Can't You See?
Kaus kaki, aku mencarimu. Sedari tadi, aku mencari pasangan kaus kaki milik Nio, di mana anak itu melemparnya? Sungguh, duniaku penuh dengan masalah.
"Aku menemukanmu!" seruku, lalu meraih kaki Nio dan memasangnya dengan cepat.
"Aku tidak mau pelgi!" seru Vio menolak dan terus saja main mobil-mobil kesayangannya.
Selalu saja terjadi drama sebelum berpergian. Mulai dari mandi, mereka akan berendam sampai bosan, jika tidak dituruti menangislah sampai tumbuh jenggot.
Belum ditambah drama saat pakai baju, berlarian menghindariku, begitu terpakai mereka akan melepasnya. Sudah rapi? Jika mood mereka buruk, mereka akan menolak pergi, bersikap egois dan menangis. Yang aku lakukan? Diam, menerima, ikhlas, sampai diare.
Hari ini aku berencana mengunjungi Alisya. Aku ingin tahu kabarnya. Selepas ibunya tiada, aku belum menemuinya dan melihat keadaannya. Tidak mudah hidup sendirian, aku yakin dia membutuhkan semangat dan dukungan dari orang lain. Aku ingin dia merasa berharga di dunia ini, sehingga tidak perlu merasakan bahwa dia tidak berguna lagi. Sungguh, aku pernah merasakannya.
Tunggu, kapan kami berangkat jika para monster terus saja bermain? Setelah menunggu, akhirnya aku bisa membujuk para monster untuk pergi. Aku genggam tangan mereka yang selembut moci.
Aku hanya membawa baby carier, tetapi tidak dipakai karena ketiganya sedang ingin berjalan sendiri. Akhirnya, pundakku bisa beristirahat juga.
Sampai di kantor Polisi, aku langsung menghampiri orang yang aku kenal.
"Apa Alisya sedang bertugas?" Aku bertanya pada lelaki bertubuh besar dan tegap itu.
"Kau tidak tahu? Alisya dipindahkan tugasnya di luar kota," jawabnya, masih seraya menata tumpukan kertas di meja.
Setelah mendengar penjelasannya, aku duduk di luar kantor Polisi bersama tiga monster yang mulai rewel. Biasanya mereka lapar jika mulai rewel begitu. Yang bisa menyelamatkan mereka adalah, pemadam kelaparan.
"Papa!" rengek Zio menarik bajuku.
Kedua saudaranya ikut merengek tidak jelas.
Jadi, aku memutuskan pergi ke sisi kantor, di mana terdapat mini market. Kubeli beberapa roti dan jus kotak untuk para monster. Setelah diberi roti kesukaan mereka, langsung hening.
"Kalian diam hanya saat makan," celaku jengkel.
Aku kembali merenung, Alisya benar-benar telah pergi. Namun, kenapa? Benar-benar menjauh dariku. Apa aku telah membuat kesalahan? Apa dia akan baik-baik saja di tempat jauh dariku? Demi apa pun, aku menghawatirkannya.
"Apa yang harus aku lakukan? Alisya pergi meninggalkan kita," ujarku pada ketiga putraku.
"Apa dia bahagia di sana?" Aku menatap langit biru.
Semoga Alisya tengah menatap langit yang sama denganku. Seolah aku melihat wajahnya di atas sana, senyumnya yang tipis menyapaku.
"Apa Alisya memikirkan kita juga? Kenapa aku jadi begini?" gumamku.
"Aku tahu, aku telah menolaknya. Apa itu alasannya pergi? Tapi selama ini hubungan kita baik-baik saja, kan? Apa aku membuatnya marah?"
Tidak mendapat sahutan.
"Kenapa kalian diam saja?"
Aku tengok para monster, mereka menikmati jusnya hingga sehening ini. Aku selalu bicara sendiri, kapan mereka akan merespon curhatanku? Suatu hari itu akan terjadi. Meski tidak didengarkan, aku terus saja mengoceh.
"Dulu, pas aku lagi menikah dengan mama kalian, cut, itu senangnya. Aku benar-benar kehilangan momentum bersama teman-temanku di situ, dan akhirnya aku beralih ke kalian. Sekarang, tidak ada lagi, tuh, namanya senang. Malah kata temanku, 'Eh, Al, pelan-pelan, dong! Kita belum kebagian, nih, deritanya!' Mas, penderitaannya yang banyak, ya," ujarku menceritakan masa kelamku.
Aku mendengkus, menunduk melihat sepatu mahalku. Tidak aku sangka, Alisya adalah pengembara, aku adalah tikus rumahan. Sejak para monster kecil hadir, aku bahkan tidak keluar rumah.
Mereka juga tidak pernah merasakan rasanya bermain lumpur, bermain di luar seperti yang lain. Bermain di kolam renang, atau bermain dengan binatang. Aku tidak bisa menangani mereka sendirian jika terlalu sering pergi ke luar.
Sedangkan Alisya, dia gadis yang kuat, pergi kemana pun dengan seragam kebanggaannya. Mengabdi pada negara. Aku? Pengabdi monster.
Aku rasakan salah satu dari mereka naik ke punggungku, mengecup pipiku dari belakang.
"Papa sangat manis," ujar Nio, membuatku kembali bersemangat.
Baru saja aku ingin membalas kecupannya, aku menyadari dia menciumku untuk menghilangkan selai cokelat di mulutnya. Tentu, pipiku sudah ternodai, harus dibersihkan dengan Rinso untuk menghilangkan noda membandel ini.
Anak pintar.
"Kalian sudah kenyang? Tidak akan berubah menjadi monster lagi, kan? Mari ke rumah bibi Shelin, kita demo pengantin baru itu." Aku memutuskan menggendong Nio. Kedua adiknya tengah bersemangat untuk jalan. Aku akan naik bus lagi, seperti sebelumnya.
~~~~~
Hiya hiya
Jejak yang rapi yuk
Komen next di sini
Ngakak di sini
Mana nih, selir-selirnya Alden
Hadir gak? Yang ngebet nikahin Alden hahahahBTW. Aku jarang aktif di Wattpad guys, aku jadi jarang balesin komen kalian 😭 padahal pengen banget aku balesin.
Kwaenchanha, kwaenchanha Rebecca
KAMU SEDANG MEMBACA
Because I'm Father (END)
Humor"Aku hamil." "Apa?!" "Anak kita kembar tiga," ucapnya dan membuatku membeku. Otakku tidak berjalan, di mana pikiranku? Kenapa rasanya tidak bisa berpikir. Tunggu! Kembar? Tiga? Alden kau tidak salah dengar. ____________ Pas tau, bahagianya luar bia...