5. Pacal Apil

15.2K 2.1K 86
                                    

"Nek, Kak Irsyad mau pulang."

Gue diantarkan April berpamitan dengan neneknya, usai menjalankan sholat jum'at di masjid kampung sini, sekaligus menikmati makan siang yang udah lama gak gue icip. Sambal terasi dan ayam goreng yang rasanya mirip dengan yang Ibuk masak dulu. 

Gue adalah langganan yang selalu mendapat ayam goreng utuh saat makan di rumahnya selain Bapak, dimana Tari dan adik-adiknya hanya dapat secuil-cuil. Tari bahkan pernah sempat protes pada Ibuk, sang pembagi lauk. Beruntungnya, adik krucil bau kencur ini mengerti dan membela sang Ibuk, bahwa tamu haruslah dimuliakan.  

Sejak gue membantu April menyusun tumpukan kardus makanan, lalu terjebak dengan Kakek yang ternyata pulang mengambil cangkul dan menahan gue sampai siang hari, berlanjut dengan tugas baru gue menjadi kurir antar April, gue batal mengobrol serius dengannya. 

"Ya. Pacal Apil ... ati ati," jawab Nenek masih dengan aksen cadel, akibat stroke yang pernah menyerangnya beberapa tahun silam. 

Gue tertawa melihat pipi gadis itu semu memerah, lantas bergerak macam cacing kepanasan, mengklarifikasi yang sebenarnya pada sang Nenek.

Waktu tadi, pertama kali mobil gue masuk pekarangan, dan dia muncul dengan gamis dasternya, gue sempat tersentak. 

Bertahun-tahun belakangan ini, ribuan perempuan dengan jeans dan kaos ketat berlalu lalang di depan gue.

Bertahun-tahun pula, dulu gue lihat dia dengan baby doll panjang juga jilbab yang seringnya miring dan dipakai asal, yang penting menurut aurat, sembarangan duduk di depan gue. 

Dan akhirnya, baru pagi tadi, gue lihat si bau kencur nampak bagai seorang perempuan dewasa yang sedang menunggu sang suami pulang dari kerjanya. GILA! PIKIRAN GUE LAMA-LAMA JADI GILA BERGAUL DENGAN DOKTER JIWA INI! 

"Gue mau daftar jadi Staf Pengajar di Univ Solo. Doain ya?" pamit gue.

Dan ... respon April seperti yang sudah gue tebak. Matanya berbinar, sembari mengucap selamat berkali-kali. Gue tahu dia tulus. Tapi please, gue baru bilang 'Mau daftar'! BARU ... MAU ... DAFTAR ...

--------

Operasi hari ini lumayan menyita waktu, dimana tadi pagi ada kecelakaan beruntun dan kebanyakan korbannya mengalami patah tulang. Kami berlima Dokter Orthopedi di Harapan Keluarga sudah berbagi pasien, pun juga dengan dua rumah sakit terdekat dengan lokasi kejadian. 

Jadwal visite gue tukar di akhir hari dan jam sudah menunjukkan pukul empat sore. Gue suka dengan jadwal yang padat. Seenggaknya, ini bisa membuat gue lupa sejenak untuk bengong dan memikirkan rencana hidup gue ke depan yang masih gak tentu arahnya. 

Benar kata April. 

Gue adalah manusia tanpa rencana hidup. 

Gue memilih untuk Internship ke pedalaman Kalimantan, semata-mata untuk menghindari Rara yang memilih wilayah Flores. Gue gak mau menyakiti hatinya dan hati gue, dimana gue masih merasa sakit hati dengan Gamma. Walaupun, Rara kala itu dengan sukarela menawarkan dirinya untuk membantu gue melupakan Tari, dalam rangka membuktikan hipotesisnya, bahwa cara tercepat move on adalah dengan punya gandengan baru. Dasar perempuan itu. Masalah hati pun dia jadikan uji coba. Dan mengerikannya, jika uji coba dia gagal maka justru akan membuat kami berdua patah hati.

Gue kabur ke Cambridge dan mengejar Harvard adalah juga demi membuktikan pada Gamma, bahwa gue bisa menjadi orang sehebat dia. Walaupun pada akhirnya, gue mencintai bidang profesi yang gue pilih sekarang. 

Jalan hidup gue mengalir sebagai akibat dari gue yang dibutakan oleh rasa iri dan dengki. Mungkin itulah, yang membuat gue kesusahan menata ulang semuanya, dari awal. 

"Halo? Assalamualaikum."

"Irsyad lo udah gue bolehin pulang ya. Resume udah gue isi. Tinggal lo aja gimana rencana dari Jiwa-nya," balas gue usai menjawab salam. 

"Oh ya ya ... boleh. Ntar gue pulangin. Makas- awww ... " ucapannya terhenti. 

"Nyuntiknya pake aba-aba dulu lah, Ta. Gue lagi telfon." lanjutnya lirih yang masih sangat jelas bisa gue dengar. 

"Kenapa Pril?!" tanya gue panik. "Sakit lo?"

"Ini lagi dibius Tita. Dia nggak pake aba-aba."

"Kenapa? Sakit apa? Dimana?" cerocos gue.

Gue tutup rekam medis Irsyad di nurse station, lantas berjalan cepat ke lift, dengan sambungan telepon kami masih tetap terhubung. 

Sial! Gue panik! Mau bagaimanapun, dia sudah seperti adik gue sendiri. Mungkin tujuan Gamma depak gue ke sini, adalah salah satunya juga buat jagain adik ipar badungnya ini. 

Pemandangan pertama yang gue lihat di IGD adalah April berbaring di brankar, dan Dokter Tita juga salah seorang perawat sedang menjahit lengannya. Luka robek sepanjang 10 sentimeter. Cukup lebar. 

Jantung gue rasanya mau lepas. Badan gue panas dingin hanya dengan melihat sayatan yang bagi gue gak ada apa-apanya, jika ini menimpa pasien gue. 

"PRIL? KENAPA BISA BEGINI?!!" tanya gue dengan nada meninggi. 

Dokter Tita dan perawat lelaki, juga keluarga pasien di samping ranjang April, ikut terperanjat mendengar bentakan gue. 

April tersenyum lebar menampilkan deretan giginya yang rapi, di sela matanya yang masih memerah dan basah. Sepertinya, dia selesai menangis. 

April gue, setegar apapun dia, dia tetaplah perempuan cengeng mirip kakak-kakaknya. Rengekan tangis dia paling juara, setiap kali mereka bercerita tentang debtcollector yang rutin menyambangi rumah mereka dulu.

April menoleh dan menunjuk seorang wanita yang terkulai lemas di ranjang pasiennya, dengan balutan tebal di lengan kirinya. 

"Pasien April. Mau bunuh diri tadi. Gak taunya dia masih nyimpen pecahan kaca di saku. Kena lah pas kita tadi mau medikasi dia."

Mulut gue dengan gak sopannya mengumpat lirih berkali-kali ketika mensterilkan tangan, memakai masker, dan handscoon.

Astagfirullah! Gimana gue bisa balas, kalau ternyata pelakunya adalah orang yang pikiran dan jiwanya sedang sakit?!!

Dokter Tita beranjak tanpa gue suruh, saat gue sudah siap menggantikan pekerjaannya. Namun, April menahannya. 

"Eh eh ... mau kemana?! Lanjutin dulu, Ta!"

"Gue yang lanjutin!!" ngotot gue. 

"Iya Dok Pril. Aku mana berani, dokter umum versus Bedah. Hehehe. Ngapunten ... pasien Tita masih banyak di depan."

Bagus! Tita, dokter IGD sahabat April, adalah anak yang sopan. Orang sini kebanyakan memang santun-santun. Hanya begini saja, dia minta maaf. 

"Dia enggak boleh pegang gue, Ta!" rengek April. 

"Darurat! Lagian lo mau lukanya nganga begini? Gue bikin jahitan dalem, biar bekasnya gak keliatan!" Gue bersikukuh. 

"Nah tuh. Dok ngapunten ... jahitan saya tadi mohon dibongkar saja. Biar bagusan jahitan Dokter semua," ucap Tita sebelum akhirnya pergi meninggalkan kami. 

Secepat kilat, gue potong tiga jahitan Tita sebelumnya, dibantu salah seorang perawat. 

April sontak mengeraskan tangisnya. 

Orang tua pasien ikut bersedih dan memohon maaf pada April berkali-kali.  

Gue dengan tampang dibuat secuek mungkin, mulai membuat jahitan baru pada luka di lengan mungilnya ini. Meski sebenarnya, di dalam sini ... darah gue berdesir gak tega. 

Dia, adik gue ... yang sedang terluka. 

----------

❤💚💜

Babang Irsyad beraksi. 

Maaf kalo belum bisa balas komen satu-satu. Tapi semua pasti aku baca. Hohoho ... lagi mengumpulkan energi biar fit lagi dan bisa ngebut update. 

MENITI KISAH (Orthopaedic Surgeon-Psychiatrist) EBOOK & KBM Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang