Milikku
Aku tertunduk dengan rasa sakit yang sedari tadi menghujamku. Jika aku bukan laki-laki-aku sudah menangis dari tadi, hanya saja aku masih punya rasa malu. Apalagi sekarang ada mertuaku. Ya, orang tua dari mendiang istriku datang, mereka datang sendiri. Bahkan aku juga tidak pernah berharap mereka datang. Sungguh.
Karena apa? Karena mereka datang untuk mengambil ketiga monsterku. Jelas-jelas mereka milikku, aku yang membesarkan mereka sendirian, dan mereka bilang mau mengambil? Mengambil apa? Hak mereka apa? Tidak ada.
"Kami akan membawa si kembar ke rumah, dan mungkin akan menginap. Aku harap mereka betah di rumahku, hingga mereka tidak perlu ke sini lagi," ucap Ibu mertuaku itu.
Setiap hembusan napasku, aku merasakan sakit dan sesak, teringat dengan istriku. Bahkan sampai saat ini, keluarga mendiang istriku masih saja menyalahkanku atas kematian putrinya. Menyalahkanku karena menikahinya. Menyalahkanku atas segalanya, terutama karena kematiannya yang disebabkan olehku.
Tidak! Jika aku tahu istriku akan mati karena hamil tiga anak kembar di kandungannya, aku tidak akan pernah menikahinya, lalu apa semua itu salahku? Kenapa seolah aku yang salah di sini, seolah aku yang membuatnya meninggal, dan meregang nyawa karena melahirkan anakku.
Tidakkah mereka berpikir, bahwa aku juga menderita. Tidak terima dengan meninggalnya dia? Tidakkah sekali saja berpikir tentangku, bagaimana aku hidup setelah kepergiannya? Apa aku mengharapkan semua itu? Jelas tidak, yang aku inginkan adalah bersamanya membesarkan anak kita, bukan ditinggal sendirian dengan kesalahan yang terjadi.
Hatiku bahkan masih terluka jika mengingat bagaimana keluarganya mencampakkanku, saat aku begitu terpukul. Bahkan mereka menyalahkanku atas segalanya. Saat itu dunia seperti menginjakku yang memang sudah terinjak. Tidakkah mereka sudah puas setelah melakukan itu. Bahkan mereka tidak membantuku sama sekali dalam merawat ketiga monster hingga aku nyaris gila saat itu, dan sekarang mereka datang untuk mengambil yang bukan hak mereka? Selama ini mereka kemana? Di saat aku bahkan butuh mereka, mereka mencampakkanku, bahkan aku masih ingat ucapan menyakitkan mereka padaku.
"Pergi! Dan rawat anakmu sendiri, mereka bukan anak putriku! Mereka hanya anakmu!"
Aku tersenyum kecut mengingat ucapan itu. Kini, aku menegakkan kepalaku yang tertunduk tadi, memberanikan diri menatap kedua orang tua itu.
"Mereka anakku. Hanya anakku. Bukankah kalian tidak mengenal kami?" ucapku penuh penekanan.
Mereka sedikit berpikir, bisa aku pastikan mereka mengingat ucapan mereka dulu. "Kau masih mengingat hal itu?" tanya Ibu mertua.
Kau pikir aku bisa melupakan segalanya? Yang bisa aku lupakan hanyalah, berapa kali aku makan.
Aku tersenyum. "Aku tidak akan lupa dengan apa yang telah hati aku ingat!" ucapku tegas.
"Biar aku ingatkan! Bahwa darah putriku mengalir dalam diri mereka. Kami tetap memiliki hak atas mereka," ucapnya membuatku ingin segera mencekiknya.
Sia-sia rasanya bicara dengan orang yang tak memiliki rasa malu atau kesadaran. Tidakkah mereka malu telah menjilat ludah yang sudah mereka buang? Tidakkah mereka tahu, bahwa aku berjuang membesarkan si kembar sendirian? Setelah besar, mereka mau mengambilnya begitu saja?
Hei siapa pun yang sedang baca, coba kalian tanyakan pada kedua orang ini! APA MEREKA WARAS?
"Darah mana yang kau maksud? Bukankah hanya darahku yang mengalir dalam diri mereka?" tanyaku seolah begitu polos.
"Ingat! Setidaknya kau balas budi dengan kematian putriku, dia telah mati karena melahirkan anaknya," ucap Ayah mertua.
Setiap ucapan mereka, benar-benar membuatku tertawa dalam hati.
KAMU SEDANG MEMBACA
Because I'm Father (END)
Humor"Aku hamil." "Apa?!" "Anak kita kembar tiga," ucapnya dan membuatku membeku. Otakku tidak berjalan, di mana pikiranku? Kenapa rasanya tidak bisa berpikir. Tunggu! Kembar? Tiga? Alden kau tidak salah dengar. ____________ Pas tau, bahagianya luar bia...