"Gak! Gila lo, Kak!"
Aku mendorong mukanya dengan nampan yang kubawa.
"Dah sana!" usirku ketus.
Aku sempat berdebar, sebelum kunormalkan kembali perasaanku. Bisa-bisanya dia mengajakku mencoba memulai hubungan, seperti mengajak seorang teman makan kwaci bersama? Bercanda dia ... sudah kelewatan!
Aku nggak akan mau mencoba dengannya. Nikah bukan coba-coba. Nikah adalah hal sakral yang harus dibicarakan seserius mungkin. Pun perasaan dihadirkan untuk memantapkan keputusan menikah, bukan untuk trial error dimana ketika nggak sinkron, kita bisa seketika berpindah ke yang lain.
Dia pikir aku baju di mall yang sesuka hati bisa dia coba? Atau, dia sedang menawarkan diri sebagai salah satu pakaian itu, untuk aku coba dan rasakan, baru membandingkannya dengan yang lain? No! Cara berpikirku nggak sebebas dia yang lulusan luar negeri. Mungkin dia sudah terpengaruh pergaulannya di sana, yang entah aku nggak tahu bagaimana itu. Namun, aku nggak suka.
"Eh udah matang ... "
Kak Irsyad meringis dengan binar matanya yang terlihat sangat girang, mengambil kursi makan kami, lantas duduk di samping Bapak tanpa aku persilakan lebih dulu.
Bahkan, aku belum menyiapkan piring makan untuknya.
"Piring gue mana, Pril?" tanyanya polos.
Aku ingin mengomelinya sekali lagi, boleh nggak? Kapan dia bertobat menjadi seorang tamu yang terlihat mulia dengan sopan santun dan kesungkanannya.
"Nih!"
Ups! Ternyata, dentingan piring yang kuletakkan kasar terlalu keras. Seirama dengan suasana hatiku. Entah kenapa tiba-tiba saja, aku merasa jengah melihat Kak Irsyad di sini. Gaya slengekannya, cara bicara, kesopanan dia, dan pola pikir dia barusan tentang pernikahan. Sebenarnya dia anggap aku ini apa? Mainan Barbie yang dengan mudah dia setir kemana-mana sesuai keinginannya?
Aku sebal, muak, jijik, dan ingin menendangnya jauh-jauh setelah ini dari pintu rumahku.
"April, pelan-pelan!" nasehat Bapak.
"Kakak abis ini pulang aja. Gue sama Bapak mau pergi. Ada urusan, dan ini urusan keluarga. Ke-lu-ar-ga-in-ti!"
"Urusan apa?" tanya Bapak yang nggak tahu-menahu tentang rencanaku hari ini.
"Nah. Lo bohong ya?"
"Nggak! Ada beneran, Pak," rengekku pada Bapak. "April cuma belum sempet ngobrol aja sama Bapak tadi. 'Kan ada si Kutu Kup-" tunjukku terhenti pada kepala si Kutu Kupret.
"APRIL!" tegur Bapak. "Gak boleh ngomong sama tamu kayak gitu. Apalagi Irsyad jauh lebih tua dari kamu!"
Aku mengangguk. Ya ya ya! Lebih baik aku bersembunyi di kamar hingga dia pulang, daripada harus memaksakan hatiku berdamai dengannya.
Ketika aku hampir membuka gagang pintu, Kak Irsyad berhasil menahan beberapa detik dengan kalimatnya. Aku harap, itu nggak menyurutkan niat untuk menjauhi Tuan Amerika yang nggak sepemahaman denganku itu.
"Makasih banyak ya, Pril. Enak banget sayur asemnya."
---------
"Baik-baik di sana! Kalo Irsyad nyebelin ngrecokin lo, minta tolong aja sama Rangga! Kakak udah nitip kemarin."
Kak Tari menasehatiku tepat di depan pintu keberangkatan Bandara Soekarno Hatta. Nitip? Titip? Aku bukan anak kecil yang harus dititipkan pada siapapun, terlebih pada pria yang belum kukenal dan baru dua kali kami bertemu.
Kemarin setelah Kak Irsyad pergi, dua jam setelahnya Kak Tari dan suaminya datang dengan membawa ketiga anaknya. Juga sesosok tamu pria berbaju hitam kasual, bergelar dr. Rangga El Fatih Sp.B-KBD. Aku tersentak. Aku nggak ada persiapan apa-apa untuk menyambut tamu seperti dia. Apalagi, dengan rencana Kak Tari yang diutarakannya di malam sebelumnya. Aku nggak tahu, apakah itu keputusan dua belah pihak antara Kak Gamma-Tari dengan Rangga, atau justru hanya angan sepihak Kak Tari semata.
KAMU SEDANG MEMBACA
MENITI KISAH (Orthopaedic Surgeon-Psychiatrist) EBOOK & KBM
ChickLitDokter Irsyad Hamizan, si cumlaude pengejar beasiswa, berhasil membuktikan diri dari ketidakmampuan dan kekecewaannya akibat patah hati, menjadi sosok yang begitu didambakan. Dia baru saja pulang dari pendidikannya di Amerika, dengan membawa gelar b...