"Jaga batas, dan stop jadi Irsyad yang semaunya??"
Gue semenyebalkan itu kah di mata April? Gue terlewat batas kah memperlakukan April sebagai salah seorang kesayangan gue? Gue ... gue mendadak merasa gak punya sesuatu yang bisa diunggulkan di depan April, kecuali restu Bapak.
Gayung bersambut. Niat gue yang meminta pertimbangan Bapak untuk mendekati April, siang itu, direstui Bapak pada detik itu juga.
Gue mengira Bapak akan memberi wejangannya pada gue terlebih dahulu. Atau minimal, menanyakan kemantapan hati gue saat pikiran itu terlintas di otak gue.
"Bapak setuju kamu jaga April, Nak. Pikirkan baik-baik. Sebelum April dilamar lelaki lain," ucap beliau kala itu, ketika gue membantu memindahkan anggrek-anggrek bulan beliau, dari lantai tiga ke balkon lantai dua rumah Bojong Gede.
Rumah sederhana ini sudah mempunyai dua lantai dan 2 kamar tambahan, dengan balkon kecil di depan. Lantai ketiga dibuat ruang terbuka, agar tanaman Bapak tetap mendapat pancaran matahari.
Bapak.
Bapak Harun Soemardjo, adalah salah satu sahabat gue. Sahabat bijaksana, tempat gue berkeluh kesah, selain dengan Tari dulu. Bapak lebih banyak diam dan mendengar, sedangkan gue, lebih banyak memuntahkan gejolak pikiran kawula muda gue jaman itu. Hanya saran beliau, yang menurut gue enak untuk diterima. Menasehati tanpa menghakimi.
Pun ketika dulu gue kalang kabut akan ancaman drop out, lantaran telah melawan dosen semena-mena gue, si Gamma Narendra. Gue hanya berani jujur dengan Bapak. Bukan Papa yang sudah pasti akan menghajar gue habis-habisan. Bapak gak sekalipun menyalahkan gue yang menyeret anak harapan satu-satunya, ke tepi jurang curam pengakhir masa depan Kedokteran kami. Bapak tahu segalanya. Namun, dia gak pernah menendang gue dari rumahnya. Walau faktanya gue tahu, hati beliau ikut getir memikirkan nasib anak sulungnya yang mungkin gagal lulus.
Bahkan sampai sekarang, Bapak juga masih sangat berbaik hati dengan Gamma, menerima pinangan dia, menjadikan dia menantu, meskipun sempat terluka, tatkala anak perempuannya tersakiti.
Hati beliau, sebersih malaikat.
---------
"Maaf Dok. Saya tahu niat baik Dokter dengan April. Tapi mungkin, memang jodoh gak bisa ditebak," kata gue saat kami didudukan berempat di sebuah restoran di sekitaran Jl. Slamet Riyadi.
"Saya pikir, Dokter gak ada niat dengan April. Dan saya pikir, April belum ada satu pria manapun yang melamarnya. Tapi, kalau memang jalannya sudah begini, saya bisa apa ... ?"
Dia tersenyum pasrah. Pada April. Sial! Gue ... gue gak suka! Baru semenit lalu, gue berikrar bahwa April adalah calon istri gue. Dan sekarang, dia masih menebar senyum kemana-mana. Sebaik mungkin gue menahan amarah, agar duduk perkara kami bertiga, selesai sore ini juga.
Gue sekarang berada dalam satu naungan yang sama dengan Rangga, di Departemen Bedah Rumah Sakit Universitas Solo. Karena itu, hubungan kami haruslah baik. Dia sejawat gue. Perpecahan sejawat hanya karena masalah perempuan, adalah satu hal kekanakan menurut gue. Sebagai pria, seseorang sejatinya sudah harus berjiwa besar dan menerima kekalahan, jika memang telah gagal usai memaksimalkan perjuangannya. Meskipun gue tahu, ada pepatah selama janur kuning belum melengkung, kesempatan menikung masih terbuka lebar.
Gue harap, di otak Rangga gak pernah terpikir hal kejam semacam itu. Karena sudah pasti, gue akan menjaga April gue, hingga tiba masanya janur kuning kami melengkung. Apapun yang terjadi, gue janjikan diri gue, untuk selalu ada menjaga dia.
April diam sejak tadi. Hidangan di depannya pun gak habis dia makan. Matanya mengoper mengamati pembicaraan dua lelaki yang sedang memperjuangkan dirinya. No! Bukan dua lelaki. Cukup gue! Cukup gue yang akan memperjuangkan April.
KAMU SEDANG MEMBACA
MENITI KISAH (Orthopaedic Surgeon-Psychiatrist) EBOOK & KBM
ChickLitDokter Irsyad Hamizan, si cumlaude pengejar beasiswa, berhasil membuktikan diri dari ketidakmampuan dan kekecewaannya akibat patah hati, menjadi sosok yang begitu didambakan. Dia baru saja pulang dari pendidikannya di Amerika, dengan membawa gelar b...