We

3K 463 49
                                    
























🔅





Dadanya berat bukan main. Jeno merasa sedih, dari matahari terbit sampai terbenam sang kekasih terus melakukan silent treatment ditambah dengan tugas akhir semester yang semakin merenggangkan jarak diantara keduanya.

Jeno menghembuskan napas kasar. Langit-langit kamar terasa lebih menarik daripada keadaannya sekarang. Dirinya merasa kalau ia memang dilahirkan untuk sendiri sebab hubungan yang dijalani tidak pernah bertahan. 

Sedih? Jelas, hubungannya dengan Renjun belum genap satu bulan tapi aroma-aroma kandas sudah tercium dari jauh.

"Aku seburuk itu, ya?" Kekehan pahit keluar dari belah tipisnya.

Mood Jeno menguap entah kemana, tugas akhir semester pun berniat ditundanya sampai esok pagi. 

Pasalnya kemarin tepat di hari ulang tahunnya, Ayah dari sang kekasih mengubungi dan Jeno menyesal tidak bisa membela Renjun, membela hubungan mereka. Ia merasa payah.

"Bukan salahmu, cara kami mendidik Renjun belum sempurna."

Satu baris kalimat yang menghantamnya seperti truk. Seolah semua kesalahan dilimpahkan kepada si mungil, sedangkan yang disalahkan hanya bisa mengepal tangan menahan apapun yang ada di dalam kepalanya

Ini adalah kali pertamanya berkencan tapi jalan berbatu sudah terlihat di depan. Apakah dulu ibunya suka kucing hitam? Kenapa kesialan selalu datang di jalur hubungannya dengan orang-orang? Entah itu sekedar kenalan, sahabat, bahkan kekasih.

Jeno payah! Seharusnya dari awal kau tidak mengutarakan perasaanmu!

Ia tidak menyesal menjalani hubungan dengan Renjun, banyak kenangan indah yang terjadi selama tiga setengah minggu yang manis itu. Tapi ia menyesal tidak bisa melindungi sang kekasih, seharusnya malam itu Jeno tidak mengajak Renjun untuk minum.

Tuk!

"Jeno bodoh!" Gumamnya.

Ah, entahlah. Terlalu banyak kata "seharusnya" di kepalanya, Jeno hanya ingin tidur.









"Jeno, selamat ulang tahun!"

Yang baru duduk di samping kekasihnya tersenyum sopan dan mengucap terimakasih. Dengan ekspresi dan perasaan bingung Jeno menatap kekasihnya seolah bertanya 'ada apa?' Karena sangat jarang Renjun mengajaknya bergabung saat sedang menghubungi kedua orang tuanya.

Sang kekasih tidak menjawab, tapi tatapan kaku dan bahu yang terlihat berat itu sedikit banyak membuat Jeno khawatir.

"Renjun, Jeno, berhubung kalian sedang bersama. Maukah kalian bercerita pada kami?" Suara pelan Ziyi, sang Ibu menyapa. Nada sedih tersirat bisa didengar jika kau mendengarkan dengan seksama.

Perasaan Jeno mulai tidak enak.

"Cerita?" Heran Jeno. 

"Iya, sayang." 

"Maaf tidak bisa berbasa-basi, karena kami tidak berbakat dalam hal itu." Kini giliran sang Ayah yang berbicara. "Tapi tolong ceritakan apa yang sebenarnya terjadi saat foto ini diambil."

Quarantine Mood Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang