BIF 20

13.4K 2.4K 371
                                    

Unbelievable

Masih di rumah orang tuaku. Duduk sambil mengaduk kopi yang mulai dingin. Apa yang terjadi di jembatan waktu itu benar-benar membuatku berpuasa dan diet secara alami.

Aku bahkan tidak nafsu makan. Merasa kenyang dengan menelan kenyataan mentah-mentah. Alisya menciumku, dan efeknya belum hilang sampai saat ini. Merasa keprawanan bibirku ternoda, padahal memang sudah tidak perawan. Sepertinya, fase kedua tengah menerjangku.

"Kau sudah bosan hidup? Tidak makan nasi, tapi minum kopi. Kenapa tidak gantung diri di sutet sekalian?!" pekik wanita lapuk ini tepat di wajahku.

"Air liurmu itu beracun, lebih beracun dari air liur komodo. Jadi, bisakah bicara pelan padaku?" balasku mengelap wajahku.

"Baiklah, aku akan bicara pelan. Apa kau tidak lapar seharian ini tidak makan?" Shelin berbisik, setengah mendesah membuatku ingin meninjunya.

"Aku memang lapar. Sangat lapar. Seharian aku tidak makan nasi, hanya makan pizza satu loyang."

"Astaga dragon. Kau mengaku tidak makan tapi memakan pizza satu loyang? Bunuh aku, Al. Aku tidak tahan lagi untuk hidup." Shelin tampak sangat frustasi, padahal aku tidak salah.

Jika belum makan nasi, artinya belum makan bukan? Apa salahnya makan pizza dan dua box ayam crispy tanpa nasi. Itu tidak bisa diperhitungkan sebagai makan, itu hanya kudapan.

"Kak, apa kau pernah dicium? Tidak, mana mungkin orang sepertimu pernah merasakan itu," ujarku langsung meralat pertanyaan yang sudah pasti jawabannya 'belum pernah'. Mengingat kakakku ini manusia anti kencan dalam hidupnya.

"Kau pikir hanya kau yang pernah merasakannya? Tentu saja pernah!" ketusnya, terdengar tidak yakin.

Tetapi aku mencoba percaya, barangkali dia memang pernah kencan tanpa aku tahu. "Dengan siapa?"

Shelin tampak berpikir, hingga membuatku sangat penasaran, lalu tawanya pecah dengan tangannya yang memukulku. Dia tampak heboh sendiri, bahkan aku merasa ceritanya akan lucu.

"Bicara dulu baru tertawa. Ini tidak akan lucu jika kau tertawa lebih dulu. Ajak aku tertawa, Kak!" protesku.

Tawanya benar-benar menular padaku, padahal belum dengar apa pun. Shelin terus memukulku, matanya tenggelam akibat tertawa.

"Apa yang terjadi, Kak, ceritakan padaku? Sepertinya sangat lucu. Apa kau sering dicium, maka dari itu kau tertawa? Berhenti tertawa, kau membuatku ikut tertawa," protesku karena tawanya benar-benar tidak bisa dihentikan.

"Kau tanya padaku, apa aku pernah dicium?" Shelin kembali tertawa setelah bertanya.

"Sudahlah, ending semua ini tidak akan lucu. Kau tahu itu. Orang yang tertawa sebelum menyelesaikan ceritanya, akan menemukan ending tidak enak," ujarku, setelah merasa tidak tertarik untuk ikut tertawa dengannya.

"Aku pernah sepertimu, dicium," ungkapnya setelah tawanya benar-benar reda. Mendadak aku antusias kembali.

"Dengan tembok," jawabnya, seraya terbahak kembali.

Menanggapi jawaban Shelin, aku hanya terdiam. Jawaban itu terdengar menyakitkan. Sudah kuduga ini tidak akan baik.

Apa kau sudah tidak waras, Kak?

"D.O Exo pernah melakukannya juga, jadi, aku menirunya," terangnya setelah tawanya mereda.

Sungguh, perawan satu ini memang luar biasa.

Because I'm Father (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang