BIF 10

19.6K 3.6K 170
                                    

Aku duduk di pinggir jalan dengan lesu. Tatapanku kosong menatap jalan hitam di hadapan. Seolah tidak memiliki nyawa. Aku tahu cara bernapas, tetapi tidak tahu caranya hidup. Aku menyalahkan diriku sepanjang hari, setiap langkah aku mengoceh tidak karuan, hingga aku berakhir di jalan ini. Hari sudah malam, tetapi aku tidak juga menemukan Vio.

Aku berdiri—berjalan gontai. Awalnya aku mau ke kantor Polisi, tetapi aku takut Polisi menolak laporanku lagi seperti saat itu, menunggu 24 jam lagi, kini aku merasa sudah tak waras lagi.

"Aku harus ke kantor Polisi! Aku tidak bisa begini! Jika Polisi tidak mau membantuku, aku akan … menangis saja, sudahlah aku harus ke sana."

Aku langsung mengemudikan mobilku, memarkirkannya di depan kantor Polisi. Kutarik napasku panjang, bersiap perang dengan para Polisi di dalam.

"Apa yang bisa aku bantu?" tanya salah seorang Polisi.

"Anak aku hilang semenjak pagi, aku sudah mencarinya, dan aku mohon jangan menyuruhku menunggu 24 jam. Aku sudah frustasi," ucapku memohon bagai wanita yang baru dijambret.

"Bagaimana ciri-ciri anakmu, Tuan?" tanyanya.

"Dia tampan sepertiku, umurnya tiga setengah tahun, berkulit putih seperti kapur, memakai baju kotak-kotak hitam. Apa kau mau membantuku?" tanyaku setengah memohon.

"Kami akan berusaha, tapi sepertinya kami harus menunggu hingga–"

"HEI! TIDAK BISAKAH JANGAN SEBUT 24 JAM?" teriakku jengkel.

"Kalau begitu tunggu hingga hari ini berakhir," ucapnya mengulangi. Namun, tetap sama.

"Menunggu itu sangat menyebalkan!"

Aku menarik napasku, lalu aku berlutut. Jika bukan karena Vio, aku tidak akan melakukan ini.

"Aku mohon! Tolong aku, anakku masuk rumah sakit, kakinya harus diperban … dan aku kehilangan jejak anakku, aku sangat frustasi … aku mohon, kau sangat tampan, Pak, apa kau tega membiarkan orang setampan aku jadi orang gila?" ucapku memohon dan berlutut.

"Anakmu ada berapa? Sampai ada yang hilang dan di rumah sakit?" tanya pria itu heran.

"Anakku satu lusin!" ketusku kesal.

"Hei bagaimana kalau kita minum dulu?" tawar sang Polisi berbisik.

"Kau pikir aku bisa bersantai? Apa gunanya kau di sini?" seruku membuat kegaduhan kembali. Aku sudah tidak memiliki kesabaran sekarang, kucengkram kerah bajunya hingga mengundang banyak Polisi yang menghampiri kami.

"Bukanya bekerja kau malah mengajakku minum. Kau benar-benar–"

"PAPA!" teriak seorang anak kecil dengan suara melengking. Aku menoleh pada pemilik suara itu. Kulihat dari ujung kaki hingga ujung kepala, sepertinya terbalik, kulihat dia dari ujung kepala hingga ujung kaki, dia masih imut seperti saat pagi.

"VIO!" seruku langsung memeluknya.

"Kau ke mana saja? Tidak bisakah sehari saja jangan menghilang?" ucapku masih memeluknya.

"Papa kau sangat bau matahali," ucapnya membuatku mendengkus.

"Ini semua karenamu. Aku mencarimu seharian tahu?" ucapku memanyunkan bibir.

"Sok imut!" ejek Vio membuatku terbahak.

"Papa, aku dibawa kesini oleh Polisi cantik," cerita Vio, aku menoleh pada orang yang Vio maksud. Mataku membulat, dia sangat cantik—bahkan seragam Polisi makin membuatnya begitu cantik.

"Kak Alden? Jadi dia anakmu?" tanya Alisya. Ya, dia Alisya, gadis di pantai yang membantuku mencari kedua monsterku saat itu.

"Iya, jadi kau bekerja di sini?" tanyaku berdiri.

Because I'm Father (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang