"Gimana sih?! Lo udah berapa tahun jadi Sp.KJ? Gini aja masih kena batunya!" omelnya.
Aku memang baru lulus. Tapi selama 4 tahun kemarin, aku tentu sudah hafal tabiat para pasien Jiwa-ku selama masa residensi.
"Udah berapa kali begini? Coba! Mana lengan satunya? Ada bekas luka juga gak?!" tambahnya memindai lenganku yang lain dan kedua kaki yang terbalut baju muslim.
"Bisa bela diri gak sih, Pril?! Apa perlu, abis ini gue daftarin karate?" Aku merengut. "Harusnya lo udah siap-siap dan tau, pasien lo bakal ngapain!"
Aku sudah berhenti menangis, dan berbalik malu sendiri mendengarnya mengomeliku di depan keluarga pasien dan Mas Nano. Nggak bisa kah dia menjaga eksistensiku sedikit saja, sebagai seorang Dokter Penyakit Jiwa yang terhormat dan disegani?
Oke. Aku tahu dia memang banyak mengomel saat melihat anak-anak Bapak Harun teraniaya. Dulu, saat Kak Febi kabur pacaran dan nggak bisa pulang karena kehabisan uang saku, Kak Irsyad mengomel sepanjang perjalanan dari Depok sampai Bojong Gede, di atas motornya.
Itu pengakuan Kak Febi.
Dan, itu dulu.
Harusnya sudah berbeda dengan sekarang dimana aku bukan lagi gadis remaja berusia 17 tahun. Umurku sepuluh tahun lebih tua. Aku perempuan dewasa matang!
"Dok, ini mah bukan Berkut. Tapi Becer. Beruang Cerewet. Hehe ... ngapunten, jangan dilaporin ya ... " bisik Mas Nano saat Kak Irsyad meninggalkan kami untuk cuci tangan di wastafel.
Entah beruang apalah dia, tapi dia sudah berhasil menjatuhkan kredibilitasku, hari ini.
--------
Siang terik.
Matahari menyengat hamparan hijaunya rumput, di taman sebelah kanan koridor rumah sakit. Terkadang, mataku menyipit menahan silaunya yang terlalu menyorot.
Aku berjalan dari tempat parkir menuju ke lantai 3 RS. Harapan Keluarga, tempat dimana pasienku yang lain dirawat. Irsyad sudah kupulangkan untuk rawat jalan.
"April!!"
Terdengar teriakan tertahan yang lama-kelamaan makin aku hafal suaranya di telinga. Dia berlari kencang meskipun jarak kami sebenarnya nggak jauh-jauh amat.
"Kok lari?"
"Nempel tembok!" perintahnya tiba-tiba.
Gimana? Aku masih melongo mencerna perintah absurb-nya.
"Apaan nempel tembok? Emang gue cicak. Eh eh eh ... "
Sontak dia mendorongku benar-benar menempel tembok di kiri koridor, dengan gestur tubuhnya yang kian mendekat, sehingga mau nggak mau aku menghindar mundur dengan sigap.
"Lo lagi haid? Lo gak sadar itu belakang lo?"
"Hah?!" Aku menengok ke belakang. Sialnya hari ini aku memakai gamis pink muda, dan seberkas darah kemerahan tercetak di sana.
"Hehe ... " cengirku.
Dia menoyor kepalaku dengan ujung kunci entah apa, yang tergantung satu paket dengan remote key mobilnya. Berkali-kali.
"Sengaja ya? Kemaren tangan bocor. Sekarang bawah juga?"
"Iya! Satu lagi. Kepala gue juga bakal bocor kalo itu kunci sampe nembus tengkorak gue!" protesku.
Ujung kuncinya tajam, dan amat menusuk meskipun kepalaku sudah terlindung hijab dan ciput.
Kak Irsyad melepas snelli lengan panjang yang dia pakai, lalu diberikannya padaku.
"Pake!"
"Eh eh ... mana boleh jas dokter buat begituan!"
Jelaslah. Bisa-bisa aku diprotes Ikatan Dokter jika aku mengikat asal jas itu di pinggangku dengan tujuan menutup bercak darah, dan seseorang menyebarkannya di media sosial.
"Ah!!"
Dia menggerutu, dan berlari menjauh meninggalkan jasnya di tanganku. Gimana sih dia itu? Salut untuk Kak Tari yang tahan bertahun-tahun meladeninya yang nggak jelas. Dia pikir aku mendapat materi Kuliah Kecenayangan di Pendidikan Ilmu Kesehatan Jiwa-ku, hingga dia pikir aku bisa membaca pikiran dan rencana kerjanya tanpa komunikasi lebih dulu.
Aku nggak mau ambil pusing.
Akhirnya, aku melenggang melanjutkan perjalananku dengan tas jinjing yang kuletakkan di belakang.
Baru menunggu lift, seseorang menjatuhi kepalaku dengan seonggok kain. Aromanya ... aroma parfum lelaki. Astagfirullah! Cepat-cepat aku tersadar dan melepaskan diri dari kukungan pakaian yang sedetik membuatku terlena.
Aku menoleh.
"Baru juga diambilin. Udah kabur."
"Hehe ... makasih."
Dia mengikutiku ke atas, setelah aku mengikatkan jaketnya di pinggangku. Aku sempat terheran-heran kenapa dia mengekoriku, namun kubiarkan saja. Siapa tahu, dia mau mengunjungi pasiennya sendiri. Entah kenapa, sejak tadi kulihat dari pantulan dinding lift, senyumnya terus merekah. Terkadang diselilingi oleh kekehan. Mungkin sebentar lagi, dia benar-benar akan menjadi pasienku.
"Kenapa sih?" protesku pada akhirnya nggak tahan ditertawakan olehnya.
"Gak. Lucu aja. Gimana? Masih sakit tangannya?"
Aku mengangguk. Sudah pasti masih sakit. Kejadiannya baru beberapa hari lalu.
Usai kegiatan jahit-menjahit yang memilukan kala itu, Kak Irsyad nekat mengantarku hingga rumah, dengan cara mengikuti mobilku dengan mobilnya di belakang. Dia pikir, aku akan sulit menyetir dan segala resiko berbahaya perjalanan Solo-Sragen dia paparkan tepat di depan telingaku. Aku bergidik ngeri membayangkannya. Ujungnya, aku pasrah saja entah apa yang dia rencanakan untukku. Kalaupun yang dia katakan kejadian, juga aku tetap saja akan mengalaminya seorang diri dan dia selamat di mobilnya sendiri. Memang sebaik-baiknya memohon pertolongan adalah pada Allah. Bukan pada dia si beruang sok pahlawan.
"Cepet sembuh ya ... " ucapnya menusuk pipiku lagi dan lagi dengan kunci tajam itu, lantas berlalu begitu saja ketika lift lantai dua terbuka.
Apa dia lupa, bahwa seharusnya laki-laki dan perempuan dilarang bersentuhan?
Ya Allah, beri dia hidayah.
Beri dia hidayah.
Beri dia hidayah ... !
Kupikir, beruntung Kak Tari nggak berjodoh dengannya, dan Kak Rara sampai sekarang juga belum berpacaran lagi dengannya. Memang dia harus bertobat menjadi baik dulu, agar kelak bisa mendapat jodoh orang baik pula.
Ah! Akhirnya, aku tercetus satu rencana hidup yang akan aku sarankan untuknya. Memperbaiki diri.
Siapa tahu, setelah ini, beberapa gadis baik akan berduyun-duyun menghampirinya, dimana salah satu dari mereka adalah Kak Rara.
"Ngelamun!" tepuk Mba Ratri di bahuku. "Ada telpon itu, Dok."
Dari Kak Tari. Kami saling menjawab salam dan kabar, hingga satu berita mengejutkan, mengacaukan rencana yang baru saja beberapa detik lalu aku susun rapi untuk seseorang.
"Tanggal 4 jangan lupa kosongin jadwal 3 hari. Kakakmu Rara mau tunangan. Harus dateng!"
----------
💔💔💔
Potek hati Babang Irsyad.Jangan lupa SHARE.
KAMU SEDANG MEMBACA
MENITI KISAH (Orthopaedic Surgeon-Psychiatrist) EBOOK & KBM
ChickLitDokter Irsyad Hamizan, si cumlaude pengejar beasiswa, berhasil membuktikan diri dari ketidakmampuan dan kekecewaannya akibat patah hati, menjadi sosok yang begitu didambakan. Dia baru saja pulang dari pendidikannya di Amerika, dengan membawa gelar b...