Btw, ep 1 emang enggak ada ya. Jangan kaget.
------------
"Dok. Pasienmu itu!"
Dokter Tita yang masih sebaya denganku merengek menggangguku yang sedang membuat permintaan konsul di nurse station.
"Kenapa pasienku?"
"Nangis. Cekikikan. Nyerocos. Trus nangis lagi. Cekikikan lagi. Ngomong lagi. Takut aku. Temenin."
"Ampun. Biasanya juga pegang piso lo! Ada Mas Nano juga."
Mas Nano perawat IGD pria andalanku, sudah sejak tadi menangani pertolongan pertama si pasien dengan dua lainnya, ditemani seorang ibu pasien. Mas Nano lah satu-satunya partner di Rumah Sakit Harapan Keluarga Solo, yang paling aku harapkan lantaran sigap dan tangkas mampu membuat pasien-pasienku bertekuk lutut.
"Irsyad ... Duduk!"
Irsyad duduk dan menurut aba-aba saat aku datang. Irsyad adalah pasien langgananku sejak beberapa bulan ini. Kesayanganku karena meskipun dia manja dan punya penyakit bipolar, dia tetap terlihat seperti anak baik. Dokter Tita -dokter IGD- dan Mas Nano mulai membersihkan luka robek akibat tabrak lari yang terjadi pada Irsyad. Pun juga membebat kaki sambil menunggu Bedah Ortopedi datang menangani kaki kanannya yang patah.
"Atiit-atit ... Miiiii ... Doookkkkk ... " rengeknya.
Lelaki 18 tahun itu berontak dalam kungkungan tangan terikat tali saat Mas Nano mulai membersihkan bagian yang cukup parah. Tak kuasa, akhirnya Mba Ratri menyuntikkan penenang yang tadi aku resepkan untuk disiapkan.
Irsyad tertidur pulas.
-------
"Dok, Orthonya udah dateng tadi. Dokter baru. Guanteng!"
"Alah-alah. Sesuka hati lo aja, Mba." Aku meletakkan es jus yang barusan kubeli di kantin sebelah IGD sembari menunggu jawaban konsultasiku pada Bedah Orthopedi.
"Gimana? Sampun dijawab to?"
"Alah, Dok. Belum pantes basa jawanya. Hahaha ... cek aja itu. Mau langsung di op!"
"Wow. Bagus dong!"
Aku membuka lembaran rekam medis Irsyad. Irsyad H? Irsyad?
"Mba? Ini dokternya namanya Irsyad juga? Enggak ketawa dia?" balasku masih dengan mulut terperanga.
"Alah. Guanteng sih, Dok. Tapi nggak pernah senyum. Jadi kalo ketemu yang namanya sama juga paling nggak ngguyu. Ya 'kan Mas Nano?"
"Ho oh. Kayak Berkut. Beruang Kutub."
Baiklah. Meskipun beruang kutub, semoga saja otaknya seencer Einstein, dan hatinya bak malaikat.
"Gue pulang ya, Mba? Terapi gue, udah gue catet."
----------
Pagi dingin, rintikan gerimis yang nggak berhenti dari pagi, plus AC ruang Mina kelas dua yang entah kenapa di set sedingin ini. Membuat mulutku akhirnya protes nggak terima.
"Mba. AC-nya nggak kedinginan ini?"
"Eh iya juga ya? Aku angetin dulu, Dok."
Mba Uus mengambil remot dan menaikkan suhu AC ke angka yang lebih hangat.
Kubuka rekam medis Irsyad dan satu pasienku lainnya. Yang satu karena Fraktur Tibia, dan satu lagi dirawat dengan penyerta Demam Berdarah Dengue. Pasien Jiwa-ku di rumah sakit umum memang nggak banyak. Paling banyak ya di rumah sakit jiwa.
Mataku masih terpekur mengisi lembaran rekam medis. Membaca tindakan selanjutnya, juga mengombinasikan resepku dengan resep dari sang dokter Bedah. Kulihat si Berkut juga belum absen mengunjungi pasiennya.
Berdiri di meja pembatas nurse station, mulutku gatal untuk bertanya pada satu-satunya perawat penunggu nurse station di saat yang lain berbagi tugas menyuntik obat pagi.
"Mba? Orthonya belum visite ya?"
"Ini visite!"
Suara berat dan serak khas lelaki dewasa, menyambar telinga kananku bagai petir. Aku mengikuti arah pandang Mba Uus. Di kananku ada seorang lelaki berkulit putih, kumis bersih, namun punya bulu jambang cukup tebal.
Sepertinya familiar.
"Irsyad 'kan?"
Dia menunjuk rekam medis yang ada di bawah tanganku yang masih memegang bolpoin. Lantas menggesernya ke depan dia, setelah aku mengangguk dan mengucap, "Ya."
Beberapa detik kemudian, aku tersadar.
Spontan memekik kencang!
"IRSYAD HAMIZAAANNN!"
Seperti orang gila. Ya, sudah mirip pasien skizofrenia-ku saat halusinasi si hantu datang membayangi mereka.
Bolpoin yang ada di tanganku sudah meluncur jatuh. Kedua tanganku sibuk menutup mulut yang menganga, kalau-kalau ada lalat lewat dan mampir masuk.
"Sstttt!"
Mba Uus menyadarkanku. Benar! Ini rumah sakit.
Dia yang mulai menulis pun, menoleh padaku sekejap saja, layaknya seekor Beruang Kutub. Kembali ke rekam medis di depannya, lantas berusaha mengamatiku sekali lagi yang masih terheran-heran nggak mengalihkan fokus mataku dari wajahnya.
Baru setelahnya, dia sadar. Siapa dokter gila yang memekikkan namanya itu, dengan begitu lantang.
---------
Gimana-gimana? Plis ombaknya.
Like, share, dan subscribe.
KAMU SEDANG MEMBACA
MENITI KISAH (Orthopaedic Surgeon-Psychiatrist) EBOOK & KBM
Literatura FemininaDokter Irsyad Hamizan, si cumlaude pengejar beasiswa, berhasil membuktikan diri dari ketidakmampuan dan kekecewaannya akibat patah hati, menjadi sosok yang begitu didambakan. Dia baru saja pulang dari pendidikannya di Amerika, dengan membawa gelar b...