Bodoh
Kubuka mataku yang masih rapat ini, sungguh mentari yang hangat. Namun, cahayanya membangunkanku. Aku cium bau tidak sedap di rumahku, tentu ini bau alkohol semalam. Semalam aku benar-benar mabuk hingga tertidur di lantai sampai pagi.
Saat aku ingat kalau ketiga monster tidak ada di rumah, aku kembali berbaring di lantai. Kepalaku masih pusing, bahkan aku seperti melihat ketiga monster kecil di depanku, ternyata efeknya belum hilang sepenuhnya. Lebih baik aku tidur lagi, berharap saat aku bangun, ketiga monster sudah kembali.
BYURRR
"HEI! ALDEN ALISANO! BANGUN!" teriak seseorang yang mengguyurku.
Aku terbangun dan melihat wanita di hadapanku itu. Mataku masih buram, atau aku minus? Kulihat dia seperti bukan wanita, dia itu wanita atau pria? Kenapa tubuhnya besar—tetapi dia pendek. Hei, dia itu manusia atau bukan? Atau serigala? Omong kosong!
"ALDEN BUKA MATAMU!" teriaknya lagi kencang.
"Kau itu apa? Siapa? Wanita atau pria?" seruku langsung dapat lemparan embernya.
Aku gosok kepalaku yang terkena lemparan ember, lalu baru bisa membuka mataku dengan jelas.
"ASTAGA! Kakak?" seruku terkejut.
"Kau pikir apa? Jurik?" tanya Shelin dengan wajah sangar.
"Kupikir gorila," gumamku, tetapi Shelin mendengarnya hingga membuatnya langsung menindih tubuhku.
"Alden sadarlah! Bisa-bisanya kau mabuk, huh? Jika mama tahu, kau akan mati!" teriaknya mencengkram bajuku, sedangkan dia menindihi tubuhku.
Tidak tahu apa kalau dia itu berat.
Kusingkirkan tubuhnya, dan aku yang sudah basah kuyup ini duduk dengan memeluk kaki. Tentu kakiku, mana mungkin kaki gajah.
"Memangnya apa salahnya jika aku mabuk?" tanyaku setengah bergumam.
"Dasar bocah tengik. Kau belum sadar juga? Perlu aku guyur dengan air selaut?" serunya yang duduk di sampingku.
"Kalau monster kecilmu tahu dan mencium bau ini bagaimana? Ah, menyebalkan, begitu saja tidak tahu," omelnya kesal.
"Mereka tidak di rumah," ucapku masih menatap kosong pada botol-botol di depanku.
"Apa? Mereka di mana? Mereka bersama siapa? Mereka tidak di rumah mama, lalu mereka ke mana?" panik Shelin.
"JANGAN BILANG HILANG, YA?!" teriaknya dan aku menghela napas untuk menceritakannya. Bagaimanapun Shelin harus tahu, dan aku juga butuh teman curhat—hanya Shelin yang bisa aku andalkan.
"Mereka dibawa oleh mertuaku," ucapku belum lengkap.
"Apa? Mertua? Sejak kapan kau punya mertua? Kau tidak pernah mengenalkanku padanya? Kau sudah punya calon istri, ya? Huh? Cepat sekali, Al," tanya Shelin polos.
Selama ini kami memang menganggap bahwa keluarga istriku mati bersama mendiang istriku, maka dari itu Shelin bertanya tidak masuk akal.
"Bukan, dia mertua yang sudah mati," ucapku menjelaskan. Namun, Shelin terdiam. Aku lihat wajahnya tidak ada ekspresi.
"Kak, kau baik-baik saja? Apa kau mengalami kram? Apa wajahmu mengalami kram? Kakak jawab!" teriakku yang takut Shelin tiba-tiba diam.
"Aku sedang loading, bedebah!" teriaknya kembali seperti macan.
"Maksudmu orang tua 'dia'?" tanya Shelin memastikan.
Dan aku mengangguk. "Kenapa kau biarkan itu terjadi? Seharusnya kau cegah! Mereka sudah tidak punya hak, Al! Untuk apa datang lagi? Bukankah selama ini mereka mati? Kenapa datang sekarang dan mengambil monster kecilmu? Dasar bodoh! Harusnya jangan kau biarkan itu! Bocah tengik! Kau sudah tidak waras, ya?! Kau mau mati? Bagaimana kalau monstermu dibawa pergi? Kau sudah gila? Alden sadarlah!" teriaknya setelah bertanya bertubi-tubi, seperti seorang Raper.
KAMU SEDANG MEMBACA
Because I'm Father (END)
Humor"Aku hamil." "Apa?!" "Anak kita kembar tiga," ucapnya dan membuatku membeku. Otakku tidak berjalan, di mana pikiranku? Kenapa rasanya tidak bisa berpikir. Tunggu! Kembar? Tiga? Alden kau tidak salah dengar. ____________ Pas tau, bahagianya luar bia...