9. Kerenan Mana

12.9K 1.9K 131
                                    

"Irsyad."

Gue menawarkan jabat tangan demi memperkenalkan diri. 

"Rangga."

Owh. Namanya Rangga. Lalu, siapa Rangga ini? Selama gue berteman dengan Tari dan adik-adiknya, gak pernah sekalipun gue melihat orang ini di sekitaran April. Dan seumur yang gue tahu, April juga gak pernah mempunyai satu orang pun teman dekat, yang berjenis kelamin laki-laki. Semua lingkungan pergaulannya adalah perempuan. 

"Kak. Dok Rangga ini Bedah Digestif di RS. Univ Solo. Siapa tahu kan, nanti jadi deket kalo Kak Irsyad udah masuk sana."

Rangga mengangguk dengan senyumnya. Dasar! Gue gak butuh senyum tebar pesona dia. Atau ... dia sedang tebar pesona sama adik gue? 

"Owh ... " mulut gue membulat lama. "Udah lama di sana?"

"Lumayan, Dok. Dok Irsyad di Solo juga? Kakaknya April ya?" tanyanya. 

"Iya," jawab cepat April, bersamaan dengan gue yang menjawab, "Bukan!"

"Lah! Gimana sih?" desis April. 

"Ini sahabat Kak Tari pas jaman kuliah dulu, Dok," imbuhnya. 

"Dan saya lelaki terdekat April sekarang!" tambah gue. 

April meringis. "Iya. Teman. Sahabat. Pasien. Kakak. Semuanya lah dia mau kuasai sendiri. Hahaha ... " canda April mencairkan ketegangan, yang entah kenapa tiba-tiba saja tercipta di antara kami bertiga. 

Bagaimana gak? Dia orang asing, baru dikenal, dan dengan sangat mantap menawarkan dirinya untuk mengantar pulang April dan Bapak? 

Gue rasa, gerak-gerik seperti ini, gue pernah melihatnya sekali. Ada udang di balik batu, seperti yang dulu Gamma lakukan pada Tari. Gue yakin dia gak hanya mau mengantar adik gue pulang. Tapi mendekat ke Bapak, lantas merekam jejak untuk suatu saat bisa dengan mudahnya bolak-balik ke Bojong gede, pendekatan, hingga pada akhirnya Bapak merestui. No way! Gue gak bisa melepaskan April dengan sembarangan orang. Gue harus yakin dan mantap dengan mata kepala gue sendiri, bahwa hanya orang terbaiklah yang akan menjadi suami adik gue kelak! 

Dan gue ... gue sendirilah yang akan melakukan seleksi itu, demi adik gue. Siapa lagi? 

Tari dan Febi gak mungkin. Status mereka yang sudah menikah membuat mereka sibuk dengan urusan keluarga mereka masing-masing. Bapak dengan keterbatasan beliau, gue yakin akan kesulitan mencium gelagat terselebung seorang pria mesum yang tergila-gila dengan sisa satu-satunya anak perempuan Bapak, yang cantik ini.  

Cuma gue! 

Cuma gue ... yang bisa melindungi April hingga dia berhasil menemukan jodoh yang tepat! 

"Tapi sorry nih, Bro. Udah ada gue yang anter April! Gue duekeeett banget sama rumah dia. Pun juga hubungan keluarga kami. Udah deket banget dari dulu! Jadi ya ... hahaha biasa ... kita mah apa-apa udah barengan gini!" tepuk gue di bahunya, sok akrab. 

April berdecih jijik. Hahaha. Jujur! Gue sebenarnya juga jijik dengan tingkah gue sendiri berbicara sok kenal dan sok dekat dengan pria asing satu ini. Tapi, mau bagaimana lagi?

------------

Matahari cerah, hari libur, dan gue di Indonesia. 

Tiga perpaduan cocok untuk gue menikmati hidup dengan main ke rumah kedua gue. 

Rumah Bapak Harun. 

"Udah lama kenal Rangga?" tanya gue saat April muncul dari ruang makan. 

Gue sedang duduk-duduk di karpet tebal yang tergelar di ruang tamu, ketika dia datang dengan daster bunga muslimnya, membawakan teh manis hangat juga bolu kukus yang diakuinya sebagai hasil olahan sendiri. April gak punya agenda apapun hari ini, saat tadi pagi gue telepon. Dia hanya ingin menghabiskan waktu dengan memasak, berbenah rumah, juga mengobrol dengan Bapak sebelum kembali ke Solo. 

Lagi-lagi, darah gue berdesir. Gue paling gak bisa digoda sama perempuan yang sok bergaya seperti ibu-ibu rumah tangga sayang keluarga seperti ini. Rasanya, seketika dandanan dia, perlakuan dia, teh dia, kue dia, rencana dia, membuat hati gue nyaman, dan mau selamanya merumahkan hati gue ke dalam hatinya. 

"Kenapa senyum-senyum sendiri? Ih gila deh!" celetuk April kemudian menyadarkan gue. 

Gue senyum? Gak! Gue gak senyum! 

AH SIAL!!! GILA GUE KAMBUH LAGI! 

Gue cepat-cepat menggelengkan kepala, memanggil kewarasan gue agar kembali!

"Gue tanya! Lo kenal Rangga udah berapa lama?! Gimana sih? Kuping lo kesumbat atau gimana? Ga dengerin gue ngomong?!" marah gue mengalihkan perhatian. 

"Ck! Ini juga mau dijawab. Tapi mau duduk dulu. Capek gue ladenin lo Kak dari tadi."

April menghidupkan kipas angin usai mengusap bulir keringat di dahinya. SIAL! SIAL! SIAL! 

Gue menunduk seketika. 

Apa gue ketuaan hingga hormon gue meledak-ledak, hanya dengan melihat dia mengusap keringat? Belakangan gue melihat Mama yang berkeringat sampai basah kuyup pun, gue baik-baik saja. 

"Pake minta teh panas segala. 'Kan gue jadi harus masak air. Emang kenapa sih es sirup? Gerah begini juga!" 

April masih berlanjut memarahi gue, yang anehnya gue malah cekikikan dia marahi seperti itu. Dia sudah mirip ibu-ibu memarahi anak kecilnya yang bandel. 

Gue gak mau es sirup. Kalo dia April, gue harus disuguh teh hangat olehnya. Teh dia enak. Manisnya pas. Gue suka. 

Lagipula, ini kesempatan gue jadi tamu yang dimuliakan. 

April menceritakan dari awal kisah pertemuan dia dengan Rangga, yang ternyata dijodohkan oleh Tari. Oh Tari, come on! Seharusnya dia membiarkan saja si Anak Bau Kencur ini gak nikah-nikah. Seenggaknya, April bisa menemani kejombloan gue, sampai gue dan dia mendapat calon kami yang tepat, suatu hari nanti. 

"Udah ah. Ngapain sih siang bolong main, nanyanya orang lain pula? Bapak itu, temenin sana di belakang!"

Dia berdiri. Mungkin kakinya yang terbalut kaos kaki sudah kram, sejak tadi duduk bersimpuh mendengar gue menginterogasinya. 

"Pril, jawab dulu! Lo jangan nikah dulu dong. Temenin gue cari jodoh dulu. Ntar gue sendirian lagi, gak ada temen."

Gue berdiri di depan dia. Menghalanginya yang akan menuju ruang makan. 

"Ish! Kemarin siapa yang marah-marah pas mau dijodohin?" 

April melengos. 

"Hehe ... iya maaf. Gak diulangin lagi."

April tersenyum lebar sembari mengangguk. Tangannya melambai ingin agar aku bergeser. Aku bergeming. 

"Gue mau masak, Kak. Lo temenin Bapak. Emang lo gak kelaperan? Bapak juga harus makan bentar lagi."

Oke, baik. Gue akan dengan setia menunggu waktu, demi meniti kembali, kisah masa indah gue jaman dulu, terulang di hari ini. 

Makan gratis.

Buatan April, yang rasanya seenak buatan Ibuk.

Di rumah kedua gue. Rumah Bapak Harun. 

"Eh eh ... tunggu!"

Mendadak saat gue melihat punggung April menjauh, entah apa yang terlintas di benak gue. Ada satu ide teramat gila sekaligus gak rasional sama sekali, gak bisa gue tahan berhasil meluncur dengan lancarnya dari mulut terkutuk gue, saat itu juga. 

April berbalik. 

"Apaan lagi sih?"

"Daripada lo coba sama Rangga, kenapa gak kita coba aja berdua? Gue, sama lo. Baru lo bisa bandingin. Kerenan Rangga ... atau gue?"

-------

😁😁😁😁

Aseeekk. Seru nggak sih? Mak ketawa tiwi sendiri ngetiknya. 🙆

MENITI KISAH (Orthopaedic Surgeon-Psychiatrist) EBOOK & KBM Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang