4. Retak, atau Patah?

16.7K 2.1K 78
                                    

Deru mobil memasuki pelataran rumah nenek yang super luas, terdengar dari ruang makan.

Aku keluar dengan memakai jilbab instanku. 

Mulutku menganga. 

MasyaAllah! 

Hitam, berkilau, dan super mewah. Apa gaji dokter di Amerika sana sedemikian besarnya, sampai-sampai hanya beberapa tahun dia mengabdi, sudah bisa mengumpulkan uang untuk membeli Lexus super macho yang entah tipe berapa ini. 😱

Apa di Amerika banyak kecelakaan? Jadi sedikit-sedikit dia mendapat pasien untuk dioperasi? Di sana banyak orang gila nggak untuk kuterapi? 

Mobil dia berjalan lambat maju mundur memposisikan parkir yang tepat, bersebelahan dengan mobil dalam kotaku warna merah yang super imut.

Nampak jomplang sekali ternyata, jika dijajarkan. 

Kak Irsyad keluar dengan gaya kasualnya. Kaos polos putih, celana jeans biru, sepatu sneakers, dan kacamata hitam. Alah-alah ... sudah mirip bagaikan bule kesasar di Sragen. 

Dia tersenyum setelah melepas kacamatanya. Membuka jok belakang, dan menjinjing sekeranjang buah. 

Jum'at ini hari libur. 

Baik diriku dan dia, nggak ada jadwal praktek dan visite. Kecuali, jika ada panggilan cito, kami baru akan datang ke rumah sakit.

Rencananya, dia akan berkonsultasi padaku. Tentang hatinya, tentang apa yang dia rasakan selama ini, atau apapun yang dia mau. Aku memberi hariku hari ini, khusus untuknya. 

Tapi entah, solusi apa yang akan aku resepkan padanya. Sepertinya, lebih baik dia patah hati. Patah hati Kak Irsyad membuatnya kini menjadi pria dewasa yang sukses dan tangguh. Dia juga nggak terlihat seperti pasien depresi dan butuh pengobatan. 

Dengan Kak Tari, Kak Rara, aku nggak tahu bagaimana dia menjalani masa percintaannya dulu. Bagiku, hal seperti itu nggak perlu, jika seorang manusia belum berkehendak ingin menikah. Cinta bisa tumbuh setelah menikah, dengan mudahnya. 

Langkahnya terhenti. Dia mengamatiku dari ujung atas hingga bawah. 

"Lo pake daster?" tanyanya heran. 

Aku pun ikut terheran-heran. Apa salahnya? Ini jenis pakaian perempuan, dan aku perempuan. 

"Emang kenapa?"

Kak Irsyad terkekeh. 

"Kayak ibuk-ibuk."

"Dih!" protesku. "Masuk." 

Kuambil sekeranjang buah yang dia sodorkan padaku. 

"Semua perempuan juga bakal jadi ibu. Lagian daster adem. Belum cobain sih lo, Kak."

Kak Irsyad sekejap mengacak jilbabku dari belakang saat berjalan, sebelum sanggup kuhindari. Sontak, aku maju beberapa langkah agar tangan dia nggak berbuat semena-mena lagi. 

"Apa sih! Bukan mahram! Lupa ya, kelamaan tinggal di sana?"

Aku menunjukkan raut marah padanya. Dia tertawa dan meminta maaf. Nggak lupa juga dengan senyum jahilnya. 

"Maaf. Mau ngecek aja. Krucil gue udah dewasa ternyata sekarang ... "

Dia menyebalkan! 

Aku memperkenalkan Kak Irsyad dengan nenekku. Rumah ini, adalah rumah orang tua Bapak. Kakek nenek masih lengkap, namun kondisi beliau berdua sudah cukup renta. Dulu, saat aku di Bojong Gede, mereka dirawat oleh Bulek yang berjarak dua rumah dari sini. Tapi sekarang, saat ada aku, Bulek datang hanya saat aku sedang bekerja saja. Setibaku di rumah, Bulek akan pulang dan kembali mengurus keluarga beliau sendiri. 

Kakek masih suka berkebun. Pagi begini, biasanya beliau duduk-duduk di kebun yang terbilang cukup jauh jika berjalan kaki. Nenek sudah kesusahan berjalan, dan kursi roda lah yang kini menjadi tempat beliau bertumpu membagi beban. 

Nenek lebih suka didudukkan di teras samping sembari menikmati semilir angin dari pohon dan kolam ikan yang Bapak buatkan saat terakhir kemari.  

"Lagi mau ada acara?"

Kak Irsyad menunjuk beberapa kardus berjajar di atas meja makan yang sudah berisi kudapan, dan air mineral. Tinggal jeruk yang belum kumasukkan. 

"Jum'at ... buat masjid. Biasa ... "

Aku memberinya satu kardus berisi paket makanan sama dengan yang akan aku bawa ke masjid. Dia dengan santainya, memakan satu per satu hidanganku, bahkan sebelum aku persilakan. Kak Irsyad ini ... memang belum berubah. 

"Udah sarapan?"

"Udah. Beli timlo. Enak ternyata." 

Aku tersenyum. Solo dan Jogja memang surganya makanan. 

"Maksud di telfon kemarin gimana? Mau konsultasi apa coba, udah keren begini. Emang hatinya masih berasa patah banget, atau cuma retak-retak aja? Atau patah dan selama sepuluh tahun ini udah berhasil Kakak lem dengan pacaran sama selain Kak Rara juga?" cerocosku jahil, sembari memasukkan satu per satu butir jeruk ke dalam kardus. 

Dia duduk di kursi makan, mengamati aku yang sedang bekerja.

"Ah lo, Pril. Lo nanyain gejala pasien, caranya begini juga? Pake patahan retakan segala? Yang ada, itu kerjaan gue, yang lem-lem in tulang patah!"

Kami terbahak bersama. 

Dia sendiri yang membuat masalah, yang seharusnya sudah bukan menjadi masalah lagi. Untuk apa patah hati diobati. Tinggal mencari calon istri, dibawa ke penghulu, urusan selesai. Allah akan seketika menautkan hati sepasang suami istri itu, tanpa mereka sangka-sangka. 

"Kalo lo belum siap nikah, kerja aja dulu. Travelling. Bisnis. Perdalam ilmu agama. Banyak kok, biar lo tetep bisa produktif, Kak," saranku.

"Kerja udah, bisnis udah, travelling udah, belajar agama, gue juga sering baca-baca buku agama. Kajian di Youtube. Apalagi coba?"

Aku mengedikkan bahu. Apalagi ya?

"Lo kayak kehabisan rencana hidup ya? Heran gue, Kak." 

Kuujarkan satu-satunya kalimat yang terbersit di otakku. 

"Kalo lo? Ngapain di sini? Kenapa gak nikah? Dulu aja, lo berani banget, anak bau kencur semester 1 nantangin mau jadi istri gue. Sekarang?"

Aku terkekeh. Ternyata, dia masih ingat gurauanku kala itu. 

"Emang hidup buat nikah aja? Pacaran aja? Cari jodoh? Memadu kasih? Menjungkirbalikkan hati? Aduh ... April nggak mau waktu April habis buat begonoan!"

--------

😅🙈🙊

Suseh ya, kalo prinsip enggak sinkron begono. 

Kamu kubu Irsyad, atau April? 

Kalo syukak plis share-share dong

MENITI KISAH (Orthopaedic Surgeon-Psychiatrist) EBOOK & KBM Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang