BIF 29

7.8K 1.7K 135
                                    

Potong Rambut

Lama tidak quality time bersama si kembar. Sebangun tidur, sebelum mereka mandi aku telah menyiapkan kursi kecil untuk duduk, dan aku akan memotong rambut mereka seperti biasanya.

Kenapa tidak ke salon? Akan terjadi bencana jika aku mengajak mereka ke salon.

Nio, si sulung akan dipotong rambutnya lebih dulu. Kini dia telah telanjang dada, berlari ke arahku dengan wajah berseri.

"Duduklah, Papa akan memotong rambutmu pelan, um?" titahku, dia begitu penurut.

"Wah, kalian seperti anak Tarzan. Kenapa rambut kalian sepanjang ini?" ujarku sembari memotong sedikit demi sedikit rambut Nio.

"Papa tidak mengulus kami," jawab Nio.

Jawabannya menghantam wajahku. Jika bukan aku yang mengurus mereka, lalu setan apa yang selama ini bersama mereka? Wah, tidak tahu terima kasih. Jiwa menyebalkan mereka memang diturunkan dariku.

"Iya, kau benar. Papa melupakan rambut ini." Aku masih sibuk memotong rambut Nio seraya membuatnya nyaman.

"Seluluh kota melupakan tempat belmain yang asyik. Oh senangnya, aku senang sekali. Seluluh kota, melupakan tempat belmain yang asyik."  Nio terus bernyanyi lagu kesukaan kami, meski dia hanya mengulang lirik awal saja.

Asalkan dia diam, ini tidak akan lama. Rambut para monster bertekstur lembut, jadi mudah untuk dipotong.

Suasana tenang kami mendadak kacau, saat si bungsu Vio bangun dari tidur. Menjerit menangis saat melihat kakaknya tengah potong rambut.

"Aku tidak mau potong lambut! Jangan potong lambutku!" Vio menangis dengan menutup wajahnya. Bersembunyi dibalik sofa, mungkin agar aku tidak melihatnya.

Tapi, kan aku mendengar tangisannya.

"Ini tidak menakutkan, hanya gunting kecil. Kau tidak perlu takut, jadilah pria tangguh, um?" ujarku membujuk, sembari menyelesaikan rambut Nio.

"Tidak mau, Papa aku sungguh takut!" tolak Vio. Dia satu-satunya yang takut saat potong rambut, selalu terjadi drama karenanya.

"Kau bilang kau sudah besar, kau pemberani." Aku mencoba membujuk meski masih sibuk membersihkan rambut Nio yang telah selesai dipotong.

Nio langsung berlari menghampiri Vio yang mengumpat di balik sofa.

"Aku masih kecil, dan aku penakut. Kakak, katakan itu pada Papa." Vio mengadu pada kakaknya, Nio.

"Hali ini kau tidak akan selamat," jawab Nio semakin membuat tangisan Vio meledak.

Kakak yang tidak punya akhlak.

Kini, Zio langsung duduk, bersiap untuk potong rambut. Sedangkan Vio masih menangis dengan penolakan yang terdengar lucu di telinga. Nio selalu saja menambahi ketakutan Vio.

"Kau akan jadi kuntilanak jika tidak potong rambut. Apa kau mau menyapu apartemen dengan rambut panjangmu?" Aku bertanya tanpa menoleh padanya.

Jika aku menoleh, dia akan berlari dan histeris. Aku harus membuatnya mengerti lebih dulu.

"Itu jauh lebih baik. Aku akan mengepel dengan lambutku, bialkan lambutku panjang, Papa," tolak Vio, memilih mengepel apartemen.

Aku benar-benar tidak mengerti apa yang ada di pikirannya. "Kau akan menjadi tampan seperti Kak Nio, rambutmu harus dipotong," tuturku, masih berusaha membujuk sebelum benar-benar eksekusi.

Because I'm Father (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang