12. Group Video Call

11.4K 1.6K 113
                                    

Aku dilahirkan di Bojong Gede. Sekolah SD dan SMP ku juga di Bojong Gede. Barulah saat SMA, jarak sekolahku sedikit menjauh ke Bogor kota. S1 dan Spesialis aku tempuh sama-sama di UNI Depok, berkat sokongan dana dari Kak Gamma dan Kak Tari. Namun, setelah semua perjalanan panjang menuntut ilmu itu selesai, hatiku mendadak tertaut ingin kabur ke Solo. Nggak ada hal yang mendasari sebelumnya. Aku hanya tahu Solo-Sragen dan sekitarnya, dari cerita Nenek yang dulu sering menelepon Bapak sebelum Stroke menyerangnya.

Kota budaya, kota serabi, kota dimana udaranya nggak sepanas Jakarta. Meskipun, lalu lalang mobil sudah sama padatnya. Sering macet di jam berangkat kerja. 

Di sini juga banyak pohon. Rumah Nenek apalagi. Pekarangan super lapang yang ditumbuhi rumput jepang dengan pohon di kanan-kirinya, yang selalu berbuah rimbun setiap tahun. 

Ini surga. 

Kami kecil dulu sering diajak Bapak Ibuk liburan ke sini, mengunjungi Kakek Nenek. Naik kereta ekonomi, turun di Stasiun Sragen, lantas berlanjut naik becak. Bapak selalu menyewa dua becak, karena kami berlima dan tas baju kami besar-besar. Semua itu adalah kenangan indah yang tercipta jauh sebelum sebuah peristiwa naas nan panjang, menimpa kami. Hutang keluarga yang nggak ada ujungnya, hingga berakhir dengan perginya Ibuk untuk selamanya. 

Aku sekeluarga baru bisa ke sini lagi, setelah Kak Gamma menikahi Kak Tari. Terlalu lama Nenek dan Kakek dititipkan pada Bulek yang masih punya dua anak kecil masih sekolah, membuatku nggak tega. Aku ingin menggantikan Bapak untuk merawat beliau-beliau ini, hingga aku menikah. Aku berharap, kelak suamiku juga mengizinkanku nggak jauh-jauh dari mereka. Jadilah satu kriteria yang harus terpenuhi oleh calon suamiku adalah, dia haruslah orang sini. Atau, orang yang berniat bertempat tinggal di sini. 

"Alhamdulillah ... Kakak ikut seneng kalo lo mau coba sama Dok Rangga."

Layarku dipenuhi oleh empat wajah keluargaku di sana, ditambah satu wajahku. Bapak, Kak Gamma, Kak Tari, dan Kak Febi. 

Mereka memperdebatkan aku yang akhirnya memilih untuk menjalani proses ta'aruf ini dengan Dokter Rangga. 

Usai dua pertemuanku dengannya di sana, kami sempat bertemu sekali karena ketidaksengajaan saat aku merujuk pasien ke RS. UNSO, dan sekali saat dia akhirnya mengajakku bertemu kedua adik perempuannya. 

Rangga anak sulung. Usianya sebaya dengan Kak Irsyad. Namun, kedewasaannya kupikir jauh mengungguli Kak Irsyad yang masih kekanakan. Satu adiknya sedang melanjutkan kuliah spesialis di RS. UNSO dan si bungsu yang terpaut usia sangat jauh, masih berstatus pelajar SMP. 

"Bapak gak sreg!"

"Nah! Setuju! Gue juga nggak suka. Mukanya muka-muka playboy."

Aku menghela nafas. Aku paling nggak bisa berdebat jika sambungannya terlalu banyak begini. Mereka nggak akan mendengar segala pembelaanku. Rangga nggak playboy. Dia lelaki baik, dan menurut jejak keorganisasian juga riwayat belajar agama dari pengakuan kedua adik, dia termasuk lelaki yang rajin menggali ilmu. 

"Adem gitu, Feb. Tenang liatnya. Kayaknya juga sholeh."

"Meilani Mentari ... ! Ada suami kamu ini di sini ya! Jangan bilang cowok lain adem!"

"Hahaha ... rasain lo. Marahin aja Kak Gamma!"

"Ikuti kata hatimu, Nduk! Irsyad baik."

Hatiku masih hampa. Nggak ada yang bisa kuikuti. Sampai sekarang, aku masih nggak tahu kemana harus mengibarkan layar dan mengikuti arah kemudi keinginanku itu. 

Hanya logika. 

Ya, aku memang mengandalkan hanya satu hal itu saja, untuk menimbang-nimbang mana yang punya sisi lebih masuk di akalku. Lebih banyak kriteria yang terceklis, dia yang lebih kuutamakan untuk kudahulukan. Terutama agama. Seperti kata Ustad Haris. Karena hatiku ... akan kutautkan pada si terpilih, saat dia mengucap ikrar ijab qabul nanti.  

MENITI KISAH (Orthopaedic Surgeon-Psychiatrist) EBOOK & KBM Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang