknya.
"Pagi ini dingin banget ya?" Ia bertanya seakan Alzio mau menjawabnya.
"Kamu aja pake hoodie. Yang artinya kamu kedinginan." Alzio tidak menjawab.
"Aku suka pagi," ucapnya, mengingat hal yang sangat ia sukai.
"Karena pagi adalah waktu untuk memulai segalanya. Di pagi hari aku bisa menata harapan baru, lembaran baru, dan perasaan baru." Senyumnya yang terpatri indah di bibirnya memudar. "Tapi sayangnya, kenyataanku gak seindah dengan harapanku." Ia memasang senyum terpaksa.
Ada hal aneh yang menjalar pada hati Alzio. Sebenarnya ia ingin tahu lebih tentang Sofia, tapi tercegah kan mengingat seorang Alzio Fernest Elverne sang putra dari konglomerat. Pastinya lebih mementingkan ego.
"Ah! Udahlah! Ke kelas bareng yuk! Kita kan satu arah." Sofia menarik tangan Alzio.
Namun, Alzio menghempaskannya dengan kasar. Sofia menoleh dengan tanya. "Kenapa? Kok dilepasin? Kita ke kelas bareng."
Alzio berjalan tanpa meladeni Sofia yang masih termenung. "Hih! Enggak bisa ngomong kali ya? Diem mulu! Ditinggalkan tanpa kata itu menyakitkan." Ia menggerutu lalu pergi menyusul Alzio.
***
Langit siang hari begitu amat teriknya menyinari dunia. Tanpa adanya awan yang menghalangi cerahnya langit yang biru dan cerah itu. Akan lebih indah jika dilihat dari atas gedung.
"Can, bagi dong rokoknya," pinta Azra pada Candra yang tidak pernah lepas dengan benda berbahaya itu.
"Miskin!" ujarnya. "Nih gue bagi sepotong." Ia benar-benar memotong rokok yang ia gunakan tadi.
"Setan! Gue minta yang utuh juga," gerutu Azra tidak Candra tanggapi.
"Minta tuh harus maklum," celetuk Alzio tiba-tiba.
Seketika itu Azra dan Candra saling pandang. Senyuman mereka merekah, ada sesuatu yang berarti di senyuman itu.
"Temen gue bisa ngomong ternyata, Zra." Ucapan penuh haru Candra membuat Alzio merasa heran.
"ALHAMDULILLAH!" Sontak Azra dan Candra saling peluk sambil terisak-isak. Pura - pura nangis penuh haru.
"Pulang-pulang kita harus ngadain syukuran nih, Can." Azra mengusap matanya.
Mungkin ini karena Alzio jarang membuka suara, dan ini baru pertama kalinya Alzio ikut andil dalam perdebatan mereka.
"Kenapa?" Azra dan Candra menoleh pada Alzio dengan raut bingungnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dear Diary
Genç Kurgu"Gue tau lo suka sama gue! Tapi gue muak dengan cara lo yang selalu recokin kehidupan gue!" Perkataan pedas yang sangat menggores hati Sofia itu telah keluar dari mulut Alzio. "Mau lo ubah cara lo juga tetep aja, perasaan benci gua enggak akan perna...