8. Kunci Mobil

12.7K 1.8K 51
                                    

"Wait. Don't cry. Gue gak masalah April bantu gue apa aja. Tapi soal jodoh, biar gue pilih sendiri. Oke?"

"April nggak nangis. Udah gede ini," jawabku mengusap mata, diselingi dengan senyum terbaik untuk berkilah. "April cuma ngasih saran aja."

Sejujurnya, rasa yang terjadi adalah seperti ada tangan seseorang yang meninju jantungku tiba-tiba, saat Kak Irsyad dengan gigi gemeretaknya, menyuruhku diam. 

Baru kali ini, aku melihatnya geram. 

Baru kali ini, di seumur hidupku dia marah padaku. 

Baru kali ini, di secerewet-cerewetnya aku menasehatinya, dia nggak terima kata-kataku. 

Itulah yang membuatku nggak bisa menahan genangan air, yang sempat merebak memburamkan mataku sejenak. 

Jam 4 pagi, kereta tiba di Stasiun Gambir, berlanjut dengan memesan taksi untuk kami berdua. Dia mengantarku hingga depan rumah Bojong Gede, lalu kemudian taksi yang akan mengantarnya pulang ke rumah. 

Usai sesi bentakan kemarin, aku nggak berani mengulik-ulik Kak Irsyad lagi. Mengulik masa depannya, rencana dia, pun juga perasaannya. Aku takut jika ternyata dia benar. Aku terlampau mengurusi kehidupan pribadinya. 

Lebih baik menghindar daripada menumpuk dosa terlalu banyak, karena seseorang nggak suka dengan apa yang kita lakukan. 

----------

"April. Sini deh."

Kak Tari memanggilku untuk mendekat. Acara pertunangan Kak Rara diatur sangat indah dengan tema bernuansa serba putih, di sebuah restoran berkelas daerah BSD. Kami semua berbaju putih, termasuk sang pasangan yang bertunangan. 

"Ini, Dokter Rangga. Bedah Digestif temennya Mas Gamma." 

"Rangga," sapanya menangkupkan kedua tangan padaku. Kesan pertama, dia terlihat ... sopan. 

"Kemarin ceritanya, Mas Gamma ketemu seminar di Jakarta. Yaudah, Mas Gamma undang aja ke sini. Di Solo 'kan ya, Dokter?" tanya Kak Tari memperjelas. 

"Iya. Di Rumah Sakit UNSO."

"Owh. Saya di HK Solo. Sama RSJ juga."

"Nah, kalian bisa jadi temen 'kan? Deket ini. Main-main, Dok. Rumah kami di Sragen, Dok Rangga. Rumah nenek sebenernya," sahut Kak Tari. 

"Loh. Sama. Rumah Ibu saya juga di Sragen. Sragen mana?"

Dan berlanjut, seterusnya, dan seterusnya. 

Aku tahu apa misi Kak Tari selain mengundangku agar menikmati pesta. Dia ingin memperkenalkanku dengan entah siapa sejawat yang hadir, yang siapa tahu punya garis suratan yang sama denganku. Sedang mencari jodoh, dan beruntungnya kami bisa berjodoh nanti. 

Hal ini sudah terjadi beberapa kali. Di ulang tahun HK Depok, HK Solo, bahkan di acara ulang tahun teman keponakanku pun, Kak Tari membawaku turut serta. Dia pantang menyerah mencarikanku jodoh. 

Ternyata begini rasanya. Dijodohkan terlalu sering, lama-kelamaan membuat kita sendiri mual. Jengah. Pantas saja Kak Irsyad juga merasa jengah denganku. 

"Gimana?" susul Kak Tari di meja makan,  ketika tadi sebelumnya aku sempat kabur dengan menggunakan toilet sebagai alasan. 

Meja makan penuh kudapan manis yang sangat aku suka. Satu per satu aku mencomot dan meletakkannya ke piringku. 

"Apanya gimana?"

"Ayolah, Pril. Kakak nikah umur 23. Kak Febi 24. Dan lo udah 27. Mau mundur sampe kapan?"

MENITI KISAH (Orthopaedic Surgeon-Psychiatrist) EBOOK & KBM Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang