14. Sorot Lampu

12.4K 1.4K 39
                                    

"Sial! Sial! Sial!" ucapnya lirih, tapi masih teramat jelas sampai di runguku.

Lelaki itu meraup wajahnya, kasar.

"Lo maunya gue gimana, April?? Gue serius, lo anggap gue cuma main-main kemarin! Makin gue serius, lo malah makin mikir tujuan gue cuma ... ! Ah!!! Gue harus gimana lagi?"

Aku nggak menjawab. Aku nggak tahu. Aku hanya merasa perlakuan dia padaku, berbeda dengan perlakuannya pada Kak Tari dulu.

Dengan Kak Tari, dia bisa berbincang serius tanpa candaan. Dengan Kak Tari, dia bisa selembut seorang pria dengan tatapan malu-malu kucing pada sang pujaan hati. Dengan Kak Tari, Kak Irsyad nggak pernah memanggil Krucil juga Adik Kecil. Dengan Kak Tari, dia nggak pernah memarahi dan membentak layaknya seorang kakak yang selalu geram dengan adik nakalnya. Dengan Kak Tari ... astagfirullah! Apa yang aku pikirkan? Aku cemburu ... dengan kakakku sendiri.

Aku hanya merasa ... dia nggak mencintaiku. Dia nggak menyayangiku. Dia hanya menjadikanku pemberhentian darurat untuk sekedar melepas lelah, dari perjalanan panjangnya yang tiada ujung. Bukan tujuan akhir kemana seharusnya dia pergi.

"Sst ... ! Dah ya? Jangan nangis."

Dia memberiku tisu. Benar ucapnya. Memang sungguh sial diriku ini. Mengapa susah sekali untukku menahan perasaan melankolis yang meledak-ledak sejak kemarin? Perasaan nggak percaya diri yang mendadak hinggap dan mencekikku kuat-kuat.

Orang-orang mulai mengamati kami. Aku menghentikan suapan.

Berdiri, dan pergi.

----------

Senin kelabu.

Hujan deras sedang mengguyur kota kesayanganku, ketika kami sampai di sini. Sore yang seharusnya masih cerah, kini terlihat segelap senja yang sedang menjemput malam. Derasnya air yang berjatuhan di kaca depan mobil, membuat jarak pandang kami memendek. Aku dengan mobilku, dan Kak Irsyad dengan mobilnya, di belakangku. Mobil kami memang ikut menginap berhari-hari di stasiun.

Seharusnya hari ini aku masuk. Pun dengan Kak Irsyad. Namun urusan yang belum usai hingga tadi pagi, menuntut kami untuk meliburkan paksa hari ini, demi memperpanjang waktu.

Aku memilih kereta juga agar aku bisa mencuri tidur lebih lama selama perjalanan. Aku nggak bisa tidur semalam. Mataku menerawang jauh bagaimana masa depanku nanti dengan Kak Irsyad. Melihat interaksi dia dengan Kak Tari yang sibuk membantuku memilih ini itu untuk perhelatan hari besarku, membuatku tersadar. Aku dan Kak Tari memang terlampau jauh. Kak Tari jauh lebih tegar, lebih dewasa, dan lebih sabar. Aku terlalu kekanakan, cengeng, dan banyak bicara. Pantas saja, Kak Gamma dan Kak Irsyad saling memperebutkan Kak Tari. Dia memang pantas untuk dijadikan pendamping hidup idaman.

"Tidur?" tanyanya tadi siang ketika aku memilih menutup diri dengan selimut, hingga ujung kepala. Aku memunggunginya dan menghadap ke arah jendela kereta. Menghindari terciptanya perdebatan yang seharusnya nggak ada.

"Enggak ... "

"Mau kita gak usah ketemu Tari lagi aja, setelah nikah? Biar April gak cemburu?" Dia berkata lembut padaku.

"April nggak cemburu sama Kak Tari. April cuma ... nggak pede," bohongku. Kak Irsyad menghela nafas.

"Kenapa gak pede? April gue punya segala-galanya yang gue butuhkan."

Astaga! Debaran jantungku mengencang lagi. Jangan merayu. Jangan merayu. Tolong!

"Masih gak yakin?"

Aku menurunkan sedikit selimut yang menutup pandangan.

Mataku seketika dihadapkan pada indahnya hamparan persawahan bawah bukit, pemandangan rute yang kami lewati. Hatiku sedikit lebih lega. Ini bukan masalah Kak Irsyad. Ini sepenuhnya adalah masalah hatiku. Aku yang harus menyelesaikan ini sendiri, hingga kelak sepenuhnya aku bisa meyakinkan diriku sendiri, bahwa Kak Irsyad memang hanya akan memandangku sebagai wanitanya.

MENITI KISAH (Orthopaedic Surgeon-Psychiatrist) EBOOK & KBM Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang