BIF 24

8.6K 1.8K 98
                                    

Jiwaku

Tangisannya semakin membuatku merasa bersalah. Sejak semalam, si sulung-Nio demam tinggi. Pantas kemarin dia tampak tidak bersemangat.

Aku sudah membawanya ke Dokter, dan sudah memberinya obat, meski terjadi drama lebih dulu, tetapi berhasil meminumkan obatnya. Selama ini aku mengalami banyak kesulitan jika para monster ada yang sakit.

"Kakak kenapa telus menangis?" tanya Vio, tampak sedih melihat kakaknya.

"Kak Nio sakit. Berjanjilah padaku, kalian berdua tidak akan sakit sepertinya, um?" Vio dan Zio mengangguk serempak.

"Aku tidak akan sakit," ujar Zio, begitu bersemangat.

Dulu, pernah ketiganya sakit bersamaan, anak kembar memang seperti itu, jika salah satunya sakit, yang lainnya akan menyusul. Aku bersumpah itu sangat membuatku menderita. Semoga kali ini tidak akan terjadi.

Dokter bilang Nio terkena radang tenggorokan, itu alasan anak sulungku ini sulit makan, dan selalu menangis dengan keras karena tenggorokannya sakit untuk menelan. Ditambah ingus yang naik turun seperti roller coaster di hidungnya.

"Maafkan, Papa. Papa memang payah dalam menjagamu." Sesekali mencium Nio yang berada dalam pelukanku.

"Semoga Tuhan berbaik hati, memindahkan rasa sakitmu padaku." Tanganku menguncup, seolah mengambil penyakit Nio lalu memindahkannya dalam tubuhku. Jika para monster sakit, hatiku lebih sakit.

"Kau akan sembuh, sakitnya sudah aku ambil, um?" Aku tidak ada hentinya berdoa dan menenangkannya.

Hari ini, aku tidak mengatakan pada siapa pun Nio sakit. Kami terbiasa menangani ini sendiri. Meski pada akhirnya, tidak akan ada yang mandi satu pun.

Jika aku atau salah satu monster yang sakit, tetap saja tidak mandi. Yang sakit satu orang, yang bau empat orang.

Kami seperti kambing dalam kandang. Beginilah kenyataannya, dan aku tidak pernah menangis. Tidak menangis, hanya mewek saja.

Makan? Biasanya aku memesannya, atau meminta karyawan restoranku mengantarnya, dan akan menggedong salah satu putraku yang sakit sepanjang hari.

Kini Nio menangis, terus saja merengek. Aku tidak tahu apa yang dia rasakan, dan tidak tahu harus apa. Demamnya belum turun, jadi bajunya aku buka. Namun, kini aku buka juga bajuku untuk menghangatkannya. Memeluknya dengan telanjang dada.

"Apa sangat sakit?" tanyaku, tetapi mendapat bogeman lemah darinya.

"Kenapa kau memukulku?" Nio memukul sambil terus menangis.

Mungkin dia marah karena aku bertanya 'Apa sangat sakit'. Jika dalam keadaan normal, mungkin dia akan menjawab 'Apa itu perlu ditanyakan?!' sambil berteriak.

Melihat ingusnya keluar, aku meraih tisu. Namun, anak itu meraihnya dan mengelapnya sendiri. Aku tersenyum menanggapinya, dan menerima tisu bekasnya.

Oh, tisu yang tadinya kering menjadi begitu basah.

"Kenapa kau berikan padaku?" Aku terlanjur menggenggam tisu penuh ingus anakku itu.

Baiklah, ini hanya ingus. Hanya ingus! Oke.

"Aku akan buka baju juga," ujar Zio membuka bajunya.

Because I'm Father (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang