BIF 34

6.9K 1.6K 137
                                    

"Yeah! Alden memang hebat!" teriakku berjoget heboh.

"Ada apa?" tanya Zio tampak bingung. Mendongak karena tubuh pendeknya.

"Papa sedang bahagia? Kenapa tidak mengajak kami?" tanya Nio.

Akhirnya aku ajak mereka bergoyang bersama. Berteriak tidak jelas hingga apartemen penuh teriakan kami berempat.

Satu jam setelah itu, Papa dan Mama datang. Menghampiriku dan para monster yang tengah melihat kendaraan dari jendela apartemen.

"Alden!" panggil Mama, aku menghampiri keduanya.

Papa tampak marah, tetapi hanya diam. Mama? Tangannya berkacak pinggang bak model akan catwalk.

"Kenapa kau menakutinya? Apa yang telah kau katakan padanya hingga dia menolakmu?" Mama bertanya kesal. Secepat itu beritanya menyebar.

"Aku bilang aku akan menikahinya, dan memberinya tiga anak kembar juga."

"Dasar anak tengik! Kenapa kau lakukan itu, Alden! Kau memang sangat nakal!" Mama memukul bokongku dengan sapu.

Aku terus berlari menghindar meski tetap saja sapu itu mendarat tepat di bokong, ditambah omelan Mama yang terus menghiasi hukuman ini. Mama terus memukulku dengan omelannya, seperti ibu tiri.

"Maafkan aku, Ma! Aku minta maaf! Maaf terus membuatmu kesal! Tapi aku menyayangimu!"

"Aku tidak percaya! Kau membuat semua orang membicarakan keluarga kita! Kau dan Shelin sama saja! Tidak berguna!"

Mama masih saja kesal, dan memukul seraya mengejarku yang terus berlari.

"Aw, sakit, Ma! Aku minta maaf!"

Akhirnya Mama berhenti. Wanita itu terduduk di lantai. Sedangkan aku memegangi bokongku yang terasa perih. Sesaat, aku sering merasa bersalah. Aku ingin membuat bangga kedua orang tuaku, tetapi takdir seperti tidak menyetujuinya.

Aku duduk jongkok di samping Mama yang terengah dengan tatapan kosong. Mungkin ini puncak kemarahannya pada anaknya.

"Hidup itu Tuhan yang menentukan, kita yang menjalani, orang lain yang mengomentari. Setelah aku atau Shelin menikah, mereka tidak akan berhenti membicarakan kita, mereka akan mencari bahan lain," ujarku, kini Mama menatapku lesu. Tampak mendengkus, tetapi setuju juga.

"Kau selalu pandai membuatku memaafkanmu," ujarnya pasrah.

Aku memeluknya erat, wanita yang sebenarnya hatinya lembut ini adalah Mama terbaik. Tidak ada wanita sepertinya, yang memukulku, tetapi menangis setelahnya. Yang memarahiku, tetapi untuk kebaikan sebenarnya. Dia yang paling peduli, dengan caranya.

Aku menatapnya, mengelap keringatnya yang menetes. "Aku menyayangimu, Ma," ujarku tersenyum manis.

"Kau kerasukan apa?" balas Mama terkekeh.

••••

Kini, aku berada di kamar. Bersama ketiga monster yang tengah melihat keadaan bokongku, sedangkan aku tengkurap dengan celana sedikit melorot. Aku yakin sudah berwarna biru, ungu atau yang lain akibat pukulan Mama. Sebelumnya padahal putih mulus, persis seperti lantai kamar mandiku.

"Astaga! Aku tidak pelcaya," ungkap Vio ketika melihat keadaan bokongku.

Apa separah itu, sampai si bungsu terkejut? Kini giliran Nio dan Zio yang juga terkejut. Membuatku penasaran, bagaimana wujud bokongku saat ini.

"Sabal Papa, bokongmu sudah sepelti zebla," ujar Zio membuatku meringis.

"Menulutku ini sepelti gelhana bulan," sela Nio memiliki pendapat pribadi.

Dari semua reaksi mereka, sudah pasti bokongku ini berubah menjadi pantat panci gosong. Tidak terpikirkan akan sampai begini. Aku bahkan tidak bisa duduk. Kulitku memang sensitif seperti bayi.

"Warnanya sudah belubah menjadi abu-abu," ungkap Zio menyentuh bokongku pelan.

"Sudah, tutup kembali. Ini bukan tontonan pasar malam!" titahku, dan mereka menurut.

Mereka kembali menggangguku dengan naik di punggung. Ketiganya mulai rusuh dengan permainan kuda yang tidak pernah aku suka. Malang sekali bokong mulusku, harus burik sementara. Akan aku oleskan minyak jelantah agar tidak kering.

Jangan ditiru di rumah, hanya dilakukan oleh profesional.

••••

Aku akan tetap setia membuat kalian tertawa.
Makasih vote komen nya. Selalu bikin semangat

Btw
Kalian asal kota mana?
Kali aja kita satu daerah

Because I'm Father (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang